Kubu Hasto Kristiyanto Bacakan Duplik Hari Ini, Bantah Replik Jaksa KPK

Kubu Hasto Kristiyanto Bacakan Duplik Hari Ini, Bantah Replik Jaksa KPK

Kubu Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, akan membacakan duplik sebagai bantahan atas replik Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi yang menjeratnya.

Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025) hari ini.

“Perkara Nomor 36/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst atas nama terdakwa Hasto Kristiyanto. Agenda duplik,” kata Jubir I PN Jakarta Pusat, Andi Saputra, melalui keterangan tertulis kepada wartawan.

Sebelumnya diberitakan, dalam repliknya, JPU KPK memohon kepada Majelis Hakim Rios Rahmanto dan anggota untuk menjatuhkan putusan terhadap Hasto Kristiyanto sesuai tuntutan yang telah dibacakan, yakni tujuh tahun penjara.

“Kami penuntut umum memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan sebagaiman tuntutan pidana penuntut umum yang telah dibacakan pada 3 Juli 2025,” kata salah satu jaksa penuntut KPK saat membacakan replik di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (14/7/2025).

Jaksa menilai nota pembelaan atau pledoi yang diajukan tim penasihat hukum Hasto tidak berdasar dan harus ditolak oleh majelis hakim.

“Nota pembelaan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa harus dinyatakan ditolak,” ucap jaksa.

Jaksa beralasan, meskipun dalam kasus sebelumnya sudah ada putusan inkrah terhadap tiga terdakwa lain, yakni kader PDIP Saeful Bahri, mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Hasto tetap bisa dijerat dalam perkara ini.

“Sehingga meskipun dalam putusan terdahulu peran terdakwa belum dimunculkan, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi tersebut,” kata jaksa.

Jaksa menegaskan penyidikan terhadap Hasto berdasarkan pada ditemukannya bukti baru yang belum pernah digunakan dalam persidangan perkara sebelumnya.

“Penyidikan perkara Terdakwa didasarkan ditemukannya bukti baru oleh Penyidik di mana bukti tersebut belum dijadikan alat bukti dalam persidangan perkara atas nama Wahyu Setiawan bersama-sama Agustiani Tio Fridelina dan perkara Saeful Bahri di mana bukti baru tersebut mengungkap peran Terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian suap kepada Wahyu Setiawan bersama-sama Agustiani Tio Fridelina,” jelas jaksa.

Jaksa juga mengutip pendapat ahli yang justru diajukan oleh pihak Hasto, yakni eks Hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan, yang menyatakan bahwa munculnya pelaku baru bisa membentuk perkara baru yang berdiri sendiri.

“Hal ini bersesuaian dengan keterangan Ahli Maruarar Siahaan yaitu ahli menjelaskan kalau yang dimaksud tersangka baru itu tidak ada kaitan dengan yang sudah disebutkan di dalam perkara lama, tentu dia menjadi suatu perkara baru. Tetapi kalau itu keterangan saksi yang disebutkan sesuatu yang baru betul dan tidak terkait dengan apa yang sudah diputus oleh mahkamah, ahli kira beralasan untuk suatu perkara baru,” terang jaksa.

Selain itu, jaksa menghadirkan pendapat ahli pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar.

“Bersesuaian pula dengan ahli Muhammad Fatahilah selaku Ahli Pidana yang memberikan pendapat di persidangan sebagai berikut. Bahwa ketika sebuah perkara sudah disidangkan dan inkrah, dalam perkembangannya ternyata ada pelaku baru, maka berkaitan dengan perkara ini, maka pemeriksaan perkara dilakukan sendiri. Karena pada prinsipnya, pemeriksaan perkara pidana berdiri sendiri. Dalam setiap pemeriksaan ditemukan fakta-fakta baru untuk pengembangan perkara, bila ditemukan fakta-fakta baru, maka pemeriksaan dapat dilakukan kembali untuk orang yang belum diproses,” papar jaksa.

Dengan seluruh dasar tersebut, jaksa meminta majelis hakim menolak seluruh dalil pembelaan tim hukum Hasto yang menyatakan bahwa dakwaan dan tuntutan bertentangan dengan hukum.

“Berdasarkan uraian analisa yuridis tersebut di atas, maka dalil nota pembelaan yang menyampaikan surat dakwaan dan surat tuntutan penuntut umum bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap harus ditolak dan dikesampingkan karena bertentangan dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan,” tegas jaksa.

Sebelumnya, jaksa KPK Wawan Yunarwanto menuntut Hasto dengan pidana tujuh tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider enam bulan kurungan. Menurut jaksa, sikap tidak kooperatif dan tidak mengakui perbuatannya menjadi faktor yang memberatkan, meski Hasto bersikap sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama tujuh tahun,” kata jaksa Wawan.

Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Jaksa juga menyebut Hasto pernah memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponsel saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK tahun 2020. Ia juga diduga menyuruh stafnya, Kusnadi, melakukan hal serupa pada Juni 2024.

Selain itu, Hasto turut dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam dakwaannya, jaksa menyatakan Hasto memberi suap sebesar Rp600 juta kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan bersama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui Agustiani Tio, agar Harun ditetapkan sebagai anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
 

Komentar