Kemenkes Ungkap Batasan ChatGPT dalam Diagnosis Penyakit, Ini Penjelasannya

Kemenkes Ungkap Batasan ChatGPT dalam Diagnosis Penyakit, Ini Penjelasannya

Ibnu Medium.jpeg

Kamis, 24 Juli 2025 – 08:49 WIB

Ilustrasi (Foto: Anadolu Agency)

Ilustrasi (Foto: Anadolu Agency)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membagikan sejumlah kiat bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI), termasuk ChatGPT, untuk memeriksa kondisi kesehatan sebagai langkah preventif. Namun, Kemenkes menegaskan bahwa AI tidak bisa menggantikan peran dokter.

“Saat ini kita belum bisa percaya 100 persen terhadap kecerdasan buatan, jadi tetap harus berkonsultasi ke dokter,” ujar Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan Kemenkes, Setiaji, dalam temu media di Jakarta, Rabu (23/7/2025).

Setiaji yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan (TTDK) Kemenkes mengatakan, AI dapat menjadi alat bantu awal untuk mengenali gejala penyakit. Namun, diagnosis tetap harus dikonfirmasi oleh tenaga medis profesional.

“Kalau sekadar ingin tahu dan waspada terhadap diri sendiri, silakan gunakan ChatGPT. Tapi paling tidak, tetap harus dilanjutkan dengan konsultasi ke dokter,” tegasnya.

Perbandingan Jawaban Jadi Kunci

Menurut Setiaji, teknologi AI seperti ChatGPT telah membuat masyarakat lebih peduli terhadap kondisi kesehatannya. 

Banyak orang mulai aktif mencari tahu soal gejala penyakit dan tindakan awal yang bisa dilakukan. Meski demikian, ia mengimbau agar masyarakat tidak hanya terpaku pada satu sumber informasi.

“Cara paling mudah, bandingkan jawabannya. Posisinya sama atau beda? Kalau beda, kita wajib waspada,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa ChatGPT menggunakan basis data global, bukan spesifik Indonesia. 

Hal ini membuat hasil yang ditampilkan bisa saja tidak sesuai dengan konteks lokal, baik dari sisi penyakit endemik, standar pengobatan, maupun layanan yang tersedia.

Gunakan Platform Lokal dan Tindaklanjuti

Setiaji menyarankan masyarakat mulai mengakses platform AI kesehatan lokal seperti Sahabat AI, yang sudah menyesuaikan data dan bahasa dengan konteks Indonesia.

“Sahabat AI itu datanya ada di Indonesia dan pakai bahasa lokal, itu sudah lebih baik dibanding hanya mencari di Google yang bisa jadi tidak terakurasi dengan baik,” katanya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa hasil dari ChatGPT atau alat AI lainnya bukanlah akhir, melainkan pemicu untuk tindak lanjut.

“Jangan menunggu sakit baru konsultasi. Kalau hasil dari AI cocok dengan diagnosis dokter, maka segera tindak lanjuti, baik dengan kunjungan ke rumah sakit atau layanan kesehatan daring,” ucap Setiaji.

Kelemahan ChatGPT di Bidang Kesehatan

Setiaji menggarisbawahi bahwa meski ChatGPT mampu mengenali sejumlah pola gejala, namun alat ini memiliki keterbatasan dalam hal:

  • Sensitivitas terhadap konteks klinis tertentu
  • Akurasi dalam diagnosis awal
  • Ketidakmampuan memberikan kepastian terkait persentase kesembuhan
  • Keterbatasan dalam interpretasi gambar, seperti hasil rontgen atau MRI, terutama jika kualitas gambarnya rendah

“Kalau image-nya blur, ya hasilnya pasti tidak akurat. Jadi yang kita ukur dua hal: sensitivitas dan akurasi. Dan ChatGPT masih belum cukup di dua hal itu,” kata dia.

Kemenkes menilai kehadiran AI dapat menjadi alat bantu yang berguna dalam upaya preventif, asal digunakan dengan bijak dan tidak menggantikan peran dokter. 

Prinsip kehati-hatian dan validasi oleh profesional medis tetap menjadi standar utama dalam menjaga kesehatan masyarakat.

Topik
Komentar

Komentar