KUHAP Baru Mesti Lebih Modern dan Inklusif, Indikator Politik Minta DPR Serap Kritikan KPK

KUHAP Baru Mesti Lebih Modern dan Inklusif, Indikator Politik Minta DPR Serap Kritikan KPK

Peneliti Indikator Politik Bawono Kumoro meminta Komisi III DPR RI memberikan respon cepat terhadap kritikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apalagi ada kekhawatiran dari KPK soal revisi ini bisa melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Hal ini penting agar RUU KUHAP yang sedang disusun ini, nanti menjadi sebuah KUHAP baru yang jauh lebih modern dan inklusif untuk Indonesia,” ujar Bawono dalam keterangannya kepada inilah.com di Jakarta, Sabtu (26/7/2025).

Ia menyebut, Komisi III DPR RI harus membuka ruang komunikasi dan partisipasi publik seluas mungkin dari berbagai kalangan mulai dari kelompok sipil, hingga lembaga penegak hukum seperti KPK.

“Karena itu tepat apabila pimpinan DPR RI melalui Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, juga menaruh perhatian besar terhadap proses ini dengan meminta Komisi III DPR mendengarkan masukan berbagai pihak seluas mungkin,” kata dia.

Sebelumnya, Ketua KPK Setyo Budiyanto pada Kamis (17/7/2025) menyampaikan bahwa lembaga antirasuah itu tidak dilibatkan dalam pembahasan DIM RUU KUHAP oleh pemerintah.

Saat ini, RUU KUHAP sedang dibahas oleh Komisi III DPR RI sebagai salah satu RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

KPK mencatat setidaknya terdapat 17 permasalahan dalam draf RUU KUHAP yang dinilai bertentangan dengan ketentuan dalam UU KPK. Berikut ringkasan permasalahan yang ditemukan:

1. Hilangnya sifat lex specialis UU KPK dalam draf revisi KUHAP.

2. Penyelesaian perkara oleh KPK hanya dapat dilakukan berdasarkan KUHAP.

3. Keberadaan penyelidik KPK tidak diakomodasi karena dalam RUU, penyelidik hanya berasal dari Polri dan diawasi oleh penyidik Polri.

4. Definisi penyelidikan hanya sebatas mencari dan menemukan peristiwa pidana, berbeda dengan UU KPK yang menetapkan penyelidikan bertujuan menemukan minimal dua alat bukti.

5. Keterangan saksi hanya dianggap sebagai alat bukti bila diperoleh pada tahap penyidikan, penuntutan, atau persidangan. Padahal dalam UU KPK, keterangan saksi bisa diakui sejak penyelidikan.

6. Penetapan tersangka dilakukan setelah dua alat bukti terkumpul. Di KPK, tersangka bisa ditetapkan saat perkara naik dari penyelidikan ke penyidikan.

7. Penghentian penyidikan wajib melibatkan penyidik Polri, sementara KPK memiliki kewenangan independen untuk menghentikan penyidikan dan melapor ke Dewas.

8. Pelimpahan berkas perkara ke penuntut umum harus melalui penyidik Polri. Di KPK, penyidik bisa langsung menyerahkan ke penuntut umum KPK.

9. Penggeledahan terhadap tersangka wajib didampingi penyidik Polri dari wilayah hukum setempat.

10. Penyitaan harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, sedangkan UU KPK memperbolehkan penyitaan tanpa izin Ketua PN.

11. Penyadapan hanya bisa dilakukan pada tahap penyidikan dan harus dengan izin Ketua PN. Di KPK, penyadapan dapat dilakukan sejak penyelidikan dan cukup diberitahukan ke Dewas.

12. Larangan bepergian ke luar negeri hanya berlaku bagi tersangka, tidak menjangkau pihak lain yang berkaitan dengan perkara.

13. Perkara korupsi tidak dapat disidangkan selama praperadilan berlangsung.

14. Kewenangan KPK dalam menangani perkara koneksitas tidak tercantum dalam RUU.

15. Perlindungan terhadap saksi atau pelapor hanya diberikan oleh LPSK, padahal KPK juga memiliki kewenangan serupa.

16. Penuntutan di luar daerah hukum dilakukan melalui pengangkatan sementara oleh Jaksa Agung, sementara penuntut KPK memiliki kewenangan lintas wilayah.

17. Penuntut umum dalam RUU hanya mencakup pejabat Kejaksaan atau lembaga lain yang diberi kewenangan oleh undang-undang. KPK menilai seharusnya ditegaskan bahwa penuntut KPK juga termasuk dalam kategori ini.

KPK menilai, jika 17 poin tersebut tidak diperbaiki, maka akan berdampak serius terhadap efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.

Komentar