Jika pemerintah serius benahi operasional tambang di pulau-pulau kecil, jangan hanya 4 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya yang dicabut. Masih banyak tambang yang beroperasi di pulau kecil yang kaya nikel, alamnya rusak.
“Seluruh izin tambang yang beroperasi di pulau-pulai kecil, memang harus dicabut sesuai aturan. Maka keputusan Menteri ESDM patut diapresiasi untuk cabut izin tambang terutama di pulau kecil. Tapi jangan ada diskriminasi,” kata Bhima, Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
Selanjutnya Bhima menyebut, IUP tambang nikel milik PT Gag Nikel seharusnya juga dicabut. Bukan malah diperpanjang karena menimbulkan citra tebang pilih atau diskriminasi. “PT Gag Nikel itu, harusnya dicabut izin tambangnya secara permanen. Agar ada fairness atau azas keadilan bagi semua pemegang IUP,” ungkapnya.
Demikian pula sejumlah tambang nikel yang telah merusak pulau-pulau kecil di kawasan sentra nikel. Misalnya di Pulau Wawonii dan Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara (Sultra). Serta beberapa pulau kecil di Halmahera mengalami kerusakan lingkungan hebat akibat ugal-ugalan menambang nikel.
Terkait tata kelola tambang nikel, lanjut Bhima, pemerintah seharusnya melakukan moratorium perizinan tambang dan smelter nikel. Alasannya, pasar nikel saat ini mengalami kelebihan pasokan alias oversupply yang cukup besar. Alhasil, harga nikel terjun bebas di pasar dunia.
“Kondisi saat ini, terjadi oversupply produk nikel olahan jenis NPI dan feronickel sebagai bahan baku baja tahan karat. Apalagi sejak Tsingshan setop produksi baja tahan karat, itu jelas sinyal oversupply,” imbuhnya.
Pakar ekonomi energi dari UGM, Fahmy Radhi menyebut, PT Gag Nikel telah melangkahi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU tersebut juga melarang segala aktivitas tambang di pesisir maupun pulau yang luasnya kurang dari 2 ribu kilometer persegi.
“Itu berdasarkan undang-undang yang sudah didukung oleh mahkamah agung maupun mahkamah konstitusi. Itu dilarang untuk melanggar penambangan di pulau kecil tadi tanpa syarat apapun gitu ya. Nah, itu melanggar,” tegas Fahmy.
Fahmy menekankan, Raja Ampat sudah semestinya bebas dari segala aktivitas pertambangan demi menghentikan potensi krisis ekologi. Lebih jauh, aparat termasuk kejaksaan juga harus turun tangan mengusut bagaimana kelima perusahaan bisa mengantongi izin tambang di Raja Ampat.
“Nah, jangan-jangan gitu ya, selamanya di Indonesia itu kan ada semacam KKN gitu ya. Ada semacam kongkalikong sehingga keluar lah izin tadi. Nah, ini barangkali perlu diusut kalau itu terbukti, ya harus ditindak secara pidana dengan aturan hukum yang ada,” pungkasnya.
Sebelumnya, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki IUP di wilayah Raja Ampat menjadi sorotan. Dua perusahaan yakni, PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), mendapat izin dari pemerintah pusat. Sementara tiga lainnya, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, mengantongi izin dari Pemkab Raja Ampat.
Keberadaan dan aktivitas tambang mereka telah menuai kegaduhan sehingga IUP milik 4 perusahaan dicabut. Sedangkan PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag, izinnya tidak dicabut. Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri pun mulai menyelidiki dugaan tindak pidana terkait IUP di kawasan Raja Ampat.