Saat jutaan Muslim di seluruh dunia bersiap merayakan Idul Adha dengan doa, kumpul keluarga, dan menyantap makanan kurban, daerah kantong pantai yang terkepung itu bersiap menghadapi hari lain penuh kelaparan, pengungsian, dan duka.
Untuk tahun kedua berturut-turut, warga Gaza mengatakan Idul Adha telah kehilangan maknanya. Di tengah reruntuhan perang dan kelaparan yang semakin parah, keluarga-keluarga yang dulu merayakannya dengan pesta daging domba dan reuni yang menyenangkan kini harus mengais-ngais roti dan tempat berteduh.
Perang genosida Israel telah mengubah libur hari raya yang dulunya menyenangkan menjadi hari kesedihan yang tak tertahankan. Sejak 7 Oktober 2023, tentara Israel telah membunuh lebih dari 54.000 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak dan melukai lebih dari 125.000 lainnya, menurut kementerian kesehatan Palestina yang berbasis di Gaza. Lebih dari 1,9 juta warga Palestina, hampir 85 persen populasi Gaza, kini mengungsi secara internal.
“Saya biasa membelikan anak-anak saya baju dan mainan baru. Itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam setahun. Sekarang, satu-satunya keinginan mereka adalah sepotong roti. Bukan permen, bukan mainan—hanya sesuatu untuk dimakan,” kata Hussam Abu Amer, seorang ayah empat anak berusia 37 tahun, mengutip laporan The New Arab (TNA) sambil duduk di atas ubin hangus yang dulunya merupakan ruang tamunya di Kota Gaza.
Abu Amer melarikan diri dari lingkungan Zeitoun setelah serangan udara Israel menghancurkan rumahnya, menewaskan beberapa kerabat dan mengubur kenangan keluarga selama puluhan tahun di bawah beton. Dia sekarang tinggal di tenda darurat di dekat sekolah yang hancur, dikelilingi ratusan keluarga pengungsi lainnya.
“Tahun lalu, saya berjanji kepada mereka bahwa perang akan berakhir pada Idul Adha tahun depan, dan kita akan kembali seperti sedia kala. Saya berbohong kepada mereka tanpa tahu apa-apa. Tahun ini, saya tidak punya janji apa pun. Sama sekali tidak ada,” ungkapnya.
“Dulu saya adalah lelaki yang memberi nafkah, yang melindungi. Sekarang, saya hanya seseorang yang mendongeng sebelum tidur untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari suara bom dan rasa lapar,” tambahnya.
Seperti kebanyakan warga Palestina di Gaza, Abu Amer telah menguburkan terlalu banyak kerabat. “Saya bahkan tidak punya kekuatan untuk menangis lagi. Ini bukan lagi sebuah perayaan. Ini adalah pengingat akan semua yang telah hilang,” katanya.
Di jantung Kota Gaza, jalan-jalan di sekitar Pasar Sheikh Radwan telah berubah menjadi kamp pengungsian sementara. Sampah membusuk di musim panas, dan anak-anak menangis minta makan. Tidak ada hiasan, tidak ada permen, tidak ada domba.
“Saya tidak mengizinkan anak-anak saya menyentuh ponsel saya. Saya tidak ingin mereka melihat foto-foto perayaan Idul Adha di luar negeri. Mereka akan mengajukan pertanyaan yang tidak dapat saya jawab,” kata Majed Samaha, seorang pria Palestina di Gaza, kepada TNA.
Dulunya seorang tukang listrik, sang ayah kini bergantung pada makanan amal terbatas yang dikenal sebagai Takaya. “Mata melihat, tetapi tangan pendek,” katanya, menggemakan pepatah setempat. “Dulu kami hidup dengan sedikit. Sekarang, kami bahkan tidak punya sedikit pun.”
Tawfiq Zafir yang berusia tujuh puluh tahun berjalan tertatih-tatih di antara reruntuhan beberapa meter jauhnya. Sebelum perang, ia memiliki toko sepatu populer di Jalan Al-Nasr, tetapi sekarang toko itu sudah menjadi reruntuhan. “Ini adalah Idul Adha kedua kami yang menjadi sasaran tembakan. Saya kehilangan toko, rumah, dan kemampuan untuk bermimpi,” keluh lelaki tua itu kepada TNA .
Zafir, seorang kakek dari 25 cucu, terisak saat mengingat momen di pagi hari. “Salah satu cucu saya meminta mainan,” katanya. “Yang bisa saya lakukan hanyalah memeluknya dan menangis. Tidak ada Idul Adha di Gaza—hanya kelaparan dan kehilangan.”
Alami Kelangkaan Parah
Di wilayah yang secara tradisional menganggap daging melambangkan kelimpahan dan perayaan, Gaza menghadapi kelangkaan yang sangat parah. Sejak militer Israel memperketat blokade pada bulan Maret, tidak ada satu pun pengiriman hewan kurban yang memasuki Jalur Gaza, dan serangan udara serta pembatasan Israel telah memusnahkan populasi ternak lokal.
“Kami belum melihat daging selama berbulan-bulan,” kata Abu al-Abd al-Attar, seorang tukang daging dari Gaza utara yang kini mengungsi ke selatan. “Saya menyembelih domba terakhir saya di awal Ramadan, dan itu saja. Tidak ada yang tersedia sejak saat itu. Bahkan ayam pun langka dan dijual dengan harga yang tidak terjangkau.”
Al-Attar mengatakan, Idul Adha kali ini, yang dulunya ditandai dengan pengorbanan dan kemurahan hati, telah berubah menjadi hari penuh kekurangan dan keputusasaan. “Orang-orang mengorbankan harga diri dan impian mereka, bukan domba,” katanya.
Umm Mahmoud, seorang ibu empat anak di Khan Younis, mengatakan keluarganya telah makan kacang lentil selama berminggu-minggu, bahkan tanpa minyak. “Kami biasa menghitung hari hingga Idul Adha,” katanya. “Sekarang kami berdoa untuk mendapatkan roti dan air bersih.”
Gagalnya penyaluran bantuan kemanusiaan memperburuk situasi. Pusat distribusi UNRWA telah dibom, dan gudang makanan dihancurkan. Program Pangan Dunia dan lembaga internasional lainnya melaporkan menghadapi kondisi yang hampir mustahil karena kurangnya keamanan dan akses yang aman.
“Tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada sanitasi,” ungkap Husseni Muhanna, seorang pejabat di Pemerintah Kota Gaza. “Orang-orang tidak meminta kebahagiaan di hari raya Idul Adha ini. Mereka meminta kelangsungan hidup.”
LSM setempat mengatakan keluarga sering kali mengantre berjam-jam hanya untuk menerima beberapa kaleng makanan atau sebotol kecil air. Krisis kekurangan gizi yang semakin parah khususnya terjadi pada anak-anak, banyak di antaranya menderita infeksi, dehidrasi, dan luka yang tidak diobati.
Meskipun terjadi kehancuran, beberapa keluarga masih berharap Idul Adha akan membawa terobosan politik, bahkan mungkin gencatan senjata. “Yang kami inginkan bukanlah daging atau pakaian,” kata Salma al-Sheikh, seorang wanita di Gaza. “Kami ingin pengeboman dihentikan. Kami ingin pulang. Mereka sudah berhenti meminta mainan. Mereka bahkan tidak bermimpi. Mereka hanya ingin keheningan dari langit.”
“Hari raya yang sesungguhnya akan tiba saat kita kembali ke rumah, saat kita bisa makan tanpa harus mengantre berjam-jam. Saat anak-anak bisa tertawa tanpa gentar mendengar suara dengung,” imbuhnya.