KPK Tahan Dua Tersangka Kasus LNG

KPK Tahan Dua Tersangka Kasus LNG


Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan dua tersangka dalam pengembangan kasus dugaan tindak pidana korupsi (TPK) dalam pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) gas alam cair di PT Pertamina (Persero) selama periode 2013 hingga 2020.

Kedua tersangka dimaksud yaitu mantan Direktur Gas 2012–2014, Hari Karyuliarto (HK) dan mantan Senior Vice President Gas & Power pada 2013–2014 serta mantan Direktur Gas 2015–2018, Yenni Andayani (YA).

“Tersangka HK dan YA, hari ini dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 31 Juli sampai dengan 19 Agustus 2025,” kata Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu kepada ketika jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025).

Asep menjelaskan, Hari ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (Gedung C1) dan Yenni di Rutan cabang Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

Sebelumnya diberitakan, Penetapan tersangka terhadap Yenni dan Hari merupakan hasil pengembangan perkara mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan.Mahkamah Agung (MA) memperberat vonis Karen dari 9 tahun menjadi 13 tahun penjara dalam kasus korupsi LNG di Pertamina. MA juga menjatuhkan denda sebesar Rp650 juta subsider enam bulan kurungan. Denda ini lebih tinggi dibanding putusan sebelumnya yang hanya Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Karen didakwa telah menyebabkan kerugian negara sebesar USD 113,84 juta atau sekitar Rp1,77 triliun akibat korupsi pengadaan LNG di Pertamina pada 2011 hingga 2014.

Ia juga didakwa memperkaya diri sebesar Rp1,09 miliar dan USD 104.016 (sekitar Rp1,62 miliar), serta memperkaya korporasi CCL sebesar USD 113,84 juta atau sekitar Rp1,77 triliun.

Karen juga disebut memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas di beberapa kilang LNG potensial di Amerika Serikat tanpa pedoman pengadaan yang jelas. Persetujuan tersebut tidak didukung oleh justifikasi kuat, analisis teknis dan ekonomis, serta analisis risiko yang memadai.

Konstruksi Perkara

Perkara bermula ketika PT Pertamina (Persero) melakukan pembelian LNG impor dari Corpus Christi Liquefaction, LLC—anak perusahaan dari Cheniere Energy Inc., sebuah korporasi asal Amerika Serikat yang terdaftar di Bursa Saham New York. Penandatanganan kontrak pembelian dilakukan pada tahun 2013 dan 2014, yang kemudian digabung menjadi satu kontrak pada tahun 2015. Kontrak tersebut memiliki masa berlaku selama 20 tahun, dimulai dari tahun 2019 hingga 2039, dengan nilai kontrak ditaksir mencapai kurang lebih USD 12 miliar, tergantung pada fluktuasi harga gas saat tahun berjalan.

Namun, pembelian LNG tersebut diduga dilakukan oleh Hari dan Yenni tanpa pedoman pengadaan yang berlaku dan tanpa dasar justifikasi teknis maupun kajian ekonomi yang memadai. Selain itu, tidak ada kontrak “back to back” atau perjanjian penjualan LNG kepada pihak di dalam negeri, sehingga tidak terdapat kepastian siapa yang akan membeli dan menggunakan LNG tersebut di Indonesia.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa LNG hasil pembelian tersebut tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia hingga saat ini, dan harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga gas dalam negeri. KPK juga menduga bahwa pembelian LNG impor ini dilakukan tanpa memperoleh rekomendasi atau izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), yang seharusnya menetapkan kebutuhan impor sebagai syarat mutlak sebelum pengadaan dilakukan.

Padahal, kebijakan impor LNG harus mempertimbangkan pengembangan potensi gas nasional, seperti di wilayah Masela, Andaman, Teluk Bintuni, dan sejumlah blok gas lainnya di Kalimantan, guna mendukung devisa dan penerimaan negara. Tak hanya itu, Hari dan Yenni juga diduga telah meloloskan pembelian LNG jangka panjang tersebut tanpa persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero), padahal kontrak tersebut bersifat material dan bukan kegiatan operasional rutin.

Lebih jauh, penyidik menemukan adanya dugaan pemalsuan dokumen persetujuan Direksi dan kelalaian dalam pelaporan kepada Komisaris, termasuk tidak adanya pelaporan rencana maupun hasil perjalanan dinas ke Amerika Serikat terkait penandatanganan LNG Sales and Purchase Agreement (SPA) Train 2 dengan Corpus Christi Liquefaction.

Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
 

Komentar