Ilustrasi. (Desain: inilah.com/inu)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Krisis utama yang dialami oleh hukum saat ini adalah ketidakpastian. Bentuk nyatanya, hukum kesulitan memberi kejelasan dan ketegasan. Dalam banyak situasi, kita kerap dibuat tercengang karena hukum tidak jarang berstandar ganda, bisa saling menegasikan, menganulir, bahkan bertentangan. Belum lagi, dalam suatu kondisi, hukum tidak pernah benar-benar bisa ditegakkan ketika perkara sudah terang duduknya. Kepastian jadi problematika terbesar hukum hari ini.
Ironisnya, situasi ini terjadi bukan karena rendahnya jumlah aturan. Kita hidup di era di mana aturan berjarak sangat rapat dari setiap lini kehidupan. Hampir setiap bidang aktivitas kita diatur oleh hukum. Namun anehnya, hal ini tidak serta merta membuat kita semakin teratur. Sebaliknya, kita semakin banyak bertemu dengan anomali. Dalam banyak hal, hukum kini justru lebih sering memicu kebingungan dibandingkan kejelasan.
Kondisi ini memicu dampak serius. Kepastian yang hilang dari hukum bukan hanya membuat kredibilitas hukum merosot, tetapi juga mengganggu bagian fundamental kehidupan bermasyarakat. Tanpa hukum yang pasti, tatanan sosial yang stabil, kondusif, dan teratur tidak akan terselenggara. Sebab, kepastian adalah bahan baku terciptanya trust. Maka ketika kepastian hilang, yang tersisa ialah potensi anarki dari pola relasi tidak wajar antara kepentingan dan kekuatan yang tidak seimbang.
Karena itu, menarik untuk menyoal secara seksama pertanyaan: Mengapa ketidakpastian hukum itu terjadi? Hal ini penting karena menyodorkan secara langsung problem inti dari krisis hukum saat ini. Meskipun jawabannya tidak sederhana dan penuh kerumitan, mengurai persoalan ini adalah langkah penting untuk memahami krisis hukum secara mendalam.
Formalisme Hukum dan Implikasi Ambiguitas
Banyak yang melihat ketidakpastian hukum semata-mata akibat pertentangan antar aturan. Pandangan ini wajar mengingat semakin banyaknya regulasi berimplikasi pada risiko tumpang tindih dan kontradiksi normatif. Namun, persoalan ketidakpastian tidak sesederhana itu. Alih-alih sekadar inkonsistensi aturan, ketidakpastian hukum juga lahir dari konstruksi hukum yang tidak lagi ideal.
Salah satu indikasi nyata adalah merebaknya ambiguitas dalam praktik hukum. Hukum kesulitan menjadi sumber kepastian karena direduksi menjadi perangkat formal yang mudah dimanipulasi sesuai arah kepentingan. Menurut Brian Z. Tamanaha (2005), hukum bergeser dari rule of law ideal —yang menempatkan hukum sebagai pengekang kekuasaan atau kontrol nilai—menuju versi formalistik yang menjadikan hukum sarana melegitimasi kehendak otoritas, yakni pendekatan instrumental.
Pergeseran ini menandai perubahan mendalam bagi keberadaan hukum. Yang paling menonjol adalah kecenderungan hukum menjadi bebas nilai. Di titik ini, hukum yang semula punya kualitas menetapkan benar dan salah secara normatif, kini menjadi alat yang efektif untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu sesuai selera penggunanya.
Teks hukum menjadi lentur, bukan karena kebijaksanaan, tapi karena kesengajaan. Dengan kata lain, akar ketidakpastian bukan terletak pada jumlah atau ketiadaan aturan, melainkan pada rentannya hukum dibelokkan oleh kepentingan kuat.
Hal ini menciptakan anomali. Tafsiran atas nama hukum sering kita ragukan kebenarannya. Apakah tafsiran itu benar secara intrinsik atau sengaja dibungkus demi pembenaran? Kebingungan ini bukan sekadar soal teknis, tapi mencerminkan krisis fundamental: tafsir hukum kehilangan posisi stabil antara norma dan kepentingan.
Ambiguitas dan Gejolak Praktik Hukum
Ambiguitas ini telah menimbulkan gejolak hebat. Kita lihat keanehan pada kasus hukum, misalnya, ada pelanggaran yang dianggap ‘tidak melanggar hukum’ karena tidak melampaui teks hukum. Sebaliknya, ada perbuatan dikualifikasi ‘melanggar hukum’ karena titik batas teks disempitkan agar bisa dinyatakan melanggar. Ini menunjukkan teks hukum tidak lagi stabil sebagai acuan normatif, tapi terdistraksi kepentingan pragmatis. Ambiguitas konstruksi hukum dieksploitasi demi keuntungan sepihak.
Reduksi hukum dan lipatan ambiguitas yang membekap hukum menjadi ekspresi kerancuan luar biasa dalam praktik. Setiap orang berlindung di balik frasa, proposisi, nilai, dan prinsip untuk menjustifikasi apa pun yang diinginkan. Dalam konstruk ini, alasan ketidakpastian hukum bersifat etis-normatif, bukan teknis normatif. Semakin pragmatis dalam menerjemahkan nilai dan aturan, paradigma hukum yang semakin instrumental membuat kita transaksional dalam memahami hukum. Akibatnya, hukum kehilangan orientasi substantif sebagai penentu benar-salah.
Mencari Agen Hukum Bijaksana
Kerentanan sistem hukum menunjukkan kualitas yang dibutuhkan hukum bukan sekadar keterampilan teknis membaca aturan, tapi juga kedalaman memahami esensi nilai hukum. Tanpa kesadaran substantif, sulit mengharapkan hukum tegak atas nilai kepastian dan keadilan. Tantangan hari ini sangat kompleks, hukum dituntut responsif terhadap perkembangan kehidupan, namun nilai integritas hukum harus tetap dijaga agar tidak takluk pada kepentingan pragmatis.
Beban ini mengarah pada pendidikan hukum. Kebutuhan agen hukum yang tidak hanya terampil mendalilkan pasal, tapi juga memiliki kesadaran etis hanya bisa dicapai lewat pendidikan hukum berkualitas. Pendidikan hukum ideal tidak cukup teknokratis, melainkan ruang pembentukan watak substantif. Hasilnya bukan hanya menguasai doktrin, tapi mampu menilai, menimbang, dan mengambil posisi moral dalam persoalan hukum.
Hal ini krusial sebab konstruksi hukum Indonesia berdiri di atas nilai dan prinsip. Konstitusi 1945 memandatkan negara hukum yang berpihak pada demokrasi, hak asasi manusia, kepastian hukum, dan persamaan di hadapan hukum, bukan negara hukum netral nilai. Tanpa agen hukum yang mampu menerjemahkan nilai ini bijak, ambiguitas hukum akan terus menjebak dan kontradiksi dalam praktik negara hukum menjadi keniscayaan.
Menyikapi kontradiksi hukum hari ini, bukan sekadar reformasi institusional aturan. Sistem berganti, metode diubah, program silih berganti tidak kuasa mengubah apapun. Saya meyakini pendekatan struktural dan paradigmatik lebih perlu dilakukan. Karena saat hukum kehilangan substansi, persoalan sesungguhnya ada di kita—yang membentuk dan menafsirkan. Hukum tidak hidup dalam teks, tetapi dalam kesadaran yang menafsirkannya.