Jelang kemerdekaan yang kedelapan puluh, kita seperti dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa arti kemerdekaan ketika imajinasi rakyat pun ditakuti? Ketika beberapa orang membentangkan bendera Jolly Roger, lambang kapal Bajak Laut Topi Jerami dari serial Jepang One Piece, negara merespon dengan cara yang tak biasa. Sebuah lambang fiksi dari dunia manga dibaca bukan sebagai bentuk hiburan atau ekspresi budaya populer, melainkan sebagai ancaman terhadap persatuan negara.
Reaksi seperti ini memperlihatkan satu hal, bahwa kekuasaan yang dicekam oleh bayangan kehilangan legitimasi akan mudah tergelincir dalam paranoia. Ketika simbol-simbol tak berbahaya dimaknai sebagai subversif, itu menandakan bahwa negara telah mengaburkan batas antara ancaman nyata dan bayangan-bayangan yang hanya hidup dalam ketakutannya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, imajinasi rakyat—yang semestinya menjadi sumber daya kultural dan demokratis—malah dilihat sebagai sumber ketidakpastian.
Political Paranoia dan Gaya Kekuasaan
Konsep political paranoia pertama kali dipopulerkan oleh sejarawan Richard Hofstadter dalam esainya yang terkenal, The Paranoid Style in American Politics (1964). Hofstadter tidak menggunakan kata “paranoia” sebagai diagnosis klinis, melainkan sebagai gaya berpikir politik yang dipenuhi kecurigaan berlebihan, pola pikir konspiratif, dan kecenderungan menganggap lawan politik sebagai bagian dari ancaman besar tersembunyi.
Dalam gaya paranoid ini, politik tidak lagi dijalankan melalui logika deliberatif atau kepercayaan terhadap lembaga demokrasi, melainkan dilandasi keyakinan bahwa kekuasaan selalu berada dalam bahaya dan harus terus-menerus dilindungi dari musuh imajiner.
Apa yang digambarkan Hofstadter di Amerika 60 tahun lalu kini terasa akrab di Indonesia menjelang usia kemerdekaan ke-80. Dalam konteks bendera bajak laut, misalnya, kita bisa melihat bagaimana negara membaca simbol bukan dengan lensa budaya, melainkan dengan lensa ketakutan. Simbol populer yang seharusnya netral—atau bahkan positif dalam konteks semangat petualangan, persahabatan, dan perlawanan terhadap tirani—ditafsirkan sebagai bentuk makar. Ini adalah contoh klasik paranoid style dalam kekuasaan: ketakutan terhadap imajinasi, ekspresi, dan kemungkinan lain yang tidak disusun oleh negara.
Gaya paranoid ini bukan hanya soal respons berlebihan terhadap satu simbol. Ia menandakan cara pandang tertentu terhadap rakyat dan ruang publik. Dalam logika paranoid, dunia luar selalu penuh ancaman, dan rakyat bukan subjek berdaulat, melainkan entitas yang harus diawasi.
Setiap bentuk ekspresi bisa dicurigai, setiap kritik bisa dibaca sebagai gerakan terorganisir, dan setiap humor bisa dianggap pelecehan terhadap negara. Dalam atmosfer seperti ini, demokrasi bukan soal dialog dan keberagaman gagasan, melainkan proyek penertiban terus-menerus terhadap ketidakpastian.
Ilusi Stabilitas dan Kerentanan Demokrasi
Lebih jauh, paranoia politik juga berkaitan erat dengan rasa kehilangan kendali. Kekuasaan yang dibangun di atas fondasi ketakutan cenderung menciptakan realitasnya sendiri. Ia menolak kemungkinan bahwa rakyat bisa berpikir berbeda tanpa bermaksud merusak. Ia menutup ruang perbedaan demi menjaga ilusi stabilitas. Tetapi ilusi itu mahal harganya. Ketika negara lebih sibuk menjaga simbol daripada mendengarkan aspirasi, maka makna kemerdekaan pun terkikis secara perlahan namun pasti.
Kita harus berhati-hati terhadap kecenderungan ini, apalagi menjelang usia kemerdekaan yang semestinya menjadi momentum refleksi mendalam: sudah sejauh mana bangsa ini memberi ruang bagi rakyat untuk tumbuh sebagai warga merdeka? Bukan hanya merdeka dari penjajahan fisik, tetapi juga merdeka untuk berimajinasi, mengungkapkan diri, dan menyusun masa depan dengan cara sendiri.
Benedict Anderson pernah mengatakan bahwa bangsa adalah imagined community—komunitas yang hidup melalui imaji kolektif. Imajinasi bukan hanya bagian ekspresi seni atau hobi, tetapi juga fondasi identitas nasional. Ketika negara melarang ekspresi simbolik seperti bendera fiksi, ia bukan hanya menindas kreativitas, tetapi juga merusak fondasi pembentukan imaji kebangsaan.
Imajinasi bukan musuh negara. Dalam sejarah bangsa ini, banyak perubahan lahir dari imajinasi kolektif tentang masa depan yang lebih adil. Imajinasi itulah yang mendorong lahirnya gerakan pro-demokrasi, reformasi, dan kemerdekaan itu sendiri. Ketika negara kini merasa terancam oleh bentuk-bentuk imajinasi rakyat—sekalipun lewat bendera fiksi—yang perlu dikritisi bukan ekspresinya, melainkan kondisi mentalitas kekuasaan itu sendiri.