Lebih dari Sekadar Antar, Gerakan Ayah di Hari Pertama Sekolah

Lebih dari Sekadar Antar, Gerakan Ayah di Hari Pertama Sekolah

Foto Eka New.jpeg

Jumat, 25 Juli 2025 – 10:48 WIB

Konten atau artikel ini tidak mewakili pandangan redaksi inilah.com

Ilustrasi ayah antar anak sekolah. (Dokumentasi: Istockphoto)

Ilustrasi ayah antar anak sekolah. (Dokumentasi: Istockphoto)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Setiap tahun ajaran baru, sekolah-sekolah ramai oleh pemandangan mengharukan: anak-anak berseragam baru, ransel besar di punggung kecil, dan wajah-wajah cemas yang mencari tempat duduk. 

Tapi dari semua itu, satu momen yang patut diberi sorotan lebih adalah ketika seorang ayah mengantar anaknya ke sekolah pada hari pertama.

Gerakan “Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah”, yang sempat digagas beberapa tahun lalu, bukan sekadar momen seremonial. Ia adalah pesan kuat bahwa pengasuhan bukan hanya urusan ibu, dan ayah bukan hanya pencari nafkah, melainkan juga penentu arah masa depan anak.

Fatherless Nation: Bayang Ancaman tak Kasat Mata

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai studi dan laporan sosial menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi krisis figur ayah, disebut juga sebagai fatherless country. Namun, ini bukan berarti semua anak kehilangan ayah secara fisik. Banyak anak yang hidup serumah dengan ayahnya, tapi tidak merasakan kehadiran psikologis dan emosionalnya.

“Anak yang tumbuh tanpa keterlibatan emosional ayah berisiko lebih tinggi mengalami krisis identitas, rendahnya kepercayaan diri, bahkan terlibat dalam perilaku menyimpang.”
— (Psikolog keluarga, 2022)

Ayah yang terlalu sibuk, tidak terlatih untuk terlibat, atau merasa pengasuhan bukan tugasnya, perlahan-lahan membentuk pola interaksi keluarga yang timpang. Anak kehilangan figur peneguh, pembimbing, dan pelindung emosional. Dan celah ini, dalam jangka panjang, menjadi pintu masuk bagi berbagai persoalan sosial.

Hari Pertama Sekolah: Simbol, tapi Juga Titik Awal

Ketika seorang ayah meluangkan waktu untuk mengantar anaknya di hari pertama sekolah, ia sedang mengirimkan banyak pesan: Aku peduli. Aku hadir. Aku bersama kamu memulai hari besar ini.

Momen itu mungkin hanya beberapa menit. Tapi dalam ingatan anak, itu bisa menjadi jangkar emosional seumur hidup, ayahnya pernah duduk di bangku kecil di belakang kelas, menggenggam tangan saat anaknya gemetar, tersenyum saat anaknya dilepas guru.

Kehadiran ayah pada momen penting seperti ini membentuk persepsi anak tentang peran laki-laki dalam keluarga. Bahwa menjadi ayah bukan berarti harus kaku, jauh, dan otoritatif. Tetapi bisa lembut, hadir, dan membangun kedekatan.

Membangun Kultur Kehadiran Ayah

Gerakan ayah mengantar anak harus dibaca lebih luas, sebagai upaya membangun budaya kehadiran ayah dalam pengasuhan anak. Bukan hanya di hari pertama sekolah, tapi juga:

  • Membacakan buku sebelum tidur,
  • Menemani anak belajar,
  • Menjadi tempat cerita ketika anak bingung,
  • Hadir di acara sekolah,
  • Menjadi contoh tanggung jawab dan kejujuran sehari-hari.

Tentu, tidak semua ayah punya fleksibilitas waktu dan pekerjaan. Tapi kehadiran tidak selalu soal durasi, kadang cukup satu jam yang penuh perhatian bisa lebih berarti dari sepuluh jam yang penuh distraksi.

Penutup: Bukan Gerakan Harian, tapi Gerakan Hati

Gerakan ayah mengantar anak di hari pertama sekolah bukan sekadar kampanye tahunan. Ia adalah ajakan untuk kembali menempatkan ayah sebagai aktor penting dalam pendidikan anak, bukan sekadar penonton di pinggir lapangan kehidupan.

Di tengah derasnya tantangan zaman dari krisis moral, krisis identitas, hingga bahaya dunia digital, anak-anak kita tidak hanya butuh ibu yang hangat, tapi juga ayah yang hadir, mendengar, dan memeluk.

Mari dimulai dari yang kecil, antar anak ke sekolah. Kemudian jangan berhenti di gerbang sekolah. Teruskan ke gerbang kehidupan mereka.

Topik
Komentar

Komentar