Pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto atas kurangnya tenaga kesehatan di Indonesia menjadi ironi tersendiri. Di saat negeri ini membutuhkan lebih banyak dokter, terutama di daerah-daerah pelosok, namun biaya pendidikan kedokteran justru masih tergolong tinggi alias sangat mahal.
Pengamat Kesehatan sekaligus Anggota BPJS Watch, Timboel Siregar menyebut kondisi ini sejatinya bertentangan dengan semangat enam pilar transformasi layanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023.
“Ya, menurut saya memang yang sesuai dengan enam pilar transformasi layanan kesehatan dalam UU 17/2023 itu salah satu pilarnya adalah SDM kesehatan. SDM kesehatan kita memang masih kurang, baik dokter umum, spesialis, maupun subspesialis,” ujar Timboel kepada Inilah.com, Jumat (27/6/2025).
Menurutnya, jumlah dokter Indonesia belum memenuhi standar ideal yang ditetapkan WHO. Saat ini, rasio dokter umum Indonesia masih sekitar 1:1.000 penduduk. Sedangkan untuk spesialis sekitar 1:2.500 penduduk.
“Itu sebabnya dibutuhkan banyak upaya, termasuk pembukaan fakultas kedokteran baru. Tapi permasalahannya adalah proses menjadi dokter itu identik dengan mahal dan lama,” tambahnya.
Timboel juga menyoroti banyaknya calon dokter yang tidak menyelesaikan pendidikannya hingga tuntas, atau bahkan memilih profesi lain setelah lulus, seperti bekerja di instansi non-medis termasuk BPJS Kesehatan. Ia menilai hal ini sebagai bentuk ketidakefisienan dalam sistem pendidikan kedokteran nasional.
“Jadi persoalan misalnya biaya itu juga harus dipangkas. Karena terus terang, memang menjadi dokter itu identik dengan kemahalan. Di kampus swasta, masuknya saja bisa sampai Rp1 miliar. Ini jelas perlu diintervensi oleh pemerintah,” ungkapnya.
Ia mendesak agar Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan kebijakan afirmatif untuk menekan biaya pendidikan kedokteran dan spesialis.
“Jangan hanya buat fakultas kedokteran baru, tapi juga harus intervensi dari sisi biayanya. Negara harus hadir melalui APBN, baik untuk beasiswa maupun subsidi pendidikan,” kata Timboel.
Ia juga menyarankan agar kurikulum pendidikan dokter disederhanakan tanpa mengurangi kualitas, agar proses pendidikan tidak berlangsung terlalu lama.
“Jangan sampai ada yang sampai 6-7 tahun kuliah. Sementara jurusan lain bisa selesai 3,5 tahun. Harus diingat, yang dibutuhkan negara itu bukan hanya sarjana kedokteran, tapi benar-benar dokter yang turun langsung melayani masyarakat secara medis,” tandasnya.