Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira tak sepakat dengan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani yang menyebut deflasi Mei 2025 sebesar 0,37 persen, bukan pertanda anjloknya daya beli.
Kata Bhima, pernyataan Sri Mulyani itu, tidak sesuai dengan realita yang terjadi pada saat ini.
“(Deflasi Mei 2025) Merupakan indikasi ekonomi makin suram. Deflasi Mei pertanda daya beli makin lesu. Jadi, bukan hanya faktor pasca Lebaran. Misalnya di komponen peralatan rumah tangga terjadi deflasi -0,04 persen (month to month/mtm). Harga makanan, minuman, tembakau turunnya sampai -1,4 persen (mtm),” tutur Bhima kepada Inilah.com di Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Ia menilai, pemerintah seharusnya memaknai deflasi Mei 2025 sebesar 0,37 persen itu, sebagai lampu kuning bagi perekonomian nasional. Naga-naganya, perekonomian bakal kembali melemah di kuartal II-2025.
“Kalau kondisi motor permintaan rendah berlanjut, maka PHK massal makin masif di semester dua tahun ini. Kalau ekonomi tumbuh di bawah 5 persen lagi, atau bahkan di bawah 4,87 persen di kuartal II-2025, maka Indonesia masuk resesi teknikal,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani merespons positif pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) tentang deflasi Mei 2025, sebesar 0,37 persen (month to month/mtm). Ini kabar baik.
Dia mengatakan, deflasi terjadi bukan disebabkan daya beli masyarakat Indonesia, turun. Namun efek dari kebijakan pemerintah yang berhasil menjaga stabilitas harga.
“Kalau deflasi ini kan kaya kita melakukan diskon tarif transportasi. Ini pasti menimbulkan deflasi, bukan karena masyarakat daya belinya turun karena pemerintah melalui administered price, pemerintah melalukan intervensi,” ujar Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/6/2025).
Adapun kelompok pengeluaran yang memberikan andil deflasi bulanan terbesar adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau, yang mengalami deflasi sebesar 1,40 persen dan memberikan andil deflasi sebesar 0,41 persen.
Kemudian, komoditas utama penyumbang deflasi yaitu cabai merah dan cabai rawit, masing-masing menyumbang deflasi sebesar 0,12 persen. Kemudian, bawang merah , ikan segar, bawang putih, dan daging ayam ras.
Sedangkan inflasi inti tercatat 0,08 persen (mtm), dan 2,40 persen (yoy). Kenaikan harga terjadi pada tarif pulsa ponsel, emas perhiasan, dan kopi bubuk.
Bendahara negara itu, menegaskan, realisasi deflasi Mei 2025, muncul karena permintaan masyarakat, masih terjaga dengan baik.
Sementara itu, berdasarkan survei kuartal II-2025 kembali turun menjadi 4,80 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Jika Bloomberg benar, maka perlambatan ekonomi terjadi dalam dua kuartal beruntun, berdampak kepada semakin beratnya tugas tim ekonomi Kabinet Merah Putih (KMP) meraih target ekonomi tahun ini, sebesar 5,2 persen.
Kegagalan ini tentunya membuat arah ekonomi melenceng dari target pertumbuhan 8 persen seperti yang diinginkan Presiden Prabowo Subianto.
Di mana, produk domestik bruto(PDB) Indonesia pada kuartal I-2025 mengalami kontraksi 0,98 persen ketimbang kuartal sebelumnya. Jika kuartal II tergerus lagi maka perekonomian Indonesia masuk zona resesi teknikal. Karena itu tadi, pertumbuhan ekonomi turun dalam dua periode kuartal berturut-turut.
Capaian pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2025, diramal semakin lesu, terlihat dari semakin terkulainya daya beli yang menjadi pengungkit utama pertumbuhan. Di saat bersamaan, perekonomian Indonesia cukup terdampak penerapan tarif resiprokal dari Presiden AS, Donald Trump.