Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menegaskan siap untuk melindungi saksi dan membantu membuka peluang bagi saksi pelaku sebagai justice collaborator (JC) dalam kasus kematian Brigadir MN alias Nurhadi di Nusa Tenggara Barat.
Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat (11/7/2025), mengundang pihak terkait yang mengetahui kejadian tersebut untuk mengajukan permohonan kepada LPSK.
“LPSK sebagai lembaga negara yang melindungi saksi dan/atau korban wajib memberi perlindungan terhadap saksi dalam sebuah tindak pidana untuk membuat terang perkara yang sedang terjadi. Kemungkinan menjadi JC terbuka lebar bagi yang ingin membongkar kejadian yang sebenarnya,” tutur dia.
Menurut Sri, lembaganya telah beberapa kali menerima permohonan saksi pelaku JC. Hingga Juni 2025, permohonan tersebut telah diajukan oleh 11 orang, sementara di tahun 2024 berjumlah empat orang dan tahun 2023 berjumlah enam orang.
LPSK juga bisa memberikan atensi terhadap suatu perkara tindak pidana melalui perlindungan proaktif. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK dalam hal tertentu dapat memberikan perlindungan tanpa diajukan permohonan.
“Tindakan proaktif dan penangan kasus yang menjadi perhatian publik pada 2024 mencapai 154 kasus, meningkat dari tahun 2023 sebanyak 83 kasus,” paparnya.
LPSK pun berwenang melakukan investigasi untuk mengumpulkan informasi mengenai sifat pentingnya keterangan, analisis tingkat ancaman yang membahayakan, hasil analisis tim medis atau psikolog, dan rekam jejak tindak pidana saksi dan korban.
“Selain itu, LPSK juga melakukan proses penelaahan keterangan, surat, atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan tersebut,” imbuh Sri.
Diketahui bahwa Brigadir MN meninggal saat bersama dua atasannya, Kompol Y dan Ipda HC, di sebuah vila di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Rabu (16/4).
Pihak keluarga mengindikasikan almarhum meninggal tidak wajar sehingga kepolisian melakukan penyelidikan. Dalam upaya mengungkap penyebab meninggal Brigadir MN, polisi telah melakukan ekshumasi dengan melakukan pembongkaran makam.
Polda NTB kemudian menetapkan Kompol Y dan Ipda HC sebagai tersangka dengan persangkaan melanggar Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian.
Sebelum berstatus tersangka, Polda NTB melalui sidang Komisi Kode Etik Polri telah memutuskan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan terhadap dua orang perwira itu.
Belakangan, tersangka bertambah menjadi tiga. Tersangka baru tersebut ialah seorang perempuan berinisial M karena diduga ada pada saat peristiwa kematian Brigadir MN.
Polda NTB menjelaskan bahwa berdasarkan hasil autopsi dari ekshumasi makam, Brigadir MN diduga dianiaya saat sedang pingsan di kolam penginapan sekitar pukul 20.00 hingga 21.00 Wita.
Sebelum ditemukan adanya dugaan tersebut, penyidik mendapatkan keterangan bahwa korban bersama tiga tersangka sedang berkumpul menikmati pesta kecil di lokasi kejadian. Ketika itu, salah seorang dari tiga tersangka yang tidak disebutkan inisialnya diduga memberikan sesuatu untuk dikonsumsi korban.
Polda NTB telah melimpahkan berkas para tersangka kepada jaksa. Kejaksaan Tinggi NTB pun mengonfirmasi tengah memeriksa berkas ketiga tersangka tersebut.