Kereta barang pertama dari China akhirnya menderu masuk ke Iran minggu ini melintasi gurun, gunung, dan geopolitik penuh ranjau. Ini bukan sekadar pengiriman barang tetapi pukulan simbolik terhadap hegemoni Amerika Serikat di kawasan yang selama ini dianggap halaman belakang Washington.
Dibangun di atas fondasi perjanjian senilai USD 400 miliar antara Beijing dan Teheran yang diteken pada 2021, jalur ini menjadi bagian penting dari ambisi global China lewat Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Tapi di balik kemilau investasi dan konektivitas, ada pesan keras yang tersirat: Era kontrol jalur laut oleh armada AS bisa jadi sedang menuju senjakala.
Analis wilayah Asia-Pasifik, Laut Cina Selatan, dan sejarah Penerbangan, Rita Sharma dalam tulisannya mengutip Eurasian Times, mengungkapkan, baik Beijing maupun Teheran memiliki pandangan strategis untuk melemahkan hegemoni global AS, dan keduanya telah menghadapi ketegangan, sanksi, dan tekanan yang berasal dari Washington.
“Iran yang relatif kuat dan independen di Teluk Persia akan membantu China menjaga kepentingannya di kawasan tersebut, sekaligus mengamankan sumber energi dan membangun jejaknya di Timur Tengah,” ujar peraih gelar magister dalam Studi Konflik dan Manajemen Perdamaian dari Universitas Erfurt, Jerman.
Rel baja ini bukan sekadar logistik. Ini strategi. Ini geopolitik. Ini adalah jalur di mana Washington tidak bisa lagi menempatkan kapal perangnya untuk memantau lalu lintas minyak Iran.
Kereta barang itu meluncur dari Provinsi Xi’an di China menuju pelabuhan kering Aprin dekat Teheran, memangkas waktu pengiriman dari 40 hari via laut menjadi hanya 15 hari via darat. Jalur ini melintasi Turkmenistan dan Kazakhstan, membawa bukan hanya kontainer, tapi juga semangat kemerdekaan ekonomi yang selama ini terkekang oleh sanksi Barat.
CEO Pelabuhan Aprin menyebut rute ini sebagai “jalur baja kemerdekaan”. Tanpa patroli kapal induk AS, Iran kini bisa mengirim dan menerima barang di luar jangkauan Washington—sebuah perubahan permainan yang drastis dalam lanskap perdagangan regional.
Tidak berhenti sampai di situ, rute ini adalah tahap pertama dari koridor kereta api China-Eropa yang tengah digodok bersama Iran, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Turki. Para pejabat keenam negara baru-baru ini berkumpul di Teheran untuk menyepakati tarif kompetitif dan langkah akseleratif konektivitas.
Sementara itu, Laut Merah—jalur laut yang dulunya diandalkan dunia—kini jadi medan perang armada Houthi. Hampir 200 serangan terhadap kapal dagang, termasuk kapal tanker minyak, telah dilakukan sejak akhir 2023. Biaya logistik naik, risiko meningkat, dan Laut Merah berubah dari jalur emas menjadi ladang ranjau. Kereta ini tidak hanya lebih cepat, tapi juga jauh lebih aman dari misil.
Iran, China, dan Mimpi Membentuk Cincin Emas
Di tengah tensi global, Iran menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah yang bersedia menjual minyak ke China meski diperintahkan berhenti oleh AS. Negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Kuwait tak bisa berbuat banyak karena berada dalam pelukan diplomatik Washington.
Namun, rencana jangka panjang Beijing jauh lebih ambisius: menghubungkan Pelabuhan Chabahar (Iran) dan Pelabuhan Gwadar (Pakistan), menciptakan “Golden Ring” atau cincin emas yang menghubungkan China, Pakistan, Iran, Rusia, dan Turki. Sebuah konfigurasi strategis yang akan mengukuhkan dominasi BRI dari Pasifik ke Mediterania.
India pun gelisah. Proyek kereta Chabahar-Zahedan yang didukungnya terancam kalah cepat. Kedekatannya dengan AS membuat proyeknya tersendat, sementara China melaju kencang di lintasan geopolitik ini.
Washington tentu tidak tinggal diam. Dalam beberapa bulan terakhir, AS telah menaburkan sanksi ke mana-mana—mulai dari terminal penyimpanan minyak di Huizhou, China, hingga perusahaan-perusahaan di UEA dan Iran yang dituding mendukung program rudal Teheran.
Retorika dari Departemen Luar Negeri AS semakin keras, menyebut China sebagai pendukung utama aktivitas jahat Iran, dan memperingatkan akan terus menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang ikut terlibat, bahkan dari negara ketiga.
Namun, efek nyata dari sanksi-sanksi itu semakin dipertanyakan. China justru membantu Iran keluar dari jerat isolasi, memberi mereka akses ke teknologi, pasar, dan stabilitas ekonomi yang selama ini dibatasi. Dan semua itu meluncur di atas rel yang tak bisa dijaga kapal perang.
Di atas kertas, kereta barang China-Iran hanya soal efisiensi logistik. Tapi secara geopolitik, ini adalah simbol kedaulatan dan pembangkangan terhadap satu-satunya negara yang selama ini memonopoli lalu lintas kekuasaan global.
Bagi Iran, ini adalah kemenangan, minyak mereka kini punya jalan keluar. Bagi China, ini adalah perluasan wilayah pengaruh yang lebih murah dibandingkan invasi militer. Bagi Amerika Serikat, ini adalah mimpi buruk yang bergerak di atas rel baja, membelah Asia Tengah dan memutar ulang peta dominasi global. Dan bagi dunia? Ini adalah sinyal bahwa peta kekuatan global sedang digambar ulang—dengan kereta, bukan kapal perang.