Komandan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), Mayor Jenderal Mohammad Pakpour. (Foto: WANA News Agency)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas, bahkan cenderung mendidih. Para petinggi militer Iran menyatakan pasukannya siap tempur. Mereka siap melanjutkan perang melawan Israel kapan saja. Meski gencatan senjata sementara yang dimediasi Amerika Serikat (AS) sempat mendinginkan suasana 12 hari terakhir, Teheran bersuara lantang: tak akan mundur atau menunjukkan belas kasihan jika diserang lagi.
Peringatan keras ini muncul di tengah ketidakpastian masa depan diplomasi nuklir dan retorika militer yang makin mengeras dari berbagai pihak, termasuk AS dan Israel.
Komandan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), Mayor Jenderal Mohammad Pakpour, tanpa tedeng aling-aling menyatakan militer Iran sudah bersiaga penuh. Ini ia sampaikan dalam pertemuan dengan Kepala Staf Angkatan Darat Iran, Mayor Jenderal Amir Hatami.
“Pasukan kami sepenuhnya siap untuk melanjutkan pertempuran dari titik di mana konflik terakhir berhenti. Para agresor tidak akan diberi ampun,” tegas Pakpour, seraya memuji kesatuan dan tekad rakyat Iran, seperti dikutip dari Newsweek, Jumat (18/7/2025).
Ia menambahkan, Iran hanya akan menggunakan kekuatan penuh jika perang benar-benar tak terhindarkan. Pernyataan ini jelas mempertegas posisi Iran yang tetap waspada dan menolak merendahkan kesiapsiagaan militernya di tengah ancaman berkelanjutan dari Israel dan sekutunya.
Israel Siaga, Fasilitas Nuklir Iran Jadi Sorotan
Dari ‘kubu’ seberang, Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, juga tak kalah gahar. Ia menegaskan, kampanye militer terhadap Iran masih berlangsung.
“Kampanye terhadap Iran belum berakhir. Kita memasuki fase baru,” kata Zamir.
Ini sinyal jelas, meski gencatan senjata diberlakukan, Israel masih memandang ancaman dari Iran sebagai sesuatu yang aktif dan berkelanjutan.
Di tengah memanasnya ketegangan militer, muncul pula perdebatan sengit soal dampak serangan udara Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran. Pemerintahan Presiden Donald Trump sebelumnya sesumbar, serangan itu berhasil ‘menghancurkan total’ situs nuklir Iran bulan lalu.
Namun, laporan NBC News, yang mengutip lima pejabat AS saat ini dan mantan pejabat, menyebutkan lain. Hanya fasilitas pengayaan uranium di Fordow yang disebut mengalami kerusakan signifikan.
Sementara dua fasilitas penting lainnya, yaitu Isfahan dan Natanz, hanya mengalami gangguan sementara dan diperkirakan bisa kembali beroperasi dalam beberapa bulan ke depan.
Menanggapi laporan itu, juru bicara Pentagon, Sean Parnell, langsung membalas keras di platform X. “Salah. Kredibilitas media palsu sama seperti kondisi fasilitas nuklir Iran saat ini: hancur, terkubur, dan butuh bertahun-tahun untuk pulih,” sindirnya.
Diplomasi Nuklir Buntu, Iran Ogah Ngalah
Sementara itu, dalam konteks diplomasi nuklir, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi bersuara. Teheran, katanya, hanya akan kembali ke meja perundingan jika syarat-syaratnya dianggap adil dan seimbang.
Pernyataan ini muncul setelah serangkaian panggilan diplomatik antara Iran dan perwakilan Eropa, termasuk Prancis, Inggris, Jerman, dan pejabat tinggi Uni Eropa.
“Adalah AS yang menarik diri dari kesepakatan yang dinegosiasikan selama dua tahun pada 2015, bukan Iran,” tegas Araghchi di akun X miliknya. “Dan AS pula yang meninggalkan meja perundingan pada Juni tahun ini dan memilih opsi militer.”
Iran pun menolak tenggat waktu baru dari Barat yang menekan agar kesepakatan tercapai sebelum akhir Agustus. Teheran menegaskan, beban atas mandeknya diplomasi ada di pundak Washington, bukan mereka.
Dengan kondisi begini, akankah perang terbuka pecah kembali di Timur Tengah? Ataukah masih ada celah diplomasi yang bisa menyelamatkan situasi? Kita tunggu babak selanjutnya.