Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bung Karno (UBK), Hudi, mempertanyakan temuan KPK bahwa Sinar Mas hanya menerima aliran dana sebesar Rp44 juta dalam kasus investasi fiktif PT Taspen senilai Rp1 triliun.
Menurutnya, jumlah tersebut sangat tidak wajar diterima oleh perusahaan besar seperti Sinar Mas yang dikenal sebagai konglomerasi raksasa di Indonesia.
“Kalau uang Rp44 juta untuk apa? Investasi buka warung? Sebesar perusahaan konglomerat itu memang aneh apabila hanya terima sebesar itu,” ujar Hudi saat dihubungi Inilah.com, Rabu (23/4/2025).
Hudi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyidik lebih dalam dugaan aliran dana ke sejumlah entitas di bawah Grup Sinar Mas, seperti Sinar Mas Sekuritas dan anak perusahaan lainnya.
“KPK harus benar-benar mendalami kasus itu agar dapat data yang sebenarnya. Jangan sampai KPK lengah dengan para koruptor. Ke semua diduga terlibat seperti cabang dan manajemennya,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, penyidik KPK telah dua kali memanggil petinggi Sinar Mas, Indra Widjaja, namun yang bersangkutan mangkir dari panggilan pada Selasa (15/4/2025) dan Rabu (12/2/2025). Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyatakan bahwa pihaknya akan menjadwalkan ulang pemanggilan, dan tidak menutup kemungkinan mengambil langkah hukum seperti penjemputan paksa.
Dalam keterangannya, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menyebut bahwa PT Sinar Mas Sekuritas ikut mengelola dana investasi fiktif milik PT Taspen senilai Rp1 triliun, dan mendapatkan keuntungan sebesar Rp44 juta.
KPK telah menetapkan dua tersangka dalam perkara ini, yakni Antonius Kosasih dan Ekiawan Heri Primaryanto (EHP), yang ditahan sejak pertengahan Januari 2025.
Kronologi Korupsi PT Taspen
Kasus ini bermula pada 2016 ketika PT Taspen menanamkan investasi sebesar Rp200 miliar dalam Sukuk Ijarah TSP Food II (SIAISA02) yang diterbitkan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Food (TPSF) Tbk. Pada 2018, instrumen tersebut dinyatakan gagal bayar dan tidak layak dijadikan alat investasi.
Pada Januari 2019, setelah diangkat sebagai Direktur Investasi PT Taspen, Antonius Kosasih diduga terlibat dalam pengambilan keputusan terkait skema penyelamatan investasi. Salah satu kebijakan kontroversialnya adalah mengarahkan konversi sukuk gagal bayar itu ke dalam reksa dana RD I-Next G2 yang dikelola oleh PT IIM.
Pada Mei 2019, PT Taspen menempatkan dana sebesar Rp1 triliun ke dalam reksa dana tersebut, meski kebijakan itu bertentangan dengan aturan internal perusahaan yang mewajibkan penanganan sukuk bermasalah dengan strategi hold and average down (menahan tanpa menjual di bawah harga perolehan).
Akibat skema ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp191,64 miliar, ditambah bunga sebesar Rp28,78 miliar. Beberapa pihak diduga memperoleh keuntungan dari praktik tersebut, di antaranya:
1. PT IIM: Rp78 miliar
2. PT Valbury Sekuritas Indonesia (VSI): Rp2,2 miliar
3. PT Pacific Sekuritas (PS): Rp102 juta
4. PT Sinarmas (SM): Rp44 juta
5. Pihak lain yang berafiliasi dengan Kosasih dan EHP
KPK menegaskan komitmennya untuk mendalami perkara ini secara menyeluruh guna mengembalikan kerugian negara, serta menindak tegas semua pihak yang terlibat. Penyelidikan juga berpotensi diperluas ke ranah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta kemungkinan penetapan tersangka korporasi.