Kesejahteraan Wakil Rakyat vs Keadilan Sosial

Kesejahteraan Wakil Rakyat vs Keadilan Sosial


“Social and economic inequalities are to be arranged so that they are to the greatest benefit of the least advantaged.”

-John Rawls

Rasa keadilan bisa goyah ketika jurang sosial antara rakyat dan wakil rakyat makin lebar.

Dalam konteks demokrasi, wakil rakyat seharusnya hadir sebagai representasi rakyat sepenuhnya. Fasilitas dan tunjangan yang diberikan negara kepada mereka harus mampu menopang secara langsung peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan malah untuk menopang gaya hidup para wakil rakyat. Proporsinya pun mesti wajar.

Tak sedikit kalangan menilai bahwa pemberian fasilitas dan tunjangan yang berlebihan untuk wakil rakyat lebih mengarah pada simbol status daripada kebutuhan kerja. Di sinilah dilema etis itu bermula.

Tidak merugikan rakyat

Negara tentu saja memiliki kewajiban menjamin agar para pejabat publiknya dapat bekerja dengan efektif. Akan tetapi, keseimbangan harus dijaga agar kebijakan itu tidak merugikan rakyat kecil.

Teori keadilan John Rawls dapat bisa menjadi rujukan. Rawls menekankan apa yang diistilahkan sebagai difference principle, yakni ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan jika memberikan manfaat terbesar bagi kelompok paling lemah.

Maka, pertanyaan penting pun muncul: apakah fasilitas dan tunjangan besar bagi wakil rakyat memenuhi prinsip Rawls tersebut? Apakah rakyat kecil merasakan manfaat langsung dari fasilitas dan tunjangan yang diberikan untuk wakil rakyat?

Jika jawabannya tidak, maka fasilitas dan tunjangan itu lebih mencerminkan privilese elite dibanding kebijakan adil. Rasa keadilan sosial pun terganggu.

Ambil contoh, realitas di lapangan memperlihatkan rakyat kebanyakan masih kesulitan membeli rumah layak huni. Sementara itu, wakil rakyat memperoleh tunjangan perumahan dalam jumlah yang bagi rakyat terasa mustahil. Perbedaan kondisi ini menciptakan jarak psikologis antara rakyat dan elite. Di titik ini, demokrasi berisiko kehilangan maknanya ketika jurang sosial semakin melebar.

Tugas negara seyogianya memastikan distribusi sumber daya berjalan lebih adil. Prioritas anggaran seharusnya menyentuh pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan langsung masyarakat.

Bila sebagian besar anggaran justru terkuras untuk fasilitas dan tunjangan pejabat, adalah wajar untuk mempertanyakan arah kebijakan negara. Di sisi lain, legitimasi politik pun bisa melemah. Dalam situasi ini, integritas pejabat pun diuji. Apakah mereka berani menolak fasilitas dan tunjangan berlebih demi solidaritas dengan rakyat kecil?

Kedekatan emosional

Kesederhanaan pejabat akan menjadi teladan kuat dan nyata. Ia bukan sekadar simbol moral, tetapi juga penguat rasa kebersamaan. Bayangkan jika pejabat memilih tinggal di rumah dinas yang sederhana, atau sangat sederhana. Publik akan melihat kedekatan emosional yang nyata. Kepercayaan terhadap lembaga negara pun meningkat.

Sebaliknya, ketika wakil rakyat mempertontonkan kemewahan, rasa percaya publik perlahan dapat melorot. Rakyat merasa wakilnya hidup di dunia yang berbeda dengan mereka. Lirik-lirik dalam lagu Can’t Buy Me Love dari The Beatles agaknya bisa memberi pelajaran sederhana, bahwa kekayaan materi tidak otomatis membawa cinta atau kepercayaan.

Cinta dan kepercayaan rakyat tidak bisa dibeli dengan fasilitas mewah dan tunjangan besar yang diberikan untuk pejabat. Keduanya muncul dari sikap adil dan empati terhadap penderitaan masyarakat. Dari fondasi cinta dan kepercayaan inilah lahir kemudian tuntutan berikutnya, yakni rakyat ingin kepastian bahwa apa yang diberikan negara benar-benar digunakan untuk kepentingan bersama.

Karena itu, wajar bila publik mendesakkan transparansi dan evaluasi. Fasilitas dan tunjangan untuk pejabat harus jelas manfaatnya bagi tugas negara, bukan sekadar simbol status sosial. Tanpa transparansi, fasilitas dan tunjangan bisa berubah menjadi beban moral. Publik bisa saja menilai pejabat hanya memikirkan diri sendiri.

Kritik-kritik yang dilontarkan terhadap fasilitas dan tunjangan negara yang digelontorkan untuk pejabat bukan berarti menolak pemberian fasilitas dan tunjangan itu sepenuhnya. Kritik adalah upaya menjaga agar kebijakan tetap berada di jalur keadilan sosial. Di banyak negara, standar fasilitas dan tunjangan pejabat dibuat sangat ketat. Tujuannya agar tidak ada kesan bahwa mereka hidup di atas rakyat.

Indonesia bisa belajar dari praktik itu. Standar fasilitas dan tunjangan harus wajar dan proporsional. Semua fasilitas dan tunjangan perlu dikaitkan langsung dengan fungsi kerja dan manfaatnya secara langsung bagi kesejahteraan rakyat. Jika hal ini bisa dipraktikkan, rakyat akan melihat bahwa negara memang serius membangun keadilan sosial. Kecurigaan terhadap elite pun bisa berkurang.

Kesadaran pejabat untuk tidak menuntut lebih adalah kunci penting. Empati akan membuat kebijakan lebih membumi. Negara yang adil adalah negara yang berani menyeimbangkan kepentingan elite dengan kebutuhan rakyat kecil. Prinsip ini harus menjadi pedoman setiap kebijakan.

Bila fasilitas dan tunjangan besar untuk pejabat terus dipertahankan, risiko yang muncul bukan hanya pemborosan anggaran negara. Lebih dari itu, krisis kepercayaan bisa kian besar. Krisis kepercayaan adalah ancaman serius bagi demokrasi. Tanpa kepercayaan, rakyat sulit menerima keputusan politik.

Karena itu, dilema etis pemberian fasilitas dan tunjangan negara harus segera dijawab dengan kebijakan tegas. Negara perlu memastikan bahwa fasilitas dan tunjangan pejabat tidak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.

Pada akhirnya, kesejahteraan wakil rakyat harus berjalan selaras dengan dengan kesejahteraan rakyat yang mereka wakili. Jika keduanya seimbang, demokrasi akan lebih kuat dan rasa keadilan sosial — sebagaimana gamblang tertuang dalam Pancasila — dapat benar-benar dirasakan oleh kita semua dan bukan omon-omon belaka.

Komentar