Narasi soal kebijakan kawasan tanpa rokok akan ganggu ekonomi pelaku UMKM, disebut menyesatkan. Kepala Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta Roosita Meilani Dewi menegaskan, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang saat ini dibahas DPRD Jakarta memiliki landasan hukum kuat, demi menjaga generasi muda.
“Ini adalah bentuk nyata dari implementasi hak atas hidup sehat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, hingga Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 yang secara tegas melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia 21 tahun,” kata Roosita dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (5/7/2025).
Kekhawatiran aturan ini akan berdampak negatif pada ekonomi daerah terbantahkan dengan data keuangan resmi Pemprov Jakarta. Tercatat, selama satu dekade penerapan larangan iklan rokok melalui Pergub No. 1 Tahun 2015, penerimaan pajak reklame justru mengalami tren stabil bahkan meningkat: dari Rp714,9 miliar pada 2015 menjadi Rp961,3 miliar pada 2024, dengan puncak tertinggi Rp1,095 triliun pada 2022.
“Fakta ini membantah narasi bahwa promosi rokok diperlukan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Justru, pengeluaran rumah tangga miskin untuk rokok yang menempati urutan kedua setelah beras, mencapai Rp79.226 per bulan (Susenas 2019), menunjukkan beban ekonomi yang justru ditanggung keluarga,” ujar dia.
Senada, Sekretaris Jenderal Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Titik Suharyati yang menyebut kebijakan KTR merupakan investasi jangka panjang untuk melindungi anak-anak.
“Kebijakan ini berperan penting dalam menekan angka perokok anak yang semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun,” ungkap Titik.
Sementara, Ketua Panitia Khusus Kawasan Tanpa Rokok (Pansus KTR) DPRD Jakarta Farah Savira menyatakan bahwa Raperda KTR akan tegas, namun tidak mematikan pelaku UMKM.
“Pesan dari Pak Gubernur (Pramono Anung) yang pertama, jika memungkinkan jual-beli produk rokok oleh pelaku UMKM, jangan mematikan UMKM di Jakarta,” kata Farah di Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Farah mengungkap, Pramono memberi arahan agar pengaturan terhadap pelaku UMKM tidak terlalu ketat. Namun, ia menegaskan bahwa pengawasan terhadap kawasan larangan merokok di Jakarta tetap harus diperketat, terutama untuk ruang-ruang tertutup atau indoor.
“Kawasan tanpa rokok harus ditegakkan secara tegas. Termasuk pengaturan kawasan dan ruang-ruang ‘indoor’ yang memang dilarang keras untuk aktivitas merokok,” katanya.
Sebelumnya, Sekjen Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, menyoroti keputusan Panitia Khusus (Pansus) DPRD DKI Jakarta yang memperpanjang waktu pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Adapun semestinya, Pansus KTR DPRD DKI memiliki waktu untuk menyusun rancangan ketentuan dalam Raperda KTR sampai 30 Juni 2025. Namun diperpanjang karena ada pembahasan yang belum selesai.
“Tim Pansus KTR harus diperpanjang lagi, harus ada SK baru sebagai tim Pansus KTR. Dampaknya, target pengesahan Perda KTR pada Juli 2025 menjadi tidak tercapai, alias mundur. Tentu ini sangat mengecewakan,” kata Tulus kepada wartawan, Senin, (30/6/2025).
Tulus mengkahawatirkan adanya potensi ruang negosiasi terselubung oleh kelompok industri terkait yang tak mau adanya pengetatan rokok di Jakarta. Sebab, rencana pembahasan Raperda KTR sudah tertunda belasan tahun lalu.