Kemalasan yang Diproduksi, Kebodohan yang Dilestarikan

Kemalasan yang Diproduksi, Kebodohan yang Dilestarikan


Aku menyatakan dengan serius: kemalasan bukan sifat bawaan, tapi produk. Ya, produk dari sistem yang disengaja dan dirancang dengan presisi. Dalam dunia yang dikendalikan oleh kekuatan modal dan otoritas politik, kemalasan dan kebodohan bukanlah sekadar kelemahan individu, melainkan hasil rekayasa sosial yang cermat.

Negara, melalui media sosial yang diatur algoritma kapitalis, media massa yang korup, dan lembaga pendidikan yang menjenuhkan, telah menyuguhkan distraksi tanpa akhir; hiburan tanpa substansi, informasi tanpa arah, dan pelajaran tanpa makna. Kemalasan tidak lahir dari ruang kosong; ia dipelihara, dibesarkan, dan dijadikan alat kontrol.

Media Sosial dan Kapitalisme Algoritmik

Di era digital, media sosial telah menjadi medan utama perebutan perhatian manusia. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube tidak sekadar menawarkan hiburan, melainkan membangun ekosistem adiksi yang memenjarakan perhatian kolektif. Algoritma kapitalis didesain untuk satu tujuan: menjaga pengguna tetap terlibat selama mungkin, karena waktu adalah uang, dan perhatian adalah komoditas paling berharga.

Dalam logika ini, konten yang viral, sensasional, dan dangkal lebih diutamakan daripada pengetahuan yang kritis dan reflektif. Akibatnya, masyarakat terjebak pada siklus konsumsi pasif; scroll tanpa akhir, klik tanpa makna, dan akhirnya, kelelahan mental yang dilabeli sebagai “kemalasan”.

Namun, kemalasan ini bukanlah bentuk kemalasan tradisional yang diasosiasikan dengan keengganan bekerja atau berusaha. Ini adalah kemalasan yang diproduksi, di mana individu kehilangan kapasitas untuk fokus, berpikir mendalam, dan mengambil inisiatif karena terus-menerus dibombardir oleh distraksi yang diciptakan secara sistematis. Kapitalisme digital tidak menginginkan masyarakat yang kritis dan mandiri, melainkan konsumen yang patuh dan mudah diarahkan.

Jika media sosial adalah alat produksi kemalasan, maka media massa adalah pabrik pelestarian kebodohan. Media arus utama, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi dan pengawal kebenaran, seringkali tunduk pada kepentingan modal dan kekuasaan. Berita-berita yang disajikan cenderung dangkal, bias, dan lebih mengutamakan sensasi ketimbang substansi. Isu-isu penting yang menuntut analisis kritis seringkali diabaikan atau disajikan secara sepihak, sehingga masyarakat kehilangan akses pada informasi yang membebaskan.

Dalam kondisi ini, kebodohan bukanlah sekadar kekurangan pengetahuan, melainkan hasil dari proses pelestarian sistemik. Media massa berperan sebagai filter yang menentukan mana informasi yang layak diketahui publik dan mana yang harus disembunyikan. Dengan demikian, masyarakat didorong untuk menerima narasi tunggal yang menguntungkan penguasa, tanpa ruang untuk mempertanyakan atau mendekonstruksi kebenaran yang disajikan.

Pabrik Penyeragaman, Bukan Ruang Pembebasan

Pendidikan, yang secara ideal seharusnya menjadi instrumen pembebasan, justru berubah menjadi alat penjinakan. Sistem pendidikan formal di banyak negara, termasuk Indonesia, lebih menekankan pada hafalan, kepatuhan, dan penyeragaman. Kurikulum yang kaku dan birokratis menutup ruang bagi kreativitas, imajinasi, dan pemikiran kritis. Sekolah menjadi pabrik yang memproduksi manusia-manusia patuh, bukan individu merdeka yang mampu berpikir dan bertindak secara otonom.

Di ruang kelas, pertanyaan-pertanyaan kritis seringkali dianggap sebagai gangguan, bukan sebagai tanda tumbuhnya nalar. Guru, yang seharusnya menjadi fasilitator pembelajaran, lebih sering berperan sebagai penjaga disiplin dan pelaksana kurikulum. Siswa diajarkan untuk taat pada otoritas, bukan untuk mempertanyakan dan mengeksplorasi dunia. Dalam suasana seperti ini, imajinasi dan daya kritis perlahan mati, digantikan oleh rutinitas dan kepasrahan.

Disinilah dibutuhkannya bahasa. Jangan remehkan peran bahasa dalam kekuasaan ini. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah medan pertempuran makna. Kata, simbol, dan kalimat adalah senjata yang dapat dipelintir oleh siapa saja yang memegang kekuasaan atas makna. Penguasa menentukan makna. Penguasa menulis sejarah. Penguasa menentukan siapa yang disebut “malas”, siapa yang disebut “cerdas”.

Label “malas” seringkali digunakan untuk menstigma kelompok tertentu, padahal kemalasan itu sendiri adalah hasil dari proses sosial yang kompleks. Bahasa menjadi alat untuk membungkam perlawanan dan memperkuat dominasi. Siapa yang berhak mendefinisikan “cerdas”? Siapa yang berhak menentukan standar pengetahuan? Dalam masyarakat yang dikuasai oleh narasi tunggal, bahasa menjadi instrumen kekuasaan yang sangat efektif.

Narasi Tunggal dan Pengendalian Ingatan Kolektif

Sejarah, sebagaimana diajarkan di sekolah atau disebarluaskan oleh negara, biasanya merupakan narasi tunggal yang menguntungkan penguasa. Kebenaran alternatif atau narasi minoritas sering dihapus atau dipinggirkan. Hal ini menjadikan masyarakat sulit membedakan antara pengetahuan yang membebaskan dan ilusi yang meninabobokan. Sejarah tidak pernah netral; ia selalu ditulis dari sudut pandang pemenang.

Dengan mengendalikan sejarah, penguasa mengendalikan ingatan kolektif masyarakat. Mereka menentukan siapa pahlawan, siapa pengkhianat, siapa yang layak dikenang, dan siapa yang harus dilupakan. Dalam proses ini, masyarakat diajarkan untuk menerima narasi yang ada tanpa mempertanyakan, sehingga kehilangan kemampuan untuk membedakan mana ilmu, mana ilusi.

Gabungan dari semua ini menciptakan masyarakat yang patuh, apatis, dan tak berdaya. Kemalasan dan kebodohan bukan lagi masalah individu, melainkan produk sistemik yang dipelihara demi kelanggengan kekuasaan. Distraksi tanpa akhir, informasi tanpa arah, dan pelajaran tanpa makna adalah alat-alat yang digunakan untuk menjauhkan masyarakat dari pengetahuan yang membebaskan dan membangun kesadaran kritis.

Pertanyaannya, berapa banyak dari kita yang sadar sedang dijebak? Berapa banyak yang benar-benar memahami bahwa “kemalasan” yang mereka rasakan adalah hasil dari sistem yang sejak awal dirancang untuk menjauhkan kita dari pengetahuan yang memerdekakan? Dalam masyarakat seperti ini, kesadaran kritis adalah barang langka, dan perlawanan menjadi tugas yang berat.

Merebut Kembali Agensi

Lalu, apa yang tersisa untuk kita? Jawabannya adalah perlawanan. Jika kemalasan dan kebodohan adalah produk sistemik, maka perlawanan adalah upaya sadar untuk merebut kembali agensi. Perlawanan bukan sekadar aksi fisik, melainkan juga perjuangan intelektual dan kultural. Ia dimulai dari membangun kesadaran kritis, mempertanyakan narasi dominan, dan menciptakan ruang-ruang alternatif untuk belajar dan berdiskusi di luar sistem formal yang mapan.

Perlawanan juga berarti merebut kembali bahasa, menulis sejarah sendiri, dan mendefinisikan makna secara kolektif. Ia menuntut keberanian untuk berbeda, untuk bertanya, dan untuk menolak tunduk pada standar yang ditetapkan oleh kekuasaan. Dalam dunia yang penuh distraksi dan penyeragaman, perlawanan adalah upaya untuk tetap waras, tetap kritis, dan tetap merdeka.

Inilah dunia kita. Kemalasan diproduksi. Kebodohan dilestarikan. Dan semua itu dijaga agar kekuasaan tetap langgeng.

Namun sejarah juga mencatat, di setiap zaman kegelapan, selalu ada mereka yang berani melawan arus, mempertanyakan norma, dan membangun jalan baru menuju pembebasan. Tugas kita hari ini adalah melanjutkan tradisi itu; menjadi masyarakat pembelajar yang tidak mudah diperdaya oleh narasi tunggal, yang berani berpikir kritis, dan yang selalu mencari makna di balik setiap kata, setiap peristiwa, dan setiap kebijakan.

Dengan demikian, perlawanan bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan bagi siapa pun yang masih percaya pada kebebasan berpikir dan martabat manusia. Karena hanya dengan melawan, kita bisa merebut kembali masa depan yang lebih adil dan bermakna.

Komentar