Lulus Sarjana, Tetap Menganggur: Salah Mahasiswanya atau Sistemnya?

Lulus Sarjana, Tetap Menganggur: Salah Mahasiswanya atau Sistemnya?

“Ngapain kuliah tinggi-tinggi kalau akhirnya cuma di rumah?” Kalimat ini, meskipun terdengar tajam dan menyakitkan, sering dilontarkan baik dengan nada menyindir maupun bercanda. Namun bagi sebagian besar lulusan perguruan tinggi di Indonesia, kalimat itu lebih dari sekadar sindiran. Ia mencerminkan realitas sosial yang menyakitkan: pendidikan tinggi tak lagi menjamin pekerjaan layak.

Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia tercatat sebesar 5,32%. Ironisnya, lulusan perguruan tinggi (baik diploma maupun sarjana) termasuk kelompok dengan angka pengangguran tertinggi. 

Selama bertahun-tahun, narasi yang dibangun masyarakat dan pemerintah adalah: sekolah tinggi, kerja akan menanti. Namun realitas hari ini membuktikan rumus itu tak lagi sejalan.

Kompleksitas Pengangguran Terdidik

Mahasiswa yang lulus dengan gelar dan IPK baik pun belum tentu langsung mendapatkan pekerjaan. Banyak yang menganggur berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, terlunta-lunta dalam sistem yang tidak cukup adaptif terhadap perubahan zaman dan tantangan global.

Narasi kegagalan seringkali ditimpakan sepenuhnya pada individu: “Mereka malas mencari kerja.” “Tidak kreatif.” “Terlalu pilih-pilih pekerjaan.” “Kurang bersyukur.” Padahal, penyebab pengangguran terdidik jauh lebih kompleks dari sekadar karakter pribadi.

Ada anggapan umum bahwa lulusan perguruan tinggi terlalu idealis, manja, atau tidak siap terjun ke dunia kerja. Namun, benarkah demikian? Ataukah sistem pendidikan kita yang tidak mempersiapkan mereka untuk kenyataan lapangan? Banyak kampus masih terlalu fokus pada teori dibanding keterampilan praktis.

Mahasiswa diajarkan memahami teori ekonomi, sosiologi, hukum, atau teknologi, namun minim pelatihan keterampilan seperti komunikasi profesional, manajemen waktu, berpikir kritis, atau kemampuan adaptasi dalam tim lintas budaya dan disiplin. 

Program magang tidak selalu tersedia atau hanya formalitas belaka. Lulusan akhirnya keluar dengan seabrek teori tapi tidak tahu menghadapi wawancara kerja, menulis CV menarik, atau membaca dinamika organisasi. Padahal, keterampilan ini yang dicari dunia kerja.

Sistem ketenagakerjaan Indonesia juga belum inklusif dan terbuka. Banyak lowongan memasang syarat “pengalaman minimal 2 tahun” meski untuk posisi entry-level. Bagaimana nasib fresh graduate? Mereka yang baru lulus tentu tidak punya pengalaman kerja formal dan tersingkir sejak tahap seleksi administrasi.

Belum lagi soal nepotisme, KKN, dan budaya “orang dalam.” Banyak anak muda berjuang keras mengirim puluhan lamaran, mengikuti pelatihan, tapi kalah oleh yang punya jaringan keluarga atau kenalan di perusahaan tertentu. Tak heran generasi muda kehilangan kepercayaan diri, merasa sia-sia bersekolah tinggi, bahkan mengalami krisis eksistensial.

Selain itu, peluang kerja yang tersedia tidak sebanding jumlah lulusan tiap tahun. Tahun 2022, lebih dari satu juta mahasiswa lulus dari perguruan tinggi di Indonesia. Namun, apakah ada satu juta lapangan kerja baru? Pemerintah pun belum sepenuhnya berhasil menciptakan ekosistem wirausaha inklusif dan mendukung. Banyak program pelatihan dan bantuan modal hanya menjangkau segelintir orang.

Anak muda yang ingin memulai usaha masih terhambat keterbatasan akses modal, birokrasi rumit, dan minim pendampingan.

Dampak Psikologis dan Solusi yang Diperlukan

Menganggur setelah lulus juga memengaruhi kondisi psikologis generasi muda. Mereka merasa tidak berguna, malu, kehilangan arah hidup. Saat teman sebaya membangun karier, menikah, atau membeli rumah, mereka masih berkutat di rumah orang tua mencari pekerjaan tanpa hasil. 

Kondisi ini bisa memicu depresi, kecemasan berlebih, dan hilangnya harapan terhadap masa depan. Dalam jangka panjang, ini mengancam produktivitas nasional. Kita kehilangan generasi muda berpotensi besar, tapi padam oleh sistem tak berpihak.

Apa yang bisa dilakukan?

Pertama, dunia pendidikan harus berbenah. Kurikulum perlu dirancang menjawab kebutuhan dunia kerja masa kini dan depan. Tidak hanya mengajarkan teori, tapi juga keterampilan hidup, literasi digital, kewirausahaan, dan orientasi karier sejak dini. Mahasiswa didorong bukan hanya menjadi pekerja, tapi juga pencipta lapangan kerja.

Kedua, sistem rekrutmen perlu diperbaiki agar transparan, inklusif, dan berbasis kompetensi. Perusahaan harus memberi kesempatan fresh graduate untuk belajar dan berkembang, bukan menuntut pengalaman sejak awal.

Ketiga, negara harus serius membangun ekosistem ekonomi kreatif dan digital yang ramah talenta muda. Program inkubasi, pelatihan gratis, dan koneksi dengan investor bisa mendorong wirausaha muda tumbuh.

Keempat, masyarakat harus mengubah pandangannya terhadap pengangguran lulusan sarjana. Menganggur bukan berarti tidak berusaha. Banyak dari mereka sudah berjuang keras tapi terhalang sistem tak adil. Mereka butuh empati, bukan penghakiman.

Lulusan perguruan tinggi yang menganggur bukan cermin kemalasan semata. Mereka adalah korban sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada generasi muda. Jika pendidikan dan ketenagakerjaan tidak segera diperbaiki, kita akan terus mencetak generasi kecewa: berpendidikan, tapi kehilangan harapan.

Kini saatnya berhenti menyalahkan korban. Mahasiswa bukan sekadar pencari kerja, tapi aset bangsa yang harus didengar, dibimbing, dan diberdayakan. Karena bangsa besar tidak hanya mencetak sarjana, tapi juga menjamin masa depan mereka.

Komentar