Krisis Kepercayaan di Jantung Ekonomi Global

Krisis Kepercayaan di Jantung Ekonomi Global


Di tengah perlambatan ekonomi dunia dan gejolak geopolitik yang tak kunjung reda, pusat kekuatan ekonomi global—Amerika Serikat—justru sedang menghadapi krisis dari dalam. Bukan karena pelemahan permintaan eksternal atau serangan siber dari lawan-lawan strategisnya, tetapi karena benturan kepentingan antara kekuasaan politik dan otoritas moneter. Presiden Donald Trump secara terbuka menyerang Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, karena tidak menurunkan suku bunga sesuai harapan Gedung Putih. Sementara itu, The Fed memilih bersikap hati-hati dan tetap fokus menjaga inflasi agar tidak lepas kendali. Konflik ini bukan sekadar pertarungan narasi. Ini adalah pertarungan kredibilitas. Dan dunia sedang memperhatikannya.

Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Trump terhadap berbagai negara, terutama Tiongkok, telah mendorong lonjakan harga barang impor. Kenaikan harga ini langsung dirasakan oleh konsumen, memicu lonjakan ekspektasi inflasi dalam jangka pendek. Survei University of Michigan mencatat ekspektasi inflasi satu tahun ke depan melonjak ke 6,7%, tertinggi sejak 1981. Data dari New York Fed menunjukkan angka 3,6%—jauh di atas target inflasi 2% yang ditetapkan Federal Reserve (Dolan, 2025).

Meski tekanan terhadap biaya hidup meningkat, The Fed tetap menolak menurunkan suku bunga secara tergesa-gesa. Ketua Jerome Powell menyatakan bahwa inflasi yang disebabkan oleh tarif bisa bersifat sementara, tetapi juga bisa menjadi lebih persisten jika direspons secara politis, bukan teknokratis. Ia menegaskan bahwa The Fed tidak akan mengambil keputusan berdasarkan tekanan eksternal, tetapi akan menunggu kejelasan data dan tren yang konsisten sebelum mengubah arah kebijakan (The Guardian, 2025).

Strategi ini disebut Mike Dolan dari Reuters sebagai pendekatan “cruel-to-be-kind”—keras demi kebaikan. Meskipun terasa menyakitkan dalam jangka pendek, langkah ini bertujuan untuk menjaga ekspektasi inflasi jangka panjang tetap stabil. Data pasar mendukung strategi ini. Breakeven rate obligasi 10 tahun menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi jangka panjang turun ke 2,1%, mendekati target The Fed. Ini sinyal bahwa pasar masih percaya pada otoritas moneter, meskipun Gedung Putih menyerangnya secara terbuka (Dolan, 2025).

Ketegangan ini bukan hanya pertarungan antara dua institusi. Ini adalah pertarungan antara prinsip dan kepentingan politik. Trump menekan agar suku bunga dipangkas, dengan harapan mempercepat pertumbuhan ekonomi menjelang pemilu. Powell dan timnya menolak tunduk, dengan mempertahankan integritas dan independensi lembaga. Ketika otoritas moneter mulai dicampuri kekuasaan politik, maka pasar akan menilai bahwa sistem tidak lagi bekerja secara kredibel. Inilah yang menjadi pangkal dari krisis kepercayaan.

Dampak dari krisis ini sudah terasa secara global. WTO memperkirakan perdagangan barang dunia akan berkontraksi sebesar 0,2% tahun ini, revisi tajam dari proyeksi ekspansi 3% enam bulan lalu. UNCTAD bahkan memperingatkan bahwa dunia sedang berjalan ke arah resesi dengan proyeksi pertumbuhan global hanya 2,3% pada 2025—terendah sejak krisis keuangan global 2009 jika pandemi COVID-19 dikecualikan. Fitch, lembaga pemeringkat terkemuka, memperkirakan pertumbuhan global bahkan bisa turun di bawah 2% (Dolan, 2025).

Di balik angka-angka tersebut terselip satu pesan penting: pasar bukan hanya merespons kebijakan, tapi juga merespons kepercayaan. Ketika Presiden AS menyerang bank sentral negaranya sendiri, maka yang terguncang bukan sekadar pasar obligasi atau saham, melainkan kredibilitas sistem ekonomi yang menjadi jangkar dunia. Dolar AS, suku bunga acuan The Fed, dan obligasi pemerintah AS bukan sekadar instrumen teknis. Mereka adalah simbol kepercayaan global. Jika simbol ini retak, efek domino akan menghantam negara-negara lain, terutama yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap stabilitas eksternal.

Pelajaran penting untuk Indonesia sangat jelas. Pertama, independensi bank sentral harus dijaga sepenuhnya. Bank Indonesia tidak boleh tunduk pada tekanan politik, baik dari eksekutif maupun legislatif. Kedua, komunikasi kebijakan moneter dan fiskal harus sinkron dan terarah. Kebijakan yang bertabrakan hanya akan menciptakan kebingungan dan mendorong risiko makroekonomi. Ketiga, pembangunan kepercayaan tidak bisa dibangun dengan retorika. Ia hanya tumbuh lewat konsistensi, transparansi, dan disiplin.

Indonesia harus menyiapkan diri menghadapi gelombang ketidakpastian global yang mungkin muncul dari pusat kekuatan ekonomi dunia. Ketika krisis kepercayaan terjadi di jantung sistem global, negara-negara berkembang harus memperkuat pertahanannya sendiri. Penguatan fondasi fiskal, pengelolaan utang yang sehat, dan peran aktif dalam diplomasi ekonomi internasional menjadi kunci untuk menjaga stabilitas di tengah badai yang bukan kita ciptakan, tapi bisa menghantam kita kapan saja.

Apa yang terjadi di antara Trump dan The Fed adalah lebih dari sekadar adu argumen. Ini adalah benturan nilai antara populisme dan profesionalisme, antara kehendak politik dan komitmen kelembagaan. Dunia akan mencatat siapa yang bertahan di tengah tekanan, dan siapa yang mengorbankan kredibilitas demi kepentingan jangka pendek. Dari sana, kita semua belajar bahwa dalam dunia yang terhubung, krisis kepercayaan di satu negara bisa menjalar jadi krisis global.

Komentar