Kemenkes Akui Layanan 3T Belum Maksimal: Operasional Tinggi, Pemda Masih Disuplai Pusat

Kemenkes Akui Layanan 3T Belum Maksimal: Operasional Tinggi, Pemda Masih Disuplai Pusat


Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengakui pemerataan layanan kesehatan hingga wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) masih menghadapi banyak kendala.

Salah satu faktor utamanya adalah tingginya biaya operasional di wilayah tersebut yang membuat pemerintah daerah (pemda) masih bergantung penuh pada sokongan anggaran dari pusat.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, menjelaskan biaya operasional di wilayah 3T cenderung tinggi karena transportasi yang sulit dijangkau.

“Wilayah 3T merupakan wilayah dengan dana operasional yang tinggi karena banyak menggunakan pembiayaan kapal atau pesawat kecil akibat akses yang sulit dan rumit,” kata Aji kepada Inilah.com, dikutip Rabu (20/8/2025).

“Beban pembiayaan sangat besar, sementara anggaran daerah terbatas untuk membiayai, sehingga terjadi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dalam pembiayaannya melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK),” ujarnya.

Tak hanya itu, Aji menyoroti sistem pembiayaan saat ini juga belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan riil di lapangan.

Misalnya, tarif kapitasi untuk kebutuhan promotif dan preventif yang dianggap belum memadai. Hal ini karena layanan dilakukan pada wilayah dengan cakupan luas tapi kepadatan rendah.

“Meskipun wilayah tersebut mendapat tarif khusus bagi faskes di wilayah terpencil, tetap saja belum mencerminkan kebutuhan pembiayaan,” katanya.

Selain itu, Aji juga menilai tarif Indonesia Case-Based Groups (INA-CBGs) di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) masih belum sesuai dengan biaya nyata yang harus dikeluarkan di daerah terpencil.

“Tarif INA-CBGs yang berlaku di FKRTL juga dianggap belum mencerminkan biaya riil daerah dengan keterbatasan akses. Akibatnya, seringkali selisih tarif menjadi beban pemerintah daerah dalam pembiayaannya,” jelasnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Kemenkes menilai perlu adanya skema pembiayaan khusus di wilayah terpencil yang lebih adaptif dengan kondisi geografis dan demografis.

“Diperlukan pembiayaan khusus bagi tarif di wilayah terpencil, misalnya melalui inovasi telemedicine, insentif tenaga kesehatan yang lebih tinggi, kolaborasi lintas sektor, optimalisasi fasilitas kesehatan pemerintah di wilayah perbatasan sebagai gate keeper, serta pemberian peralatan dan obat yang dibutuhkan,” katanya.

Dengan begitu, pasien kata Aji tidak harus dirujuk ke wilayah jauh dengan transportasi yang sangat mahal dan berbahaya bagi pasien.

Komentar