Hampir dua tahun lamanya, Israel sibuk berkutat di banyak medan perang. Mereka berhasil melumpuhkan infrastruktur Hamas di Gaza, menembus jauh pertahanan Iran, bahkan memukul Hizbullah di Lebanon. Tapi ironisnya, Israel kini terperosok dalam perang tanpa ujung. Jangankan kemenangan, strategi untuk keluar dari konflik ini saja, nihil.
Para analis menyebut, meski kampanye militer Israel sudah mencapai sejumlah kemajuan, ketiadaan strategi politik yang koheren bikin tujuan perang yang lebih besar jadi samar-samar. Pemerintah Israel getol menjalin hubungan dengan negara-negara Arab, tapi sengaja mengabaikan isu Palestina.
Hasilnya? Prospek rekonsiliasi jangka panjang di kawasan pun jadi pupus.
Gaza Hancur Lebur, Netanyahu Dituding Berpolitik di Atas Mayat
Perang di Gaza? Jangan ditanya. Kehancuran meluas, sebagian besar infrastruktur hancur lebur. Otoritas kesehatan di Gaza membeberkan, setidaknya 58.895 orang tewas! Jumlah korban jiwa yang fantastis ini jelas menarik perhatian dunia. Tapi anehnya, tak ada tanda-tanda Israel bakal mengubah kebijakannya.
Mengutip Xinhua, Senin (21/7/2025), para kritikus terang-terangan menuding, kelanjutan perang ini cuma menguntungkan koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Koalisi ini diisi partai-partai sayap kanan dan ultra-Ortodoks yang keras kepala.
Netanyahu sendiri, yang kini sedang diadili karena kasus korupsi, menghadapi perpecahan internal dan hasil jajak pendapat yang terus-terusan jeblok.
Survei terbaru menunjukkan, mitra koalisi Netanyahu tak akan sanggup meraup cukup kursi untuk membentuk pemerintahan baru, seandainya pemilu digelar hari ini.
“Koalisi saat ini benar-benar berkomitmen untuk melanjutkan perang,” kata Roee Kibrik, kepala penelitian di Mitvim, Institut Kebijakan Luar Negeri Regional Israel. “Kelangsungan koalisi ini bergantung pada kelanjutan perang.”
Kibrik bahkan berpendapat, pemerintah Israel cuma mau mengejar kesepakatan pembebasan sandera terbatas. Tujuannya? Agar perang tidak berhenti. “Jika kami menganalisis apakah perdamaian atau diplomasi mungkin dilakukan di bawah pemerintahan ini, jawabannya adalah tidak,” tegas Kibrik.
Saat ini, memang ada perundingan di Doha soal kemungkinan kesepakatan sandera dengan Hamas. Netanyahu pada Jumat (18/7/2025) sempat bilang Israel sedang membahas kemungkinan pembebasan tawanan dan gencatan senjata 60 hari di Gaza. Tapi, ia menyesali sikap Hamas yang dianggapnya tak serius.
Namun, di hari yang sama, Abu Ubaida, juru bicara sayap bersenjata Hamas, justru mengatakan dalam pidato di televisi bahwa Hamas berulang kali menawarkan pembebasan semua sandera sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata komprehensif. Tapi, Israel menolaknya!
“Jika musuh menghalangi atau menarik diri dari putaran (perundingan) ini, seperti yang selalu terjadi, kami tidak dapat menjamin kembalinya kesepakatan parsial,” Ubaida memperingatkan. Nada ancamannya jelas.
Perang Demi Kekuasaan, Palestina Terlupakan
Para pemimpin oposisi dan keluarga sandera sudah gerah. Mereka menuduh Netanyahu sengaja memperpanjang perang demi agenda politiknya sendiri.
Para pengunjuk rasa kerap terlihat membawa poster dan spanduk bertuliskan ‘Perang membunuh para sandera’. Mereka yakin konflik ini bermotif politik, sengaja dipertahankan demi menjaga kekuasaan Netanyahu.
“Koalisi yang berkuasa saat ini berfokus untuk tetap berkuasa,” kata Eyal Zisser, wakil rektor Universitas Tel Aviv sekaligus pakar Timur Tengah. “Pemilu dini akan menjadi bencana bagi semua anggota koalisi, mengingat setiap jajak pendapat menunjukkan kemungkinan bahwa mereka akan kalah.”
Untuk mempertahankan aliansi, Netanyahu harus mengakomodasi tuntutan yang saling bertentangan, lanjut Zisser. Faksi sayap kanan ekstrem Israel bersikeras melanjutkan perang. Sementara partai ultra-Ortodoks ngotot minta anggaran lebih besar dan pengecualian wajib militer.
Baik Zisser maupun Kibrik yakin, pemerintah Israel bukan hanya menghindari kemajuan diplomatik, tapi juga secara aktif merongrongnya. “Tidak akan ada negara Palestina,” tegas Zisser, merangkum sikap koalisi Netanyahu. “Mereka bahkan menentang pemberian otonomi.”
“Israel menginginkan perdamaian dengan negara-negara Arab, namun tidak siap untuk memberikan imbalan apa pun terkait Palestina,” jelas Zisser.
Padahal, kemajuan menuju solusi dua negara bisa membuka kerja sama dan peluang regional yang luas, kata Kibrik. “Namun, dengan pemerintahan (Israel) saat ini, opsi tersebut mustahil dipertimbangkan.”