Terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini, Dana Moneter Internasional atau IMF (International Monetary Fund) merombak proyeksinya menjadi 4,8 persen. Naik tipis ketimbang ramalan sebelumnya yang bertengger di level 4,7 persen.
Peneliti Sosial Ekonomi Yayasan Kekal Berdikari, Jan Prince Permata mengatakan, revisi IMF atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, adalah kabar baik.
“Revisi itu bukan sekadar menandakan ketahanan ekonomi domestik membaik, namun juga peluang penting untuk memperkuat pemerataan hasil pembangunan,” papar Jan Prince, Jakarta, Rabu (30/7/2025).
Dia menyebutkan, peningkatan proyeksi tersebut mencerminkan pengakuan global atas konsistensi transformasi ekonomi Indonesia.
“Transformasi ekonomi Indonesia kini mulai memperlihatkan hasil nyata. Dari penguatan industri berbasis hilirisasi, digitalisasi UMKM, hingga stabilitas makroekonomi pasca transisi politik. Dunia mulai memperhitungkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru,” ujar mantan wartawan koran politik nasional itu.
Dia mengatakan, bisa jadi, IMF mencatat adanya perbaikan outlook Indonesia yang didorong stabilitas politik usai pemilu, dorongan hilirisasi sektor mineral dan perkebunan, serta ekspansi ekonomi digital.
Namun demikian, lanjut Jan Prince, risiko eksternal seperti konflik geopolitik, fragmentasi ekonomi dan potensi kenaikan tarif global tetap membayangi.
Diingatkan, pertumbuhan ekonomi yang tercatat membaik itu, belum tentu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Intinya, ada masalah dalam pemerataan pembangunan.
“Pertumbuhan harus inklusif. Pemerintah harus memastikan manfaat ekonomi dirasakan semua lapisan masyarakat, khususnya kelompok miskin, hampir miskin, dan kelas menengah rentan. Pemerataan ekonomi dan penguatan SDM adalah kunci,” kata dia.
Pemerintahan Presiden Prabowo, menurutnya, memiliki momentum strategis untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak hanya mampu tumbuh cepat, tetapi juga membangun fondasi ekonomi yang kokoh dan berkeadilan.
“Ini adalah kesempatan emas bagi Presiden Prabowo untuk membangun ekonomi yang tidak hanya cepat tumbuh, tetapi juga adil dan tahan banting. Kita punya bonus demografi, ekosistem investasi yang kondusif, dan jaringan perdagangan baru. Tapi kalau tidak disertai proteksi sosial dan pemberdayaan, kita akan tumbuh tanpa arah,” tegasnya.
Dalam lanskap regional, Indonesia kini bersaing ketat dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam menarik investasi relokasi dari barat, di tengah perubahan arah ekonomi China menuju konsumsi domestik dan ekspansi teknologi India.
Sebagaimana diketahui, dalam laporannya, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 3,0 persen pada 2025, dan meningkat tipis menjadi 3,1 persen pada 2026, sedikit lebih optimis dibanding proyeksi pada edisi April lalu.
Perubahan ini ditopang oleh pelemahan dolar AS, pelonggaran fiskal di negara-negara besar, serta pelunakan tensi dagang global.
Dalam laporan ini, Bhutan tetap berada di posisi teratas pertumbuhan ekonomi Asia sebesar 7,0 persen, diikuti oleh Tajikistan (6,7 persen), dan India (6,4 persen) yang mengalami revisi naik sebesar 0,2 poin, didorong oleh konsumsi domestik dan investasi teknologi.
Salah satu sorotan utama dari WEO kali ini adalah revisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi China sebesar 0,8 poin menjadi 4,8 persen, yang merefleksikan efek kebijakan stimulus yang mulai terlihat.
Meski proyeksi 4,8 persen menempatkan Indonesia di atas rata-rata pertumbuhan negara berkembang, capaian tersebut masih di bawah target strategis jangka menengah pemerintah sebesar 5,5-6,0 persen.
Laporan IMF ini datang di tengah momentum penting, yakni China yang sedang transisi dari ekspor ke konsumsi domestik, India yang agresif di sektor teknologi dan jasa, ASEAN yang bersaing menarik investasi relokasi dari barat, dan Indonesia yang fokus pada hilirisasi dan ketahanan pangan-energi.