Ketika Bank Dunia menyebut 60,3 persen rakyat Indonesia masuk kategori miskin berdasarkan standar negara berpendapatan menengah-atas, banyak pihak terperangah. Pasalnya, angka tersebut begitu kontras dengan klaim pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut kemiskinan hanya 8,57 persen. Dan di balik disparitas data tersebut, tersingkap fenomena yang kerap terabaikan yakni jatuhnya kelas menengah ke kelompok duafa akibat krisis struktural yang terus berulang.
Pilar stabilitas ekonomi Kelas menengah, dalam banyak studi, sering dianggap sebagai pilar stabilitas ekonomi. Namun, mereka juga kelompok paling rentan ketika krisis datang. The Brookings Institution pernah menyebut bahwa kelas menengah di negara berkembang sering kali bukan entitas yang kokoh, melainkan entitas yang rapuh dan bisa runtuh kapan saja akibat guncangan harga atau kehilangan pekerjaan.
Sebagai ilustrasi, di tengah pandemi COVID-19, beberapa waktu lalu, jutaan warga Indonesia kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan penghasilan drastis. Ketika ekonomi mulai pulih, gelombang PHK di sektor digital, manufaktur, hingga ritel justru menyapu mereka yang sebelumnya aman secara ekonomi. Inflasi pangan dan energi kemudian memperparah situasi.
Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia menggunakan ambang batas US$6,85 per hari atau sekitar Rp115 ribu sebagai ukuran kemiskinan. Maka, berdasarkan standar ini, lebih dari separuh rakyat Indonesia tergolong miskin.
Sebaliknya, BPS masih menggunakan ambang sekitar Rp20 ribu per hari, sebuah angka yang jauh di bawah standar hidup layak. Di sinilah letak persoalannya. Ketika ukuran terlalu rendah, kemiskinan seolah menurun, padahal kerentanannya membesar.
Dalam hal ini, analis menyebut adanya standar ganda. Di satu sisi, pemerintah gencar mempromosikan status Indonesia sebagai negara menengah-atas, namun masih memakai standar negara miskin untuk mengukur kemiskinan.
Di titik inilah muncul istilah miskin rentan atau vulnerable poor. Mereka adalah warga yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan nasional, tetapi sangat rentan terhadap guncangan. Sekali tergelincir, mereka bisa masuk ke jurang kemiskinan absolut.
Lembaga Riset SMERU menyebut bahwa sejak pandemi, kelompok miskin rentan bertambah signifikan. Mereka bisa lulusan universitas, memiliki pekerjaan tetap, bahkan memiliki rumah. Namun, ketika pengeluaran tak lagi sebanding dengan pemasukan, kelas ini mulai runtuh.
“I used to rule the world, seas would rise when I gave the word,” begitu disenandungkan Coldplay dalam Viva La Vida. Lirik ini setidaknya menggambarkan rasa kehilangan akan kendali hidup, sebagaimana pula yang dirasakan jutaan mantan kelas menengah di Indonesia.
Lebih menyedihkan, banyak dari mereka yang mengalami kemiskinan tidak tercatat dalam data resmi. Sistem jaring pengaman sosial berbasis data BPS luput menjangkau mereka. Bantuan sosial (bansos) lebih banyak menyasar kelompok miskin ekstrem, bukan mereka yang baru jatuh miskin.
Kehidupan yang bermakna Profesor Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom menyebut bahwa kemiskinan bukan sekadar ketiadaan pendapatan, tetapi ketidakmampuan untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Dalam konteks Indonesia, kelompok miskin rentan menghadapi keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Faktor struktural memperparah keadaan. Ketiadaan perlindungan sosial universal, lemahnya pasar kerja, dan beban biaya hidup kawasan urban yang tinggi membuat peluang mobilitas sosial kian sempit. Bahkan, mobilitas turun kini lebih dominan dibanding mobilitas naik.
Inflasi yang menembus 4,2 persen pada akhir 2024 terutama berasal dari sektor pangan dan energi. Dua komponen ini memakan porsi besar dalam pengeluaran rumah tangga kelas menengah bawah. Kenaikan harga beras hingga 20 persen dalam setahun terakhir adalah mimpi buruk bagi mereka.
Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya jumlah pekerja informal, yang mencapai lebih dari 60 persen dari total angkatan kerja. Mereka rentan terhadap kehilangan pendapatan, tidak memiliki jaminan kesehatan atau pensiun.
Alih-alih bangkit, banyak dari kelas menengah yang hanya berupaya bertahan hidup. Mereka menunda perawatan kesehatan, mengalihkan anak ke sekolah yang lebih murah, hingga tinggal di rumah orang tua demi menekan biaya hidup.
BPS memang mencatat penurunan angka kemiskinan ekstrem, tetapi tidak serta-merta berarti kualitas hidup meningkat. Yang terjadi adalah relokasi statistik, bukan pemulihan struktural. Mereka hanya berpindah dari kategori miskin ekstrem ke miskin rentan.
Kondisi ini menimbulkan dilema kebijakan. Apakah negara harus terus menggunakan standar lama demi citra atau mulai mengakui realitas baru demi solusi yang lebih akurat?
Memperkuat jaring pengaman Bank Dunia menyarankan agar Indonesia memperkuat jaring pengaman sosial dan memperluas cakupan bantuan tunai. Namun, implementasi kebijakan ini terganjal data yang tidak mutakhir dan minim integrasi antar lembaga.
Belajar dari negara tetangga seperti Vietnam, yang berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dengan investasi besar di sektor pendidikan dan kesehatan dasar, Indonesia seharusnya bisa mengadopsi kebijakan serupa.
Pemerintah perlu memperbarui definisi kemiskinan agar sesuai dengan realitas sosial dan ekonomi saat ini. Selain itu, perlindungan sosial harus bergeser dari berbasis data statis ke pendekatan dinamis yang mampu merespons guncangan ekonomi.
Kita juga membutuhkan sistem ketenagakerjaan yang lebih adaptif. Undang-Undang Cipta Kerja yang mempermudah perekrutan harus dibarengi dengan perlindungan kerja yang lebih kuat. Jika tidak, fleksibilitas akan berubah menjadi kerentanan.
Kelompok miskin rentan di negeri ini sudah terlalu lama luput dari perhatian karena tidak tergolong miskin menurut data, namun juga tidak cukup kuat untuk terus bertahan.
Lagu Bruce Springsteen dalam The Ghost of Tom Joad menyuarakan problem ini dengan getir: “Wherever there’s somebody fightin’ for a place to stand, for a decent job or a helpin’ hand, you’ll see me.”
Realitas sosial Indonesia saat ini penuh dengan Tom Joad yang tak terlihat. Mereka adalah keluarga yang tinggal di pinggir kota, bekerja tanpa jaminan sosial, dan terus bertahan di ambang batas kemiskinan.
Tak cukup dari angka GDP Jika negara ini ingin sungguh-sungguh menjadi negara berpendapatan menengah-atas, maka pembangunan tidak cukup dilihat dari angka Gross Domestic Product (GDP) dan Gross National Income (GNI). Tetapi, harus dilihat pula dari seberapa banyak rakyatnya bisa hidup layak, bebas dari kecemasan sehari-hari.
Tanpa perbaikan struktural, kelompok miskin rentan akan menjadi kelompok mayoritas yang diam, yang kehilangan daya beli, produktivitas, bahkan harapan. Maka, seperti dikatakan Bob Dylan: “When you got nothing, you got nothing to lose.”
Oleh karena itu, inilah saatnya kita jujur pada diri sendiri dan mulai membangun definisi yang benar terkait kemiskinan. Karena kemiskinan yang tak diakui adalah kemiskinan yang tak pernah akan bisa diatasi.