Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama para ahli hukum untuk membahas implikasi Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Sebab ada beberapa poin yang dinilai tidak sinkron dengan tugas dan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, tidak merinci pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang dianggap bertentangan dengan UU KPK.
“Benar, pada Kamis (10/7), KPK menggelar FGD dengan para ahli hukum untuk membahas terkait implikasi rancangan KUHAP, di mana beberapa pasalnya tidak sinkron dengan tugas dan kewenangan KPK yang telah diatur dalam UU 30 Tahun 2002 jo UU 19 Tahun 2019,” kata Budi Prasetyo melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (11/7/2025).
Budi menjelaskan, dari hasil FGD tersebut, para pakar mendukung penuh pentingnya pengaturan lex specialis terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi seperti yang selama ini dijalankan KPK.
Artinya, KPK dapat mengesampingkan aturan perundang-undangan yang bersifat umum dalam RUU KUHAP, dan tetap mengikuti peraturan yang bersifat khusus sesuai dengan UU KPK.
“Di mana korupsi dipandang sebagai extraordinary crime, juga menjadi lex specialist dalam KUHP. Terlebih, kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan juga telah disahkan oleh MK,” jelasnya.
Lebih lanjut, Budi menambahkan, masukan dari para pakar tersebut akan menjadi bahan pengayaan bagi KPK dalam pembahasan internal selanjutnya.
Kewenangan KPK Terancam dalam RUU KUHAP
Sebelumnya, isu mengenai posisi lex specialis KPK terhadap RUU KUHAP sempat menjadi sorotan, terutama terkait kewenangan penyadapan.
“Dengan demikian, berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, KPK dapat saja melakukan penyadapan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2019 tanpa perlu mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP,” kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (24/3/2025).
Tanak menegaskan bahwa KPK adalah lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, KPK memiliki kewenangan melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan hingga penyidikan, sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2019. Sementara itu, KUHAP hanya mengatur penyadapan pada tahap penyidikan.
“KPK adalah lembaga negara yang dibentuk secara khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Lembaga ini khusus menangani perkara tindak pidana korupsi dan dalam melaksanakan tugasnya, KPK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan pada tahap penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2019,” jelas Tanak.
Lebih lanjut, Tanak menyebut bahwa KUHAP mengatur penyadapan hanya pada tahap penyidikan, yang umumnya dilakukan oleh penyidik aparat penegak hukum (APH) lain seperti Polri dalam menangani tindak pidana umum.
“Penyadapan yang diatur dalam KUHAP lebih bersifat umum karena dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana apa saja dan dapat dilakukan oleh penyidik Polri serta penyidik lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan,” terangnya.
Penyadapan Harus Disertai Izin Pengadilan
Sebagai informasi, DPR tengah membahas revisi KUHAP. Dalam draf revisi tersebut, aturan penyadapan tertuang dalam Pasal 124, yang menyebut bahwa penyidik, PPNS, dan/atau penyidik tertentu dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan.
“Penyidik, PPNS, dan/atau Penyidik Tertentu dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan,” demikian bunyi Pasal 124 ayat (1) draf RKUHAP, dikutip Jumat (21/3/2025).
Pada ayat selanjutnya diatur bahwa penyadapan harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
“Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri,” lanjut ketentuan tersebut.
Namun, dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin, antara lain jika:
a. Berpotensi terjadi bahaya maut atau ancaman luka berat;
b. Ada permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau
c. Terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi.
Jika penyadapan dilakukan dalam keadaan mendesak, persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri harus segera dimohonkan dalam waktu paling lama satu hari setelah penyadapan dilakukan.
“Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penyadapan yang sedang dilakukan wajib dihentikan serta hasil penyadapan tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti dan harus dimusnahkan,” bunyi draf tersebut.
Pasal 125 mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan maksimal selama 30 hari. Perpanjangan dapat diajukan untuk 30 hari berikutnya, dengan izin dari atasan penyidik dan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.
Hasil penyadapan bersifat rahasia. Jika hasil tersebut tidak relevan dengan kepentingan penegakan hukum atau masa simpan telah habis, maka hasil penyadapan harus dimusnahkan.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai penyadapan sebagaimana diatur dalam Pasal 124 hingga 128 akan diatur dalam Undang-Undang mengenai Penyadapan,” demikian bunyi akhir dari RKUHAP tersebut.