Kecelakaan Pelajar Bermotor dalam Wajah Retak Institusi Sosial

Kecelakaan Pelajar Bermotor dalam Wajah Retak Institusi Sosial

WhatsApp Image 2025-07-23 at 19.03.00-removebg-preview.jpg

Rabu, 23 Juli 2025 – 19:29 WIB

Ilustrasi. (Desain: inilah.com/inu)

Ilustrasi. (Desain: inilah.com/inu)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Pada Selasa pagi, 22 Juli 2025, di tengah suasana sibuk menjelang masuk sekolah, sebuah kejadian tragis terjadi tepat di hadapan penulis. Dua pelajar mengalami kecelakaan lalu lintas saat mengendarai sepeda motor di jalan yang relatif lengang. Peristiwa ini bukan sekadar insiden kecelakaan biasa, melainkan potret buram problem sosial yang lebih kompleks: pergeseran nilai, lemahnya kontrol sosial, serta minimnya akses terhadap transportasi publik yang aman dan layak bagi pelajar.

Fenomena remaja usia sekolah yang mengendarai sepeda motor menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam struktur sosial. Simbol mobilitas dan kemandirian kerap kali lebih cepat dimiliki ketimbang kedewasaan sosial yang memadai. Dalam perspektif sosiologi, hal ini menandakan disfungsi pada institusi sosial seperti keluarga, sekolah, dan pemerintah dalam menjalankan fungsi kontrol dan sosialisasi secara optimal.

Selain itu, kecelakaan berkendara bermotor oleh pelajar juga memperlihatkan ketimpangan dalam praktik penegakan hukum. Banyak pelajar masih bisa bebas berkendara tanpa Surat Izin Mengemudi (SIM)—sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 77 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (2)—atau tanpa pengawasan orang dewasa. 

Jalan raya telah menjadi arena risiko yang tak proporsional bagi kelompok usia yang belum matang secara psikososial. Ini menuntut pendekatan sosial yang lebih komprehensif dalam memahami dan menangani keselamatan pelajar di ruang publik, khususnya jalan raya.

Pelajar yang menggunakan sepeda motor adalah cerminan dinamika masyarakat modern yang diwarnai mobilitas tinggi dan perubahan nilai dalam kehidupan sehari-hari. Sepeda motor bukan hanya alat transportasi, tapi juga simbol kemandirian, kebebasan, bahkan gaya hidup di kalangan pelajar. 

Namun, di balik meningkatnya mobilitas tersembunyi risiko sosial yang mengancam: tingginya angka kecelakaan lalu lintas di kalangan pelajar, potensi menjadi korban kriminal seperti perampasan atau begal, serta pengaruh negatif peer group yang mendorong perilaku menyimpang atau berbahaya secara sosial.

Berdasarkan data Integrated Road Safety Management System (IRSMS) Korlantas Polri, pada 2024 tercatat 11.565 kasus kecelakaan lalu lintas di Indonesia, dengan 4.464 kasus (32,4 persen) disumbang pengendara berusia 17–29 tahun. Ini meningkat dari tahun 2023, saat proporsi kecelakaan remaja mencapai 31,8 persen dari total 12.000 kasus. Data 2023–2024 menunjukkan tren penurunan total kecelakaan, namun peningkatan peran remaja dalam kasus kecelakaan.

Sementara itu, laporan UNICEF tahun 2022 menunjukkan 30 persen kematian anak usia 10–19 tahun disebabkan kecelakaan, khususnya yang melibatkan sepeda motor. Ini sinyal kuat bahwa kendaraan bermotor bukan hanya simbol mobilitas pelajar, tapi medium risiko sosial yang belum tertangani secara struktural.

Pengaruh Budaya, Media, dan Perspektif Gender

Secara sosiologis, penggunaan sepeda motor oleh pelajar mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat urban dan semi-urban. Dalam paradigma struktur-fungsionalisme, keluarga dan sekolah berfungsi sebagai agen sosialisasi yang mengatur perilaku pelajar.

Namun, tampak terjadi pelemahan fungsi pengawasan dan pembinaan dari kedua institusi tersebut. Pelajar menjadi aktor yang bergerak bebas di ruang publik, tanpa kematangan sosial maupun tanggung jawab moral memadai untuk menavigasi kompleksitas lalu lintas.

Pelajar sering menggunakan sepeda motor bukan hanya untuk kebutuhan transportasi, melainkan juga membangun identitas sosial. Helm, knalpot bising, kecepatan tinggi, hingga gaya mengemudi ugal-ugalan menjadi bagian upaya membangun citra diri di hadapan kelompok sebaya. Simbol ini dipertukarkan dalam interaksi sosial yang mengukuhkan solidaritas kelompok, namun juga menumbuhkan perilaku berkendara berisiko.

Menurut sosiolog Durkheim dengan konsep anomie-nya, ketika norma sosial gagal mengatur perilaku individu, kekacauan dan disfungsi muncul. Meningkatnya kecelakaan lalu lintas oleh pelajar bisa dipahami sebagai konsekuensi lemahnya regulasi dan pengawasan sosial dari pemerintah, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kekosongan norma ini membuat pelajar tak melihat risiko sebagai hal yang harus dihindari, melainkan sebagai tantangan menarik.

Institusi hukum dan aparat penegak lalu lintas juga belum sepenuhnya menjalankan fungsi kontrol sosial secara efektif. Banyak pelajar di bawah umur mengendarai motor tanpa SIM, tanpa helm, dan melanggar aturan tanpa sanksi tegas. Toleransi sosial terhadap pelanggaran ini memperparah budaya sembrono di jalan raya.

Selain itu, perilaku berkendara agresif sering dikaitkan dengan ekspresi maskulinitas pelajar laki-laki. Perspektif gender dan budaya menunjukkan bahwa perilaku tersebut dipengaruhi konstruksi sosial tentang apa itu “jantan”, “berani”, atau “keren”. Pelajar laki-laki, terutama dari kelas menengah ke bawah, menggunakan sepeda motor sebagai sarana kompensasi status, menggantikan akses terhadap simbol status lain seperti pakaian bermerek, gadget mahal, atau mobil.

Budaya pop dan media sosial juga memperkuat normalisasi perilaku ekstrem ini. Video balapan liar, aksi wheelie, dan prank lalu lintas sering viral di TikTok dan Instagram, menjadi inspirasi sekaligus validasi sosial bagi pelajar lain. Media menjadi agen sosialisasi baru yang sering bertentangan dengan nilai keselamatan dan ketertiban.

Keselamatan Jalan: Tanggung Jawab Bersama

Penggunaan kendaraan bermotor oleh pelajar merupakan fenomena sosial tak terelakkan dalam masyarakat modern. Mobilitas tinggi, perubahan gaya hidup, dan tuntutan efisiensi waktu mendorong pelajar mengakses sepeda motor sebagai alat transportasi utama. Fenomena ini menguat seiring perkembangan zaman yang menempatkan kecepatan dan kemandirian sebagai nilai dominan.

Namun, terdapat persoalan struktural penting: keterbatasan akses transportasi publik aman dan terjangkau bagi pelajar, terutama di pinggiran, semi-urban, dan pedesaan. Melemahnya kontrol sosial keluarga, sekolah, dan masyarakat membuka ruang bagi pelajar menggunakan kendaraan bermotor tanpa pengawasan memadai. Tanpa regulasi dan kontrol sosial yang kuat, kendaraan bermotor bagi pelajar menjadi potensi risiko sosial yang meningkat.

Kecelakaan pelajar bermotor bukan sekadar masalah perilaku individu, melainkan persoalan struktural dan kultural kompleks. Pendekatan interdisipliner diperlukan, melibatkan keluarga, pendidikan, penegakan hukum, dan perubahan budaya.

Pemerintah melalui kebijakan transportasi, pendidikan, dan aparat penegak hukum bertanggung jawab menciptakan sistem keselamatan lalu lintas yang melindungi kelompok rentan seperti pelajar. Penegakan hukum terhadap pengendara di bawah umur, penyediaan transportasi publik aman seperti mini bus antar-jemput sekolah, dan kampanye keselamatan berkendara masif harus menjadi prioritas.

Dalam pendekatan teori kontrol sosial, ketegasan aparat lalu lintas dan regulasi ketat dapat mendorong kepatuhan norma berkendara. Namun, praktik pembiaran oknum aparat terhadap pelanggaran pelajar menimbulkan disonansi norma hukum dan realitas sosial.

Sekolah juga memegang peran strategis dalam membentuk kesadaran hukum dan etika berkendara pelajar. Melalui pendidikan kewarganegaraan, pendidikan karakter, dan program keselamatan berkendara terintegrasi dalam kurikulum atau ekstrakurikuler, sekolah dapat membangun budaya tertib lalu lintas. Namun, belum semua sekolah menganggap isu ini penting. Banyak yang permisif terhadap pelajar membawa motor tanpa memastikan legalitas, memperkuat norma permisif di komunitas pendidikan.

Peran keluarga sangat penting. Keluarga adalah lingkungan sosial pertama membentuk nilai, norma, dan kedisiplinan anak. Orang tua memiliki peran kunci mengedukasi anak tentang keselamatan berkendara, kepatuhan hukum, dan membatasi akses kendaraan bermotor sebelum cukup umur dan memiliki SIM.

Permasalahan kecelakaan pelajar tak bisa diselesaikan parsial. Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan pemerintah harus sistematis. Pendekatan berbasis komunitas—melibatkan RT/RW, tokoh masyarakat, dan organisasi kepemudaan—dapat memperkuat kontrol sosial informal yang melemah dalam masyarakat modern. Keselamatan berkendara bukan urusan individu semata, tapi produk norma kolektif dan intervensi sosial efektif.

Negara, sekolah, keluarga, dan masyarakat tak bisa menutup mata. Keselamatan pelajar di jalan raya bukan soal rambu dan helm, melainkan cerminan keberhasilan atau kegagalan sistem pendidikan dan kontrol sosial bersama. Jika institusi sosial lalai menjalankan fungsi, keluarga membiarkan, sekolah abai, aparat permisif, dan masyarakat diam, maka jalan raya tak ubahnya gelanggang kematian menunggu korban berikutnya.

Alih-alih jalur menuju ilmu, cita-cita, dan masa depan, aspal menjelma tapal batas antara hidup dan hilangnya potensi generasi masa depan. Dalam kebisingan mesin dan deru knalpot, yang bergema adalah suara struktur sosial yang retak dan nilai-nilai yang runtuh.

Topik
Komentar

Komentar