Tanah Suci seharusnya menjadi tempat khusyuk beribadah. Tapi bagi sebagian jemaah haji tahun ini, ibadah justru dibarengi kegelisahan, bukan soal spiritual, melainkan soal administratif. Penyebabnya: Kartu Nusuk dan skema syarikah.
Menjelang puncak haji 1446 H, ribuan jemaah asal Indonesia masih belum menerima Kartu Nusuk, alat mobilitas wajib yang diterapkan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi pada musim haji kali ini.
Kartu ini menjadi syarat akses ke sejumlah fasilitas, termasuk transportasi dan layanan selama prosesi Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Tanpa kartu ini, jemaah seperti warga negara tanpa paspor, tersesat di negeri sendiri.
Setiap tahunnya, penyelenggaraan haji tidak pernah tanpa drama. Ada saja masalah yang membuat hati para calon jemaah haji gusar.
Bukan karena ketidaksiapan jemaah di Indonesia namun kali ini karena Kartu Nusuk yang tidak kunjung datang. Kartu ini berisi identitas jemaah, lengkap dengan lokasi hotel tempatnya menginap.
“Seharusnya saya sudah berangkat sekarang ke Tanah Suci, namun takdir berkata lain. Visa tidak keluar, Kartu Nusuk juga tidak ada. Jadi saya kembali pulang ke kampung,” ujar Kasmawa kepada inilah.com, Sabtu (31/05/2025).
Contoh lainnya juga dirasakan pemilik PT Kanomas Arci Wisata perusahaan travel haji dan umrah, Umar Bakadam. Dia mengungkapkan dari total 180 calon jemaah haji furoda yang dia kelola, baru sekitar 100 orang yang sudah mendapat visa dan Kartu Nusuk.
Kejadian ini menurutnya adalah sebuah panggilan dan takdir dari Allah. Sebab, bagi dia panggilan berhaji merupakan panggilan Allah, dan takdir diberangkatkan atau tidak tentu tergantung kehendak-NYA.
“Sebetulnya kami sudah bayar hotelnya, tiketnya, sudah semuanya. Tapi memang ini takdir dari Allah. Nusuknya yang belum keluar. Kalau Nusuk keluar, InsyaAllah semuanya berhasil (berangkat haji),” kata Umar.
Umar pun bercerita, ketika ada seorang pejabat yang gagal berangkat bersama istrinya karena visa dan Nusuk tak terbit, sementara ajudannya justru lolos.
“Itu panggilan dari Allah. Dia ke-reject, itu takdir,” ujarnya.
Memang sungguh ironis. Kekisruhan ini bukan kali pertama terjadi saat penyelenggaraan haji tiba. Indonesia sebagai negara yang paling banyak mendatangkan jemaah haji ke Tanah Suci seakan terseok-seok menghadapi gebrakan-gebrakan baru dari pemerintah Arab Saudi.
Belum lagi hal yang semakin rumit karena bertemu dengan sistem baru lain yang tak kalah membingungkan, yaitu skema syarikah. Seakan Indonesia terbengong-bengong dengan segala sistem baru yang diterapkan pemerintah Arab Saudi.
Posisi ini menempatkan pemerintah Indonesia dalam dilema. Di satu sisi, mereka berkewajiban melindungi jemaah, tetapi di sisi lain, tak punya kuasa langsung atas sistem yang terus berubah. Tentunya ini di luar kuasa pemerintah Indonesia.
Ganti Baju Maktab dengan Skema Syarikah
Arab Saudi tahun ini secara resmi mengganti sistem maktab, yang sebelumnya menjadi semacam kantor atau agen penanggung jawab jemaah di Mina dan Arafah, dengan skema syarikah.
Ini adalah sebuah sistem yang mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada perusahaan-perusahaan lokal berskala lebih besar.
Masalahnya, tidak semua syarikah memberikan pelayanan secara merata. Contohnya tidak sedikit jemaah mengeluh tak kunjung mendapat informasi ke mana harus menuju, siapa yang bertanggung jawab atas logistik, atau bagaimana mekanisme perpindahan.
Harapannya semakin banyak syarikah akan semakin baik pelayanannya karena masing-masing syarikah berlomba untuk memberikan pelayanan terbaik.
“Namun, karena belum terkelola dengan baik, di lapangan terjadi dinamika yang terkadang tidak diduga sebelumnya sehingga menimbulkan sedikit masalah,” papar Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2022-2027) yang juga menjadi petugas haji, Abd. Rohim Ghazali kepada Inilah.com.
Ketua Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI sekaligus Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal yang melakukan inspeksi ke sejumlah tenda jemaah menyatakan keprihatinan atas buruknya koordinasi.
Cucun menegaskan pentingnya gerak cepat dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kementerian Agama RI untuk melakukan diplomasi intensif dengan pihak Syarikah di Arab Saudi.
Hal ini disampaikan usai evaluasi terhadap penyelenggaraan haji gelombang pertama Timwas Haji DPR RI yang dinilai masih menghadapi sejumlah kendala teknis.
“Timwas ketika datang ke Madinah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan haji di gelombang pertama. Salah satu persoalan utama adalah perbedaan kualitas pelayanan akibat penanganan oleh berbagai Syarikah,” ujar Cucun usai Rapat Evaluasi di Daker Madinah, Arab Saudi.

Kabar terakhir ada kemajuan berarti dalam pendistribusian kartu Nusuk dari Syarikah kepada para calon jemaah haji.
“Update dari Kementerian Haji Arab Saudi, saat ini sudah 208.181 jemaah haji Indonesia yang sudah menerima Kartu Nusuk, baik jemaah reguler maupun khusus. Ini setara 96 persen dari 217.147 jemaah haji Indonesia yang sudah tiba di Tanah Suci,” ujar Konsul Haji KJRI Jeddah Nasrullah Jasam.
Hingga hari ke-29 operasional haji, tercatat 189.734 jemaah haji reguler telah tiba di Tanah Suci dalam 482 kloter. Dari jumlah tersebut, 55 persen merupakan jemaah perempuan (105.085 orang), dan 45 persen laki-laki (84.649 orang). Selain itu, sebanyak 15.033 jemaah haji khusus juga telah tiba di Arab Saudi.
Diplomasi, Literasi, dan Regulasi Ulang
Masalah ini menuntut lebih dari sekadar improvisasi di lapangan. Ada tiga solusi jangka pendek dan jangka panjang yang perlu dilakukan.
Solusi Pertama
Penguatan diplomasi bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi, khususnya agar ada kejelasan, transparansi, dan keterlibatan negara pengirim dalam menyusun sistem.
Cucun menekankan perlunya diplomasi dan lobi intensif oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Indonesia (PPIH) yang dipimpin langsung oleh Dirjen Haji dan Umrah Kementerian Agama kepada Pemerintah Arab Saudi.
“PPIH kita harus betul-betul mendorong Kementerian Haji Saudi agar Syarikah ini tidak kaku dalam pembagian wilayah layanan. Kalau ada yang terpisah, mereka bisa saling menggantikan pembiayaan, yang penting pelayanan jemaah tidak terganggu. Kita ini user, kalau pelayanannya buruk, tahun depan kita tidak akan pakai mereka lagi,” tegas Cucun.

Menanggapi kisruh penyelenggaraan haji kali ini terutama soal layanan syarikah, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar selaku Amirul Hajj 2025 justru mengapresiasi langkah Kerajaan Saudi dalam merespons sejumlah hal terkait jemaah calon haji Indonesia. Salah satunya terkait dengan penyedia layanan jemaah berbasis syarikah.
“Banyak persoalan-persoalan yang bisa kita selesaikan dengan tangan dingin. Artinya, dengan pendekatan kekeluargaan. Kita berterima kasih kepada Pemerintah Saudi Arabia memberikan apresiasi positif dan khusus terhadap jemaah haji Indonesia,” ujar Menag.
Padahal Cucun menilai, hal ini bisa menjadi pemantik kisruh di lapangan. Menurutnya, pembagian satu kloter jemaah haji ke dalam penanganan beberapa Syarikah yang berbeda telah menimbulkan ketimpangan layanan dan menyulitkan koordinasi lapangan.
Solusi Kedua
Peningkatan literasi jemaah, khususnya pada sistem digital dan birokrasi haji, agar mereka tak lagi sepenuhnya bergantung pada petugas.
Solusi Ketiga
Revisi regulasi perlindungan jemaah, termasuk pengawasan terhadap sistem non-kuota seperti Furoda yang lebih rentan terhadap dampak perubahan sepihak ini.
Bagi jemaah yang sudah berangkat, satu-satunya solusi jangka pendek adalah terus berkoordinasi dengan petugas kloter masing-masing.
Begitu pula untuk para petugas haji, harus dengan sigap membantu jemaah haji Indonesia.
Jemaah harus tetap bersabar menghadapi birokrasi di tengah ujian keimanan saat menunaikan rukun Islam yang kelima ini.
Seharusnya, sistem ini harus diperbaiki secara menyeluruh. Ibadah haji bukan sekadar urusan spiritual, tapi juga soal manajemen jutaan manusia. Seharusnya pemerintah bisa belajar dari pengalaman yang sudah dilewati.
Jemaah haji tetap niatkan ibadah, jangan sampai kekhusyuan beribadah justru dibuat bingung oleh birokrasi tak ramah dan membuat tidak nyaman.