KPK Kejar Keterlibatan PT SMJL di Korupsi Kredit Fiktif LPEI

KPK Kejar Keterlibatan PT SMJL di Korupsi Kredit Fiktif LPEI


Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan pencairan kredit fiktif yang dilakukan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT SMJL.

Untuk mengusut lebih lanjut proses persetujuan pencairan dana kredit bermasalah tersebut, KPK telah memeriksa dua mantan pejabat LPEI, yakni mantan Direktur Eksekutif LPEI Ngalim Sawego dan mantan Direktur Pelaksana IV LPEI periode 2014–2018, Arif Setiawan, pada Selasa (22/4/2025).

“Keduanya hadir. Didalami terkait dengan proses persetujuan pembiayaan kepada PT. SMJL,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (23/4/2025).

Sebelumnya, penyidik juga telah memeriksa Hendarto, pemilik BJU Grup dan mantan Komisaris Utama PT SMJL untuk mendalami penerimaan kredit, serta Kukuh Wirawan, mantan Kepala Divisi Pembiayaan I LPEI selaku pihak pemberi. Pemeriksaan dilakukan pada Senin (20/1/2025).

“Saksi semua hadir. Saksi 1 (Kukuh) dan 2 (Hendarto) didalami terkait dengan penerimaan dan pemberian uang terkait pengajuan fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI),” jelas Tessa.

Hingga kini, penyidik KPK baru menetapkan tiga tersangka dari pihak PT Petro Energy (PE), yaitu Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT PE, Jimmy Masrin (JM); Direktur Keuangan PT PE, Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD); dan Direktur Utama PT PE, Newin Nugroho (NN). Ketiganya telah ditahan sejak Maret 2025.

Sementara itu, dua tersangka lain dari LPEI—Direktur Pelaksana I, Dwi Wahyudi (DW), dan Direktur Pelaksana IV, Arif Setiawan (AS)—hingga kini belum ditahan.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa dalam konstruksi perkara ini terdapat dugaan konflik kepentingan antara direksi LPEI dan debitur PT PE. Sejak awal, diduga telah terjadi kesepakatan yang mempermudah proses pemberian kredit.

Direksi LPEI disebut tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap penggunaan dana kredit sesuai dengan ketentuan Manajemen Aset dan Piutang (MAP). Bahkan, mereka memerintahkan bawahannya untuk tetap mencairkan kredit meskipun tidak layak diberikan.

PT PE juga diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice sebagai dasar pencairan kredit yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, perusahaan tersebut melakukan manipulasi (window dressing) terhadap laporan keuangan.

Dana kredit yang diterima PT PE tidak digunakan sebagaimana mestinya dan menyimpang dari tujuan serta peruntukan yang telah disepakati dalam perjanjian dengan LPEI.

KPK mencatat, pemberian fasilitas kredit fiktif oleh LPEI kepada PT PE telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp846.956.205.027 (Rp846,9 miliar).

Selain PT PE, terdapat 10 debitur lainnya yang juga diduga terlibat dalam skema kredit fiktif, namun belum ditetapkan sebagai tersangka. Total kerugian negara yang diperkirakan timbul dari kasus kredit fiktif 11 debitur tersebut mencapai Rp11,7 triliun.
 

Komentar