Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencurigai adanya pengelolaan dana bantuan sosial (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2020–2023 yang disalurkan ke yayasan-yayasan terafiliasi dengan sejumlah Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024.
Dana tersebut diduga berkaitan dengan pengkondisian persetujuan rencana anggaran BI dan OJK, sebagai mitra kerja Komisi XI DPR, terutama pada tahun anggaran 2020 hingga 2023, yang kini menjadi tempus penyidikan.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa Komisi XI DPR dalam menjalankan tugas dan wewenangnya memiliki mitra kerja, termasuk BI dan OJK. Khusus untuk dua lembaga tersebut, Komisi XI DPR RI memiliki kewenangan tambahan, yakni mewakili DPR dalam memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran masing-masing lembaga setiap tahun.
Asep menyebut, sebelum memberikan persetujuan, Komisi XI terlebih dahulu membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas pendapatan dan pengeluaran dalam rencana anggaran yang diajukan oleh BI dan OJK. Dalam hal ini, dua tersangka yaitu Heri Gunawan (HG) dan Satori (ST) termasuk dalam Panja tersebut.
“Sebelum memberikan persetujuan dimaksud, Komisi XI DPR RI terlebih dahulu membentuk Panitia Kerja (Panja) yang didalamnya termasuk Tersangka HG dan ST, untuk membahas Pendapatan dan Pengeluaran rencana anggaran yang diajukan oleh BI dan OJK,” ujar Asep kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/8/2025).
Lebih lanjut, Asep menjelaskan bahwa Panja tersebut melaksanakan rapat tertutup setelah Rapat Kerja Komisi XI bersama pimpinan BI dan OJK pada bulan November setiap tahunnya, yakni tahun 2020, 2021, dan 2022. Dalam rapat-rapat tersebut, sejumlah kesepakatan diambil.
Pertama, BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR dengan alokasi kuota: BI sekitar 10 kegiatan per tahun dan OJK sekitar 18 hingga 24 kegiatan per tahun. Kedua, dana tersebut disalurkan melalui yayasan-yayasan yang dikelola oleh anggota Komisi XI.Ketiga, teknis penyaluran dibahas lebih lanjut oleh tenaga ahli (TA) masing-masing anggota DPR bersama pelaksana dari BI dan OJK dalam rapat lanjutan.
“Dalam rapat lanjutan dilakukan pembahasan, diantaranya; jumlah yayasan; teknis pengajuan proposal; teknis pencairan uang; dokumen laporan pertanggung jawaban (LPJ); serta alokasi dana yang diperoleh dari setiap anggota DPR Komisi XI per tahunnya,” ujar Asep.
Setelah Panja selesai melaksanakan tugasnya, anggota Komisi XI kembali menggelar Rapat Kerja untuk menyetujui Rencana Anggaran Tahunan BI dan OJK pada sekitar bulan November atau Desember.
Untuk menindaklanjuti hasil rapat teknis, Heri Gunawan disebut menugaskan tenaga ahlinya, sementara Satori menugaskan orang kepercayaannya untuk membuat dan mengajukan proposal permohonan bantuan sosial kepada BI dan OJK.
“Melalui 4 (empat) Yayasan yang dikelola oleh Rumah Aspirasi HG dan 8 Yayasan yang dikelola oleh Rumah Aspirasi ST,” ujar Asep.
Tak hanya kepada BI dan OJK, Heri Gunawan dan Satori juga diduga mengajukan proposal permohonan bantuan sosial kepada mitra kerja Komisi XI lainnya melalui yayasan yang mereka kelola. Namun, KPK belum mengungkap mitra kerja lainnya secara rinci.
Yayasan-yayasan milik Heri Gunawan dan Satori disebut menerima dana dari mitra kerja Komisi XI selama periode 2021–2023. Namun, KPK menduga dana tersebut tidak digunakan untuk kegiatan sosial sebagaimana yang tercantum dalam proposal.
Sebelumnya, Satori dari Fraksi NasDem dan Heri Gunawan alias Hergun dari Fraksi Gerindra, yang menjabat sebagai Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024, diduga menerima gratifikasi dari pengelolaan dana CSR BI dan OJK periode 2020–2023.
Mereka disebut menerima gratifikasi dengan nilai fantastis. Hergun menerima Rp15,86 miliar, sementara Satori Rp12,52 miliar.
“HG menerima total Rp15,86 miliar. ST menerima total mencapai Rp12,52 miliar,” ujar Asep dalam konferensi pers.
Uang gratifikasi tersebut kemudian disamarkan melalui berbagai cara, seperti penggunaan rekening atas nama orang lain dan pembelian sejumlah aset pribadi.
Asep menyebut Hergun menyamarkan uang gratifikasi dengan meminta anak buahnya membuka rekening baru untuk menampung dana melalui setor tunai.
“HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya; pembangunan rumah makan; pengelolaan outlet minuman; pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” jelasnya.
Sementara Satori juga diduga mencuci uang gratifikasi untuk kepentingan pribadi.
“Deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom mobil, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tambah Asep.
Asep juga menyebut Satori diduga merekayasa transaksi perbankan dengan meminta salah satu bank daerah menyamarkan proses penempatan dan pencairan deposito agar tidak terdeteksi dalam rekening koran.
Sebelumnya, KPK telah resmi menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait pengelolaan dana CSR BI dan OJK periode 2020–2023, yakni Hergun dan Satori.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Pasal TPPU berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.