Terkait tata kelola keuangan, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dinilai belum transparan. Padahal, dana yang berada dalam genggaman badan baru yang dipimpin Rosan P Roeslani ini, angkanya super jumbo.
“Kami harapannya ke depan bisa membuat Danantara monitor yang berisi semua pelacak proyek dan kondisi terkini penyaluran pembiayaan himbara (himpunan bank negara),” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Bhima lantas mencontohkan sovereign wealth fund (SWF) milik luar negeri yang begitu terang benderang dalam pengelolaan asetnya. Salah satu negara yang layak jadi panutan Indonesia adalah Norwegia.
Dalam SWF Norwegia atau Norfund, membuka akses seluasnya kepada publik, tidak hanya ke warga negara Norwegia. Sangat mudah untuk melacak ke proyek mana saja Norfund mengalirkan dananya.
“Orang Indonesia saja, kita yang umum, bisa mengakses dana Norfund itu ditempatkan di portofolio apa saja, proyek apa saja, bahkan sampai rate of return-nya berapa,” tutur Bhima.
Oleh karena itu, ia berharap, BPI Danantara juga melakukan hal yang serupa dengan Norfund untuk memberi transparansi kepada publik.
“Danantara itu milik kita. Kita harus berani bilang bahwa Danantara itu harus bertanggung jawab, operasinya harus melibatkan kita, semua pemangku kepentingan,” ucap Bhima.
Melalui pelacak proyek dan penyaluran pembiayaan Danantara, khusus pendanaan yang berasal dari Himbara, Bhima berharap, masyarakat bisa melihat bank-bank apa saja yang menyalurkan pendanaan kepada proyek yang secara keilmuan tidak berpihak terhadap transisi energi.
Dengan demikian, Bhima meyakini masyarakat bisa turut menjadi pengawas agar Danantara tidak hanya menjadi pengelola aset negara yang besar, tetapi juga berkontribusi pada pencegahan krisis iklim yang semakin lama semakin menurun.
“Jangan dengan adanya Danantara, proyek-proyeknya justru memperburuk krisis iklim,” ucap ekonom muda ini.
Sebelumnya, CEO BPI Danantara, Rosan Perkasa Roeslani mengungkapkan, Danantara mengelola 889 entitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan total aset mencapai Rp15.000 triliun.
Danantara menjadi superholding yang mengatur modal investasi yang berasal dari dividen BUMN, bukan dari penyertaan modal negara (PMN).
“Orang nanya, duitnya dari mana sih investasinya? Dana yang kita dapat adalah dari dividen, jadi bukan dari PNM lagi atau dari penyertaan pemerintah,” kata Rosan dikutip dari YouTube Universitas Paramadina, Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
Rosan mengatakan, investasi yang disuntikkan oleh Danantara diwajibkan menghasilkan return 10 persen atau di atas cost of capital dari Danantara.
“Returnnya berapa? Ya, returnnya di atas cost of our capital lah, kalau Indonesia ini kurang lebih we would like to have a return at like 10 persen,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Danantara akan mengantongi dividen BUMN sebesar US$7 miliar lebih, atau setara Rp120 triliun hingga Rp150 triliun.
Di sisi lain, ia menyatakan bahwa Danantara akan memprioritaskan investasi ke sektor industri yang menyerap tenaga kerja sehingga mampu terciptanya lapangan kerja.
“Danantara adalah salah satu instrumen bukan hanya meningkatkan peran dalam ekonomi growth, tetapi juga penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas,” tuturnya.