Sejumlah pakar mempertanyakan revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka bahkan menilai hal tersebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
Pada rapat Panitia Kerja (Panja) UU Pilkada yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024), delapan fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR langsung menyetujui isi revisi UU Pilkada yang dibahas bersama pemerintah. DPR bahkan akan mengesahkan revisi UU tersebut melalui rapat paripurna yang akan digelar Kamis (22/8/2024).
Hanya Fraksi PDI Perjuangan yang menentang hasil pembahasan revisi UU Pilkada itu. Revisi tersebut, menurut partai berlogo kepala banteng itu, tidak mengadopsi putusan MK yang merupakan keputusan final dan mengikat.
Pembahasan perubahan keempat UU ini sebetulnya sudah dimulai sejak tahun lalu, tapi beberapa kali mengalami kemandekan. Namun, secara tiba-tiba, Baleg mempercepat pembahasannya setelah terbit putusan MK mengenai uji materi pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada mengenai batas usia calon gubernur dan wakil gubernur.
Hasil rapat Baleg memutuskan untuk menganulir semua putusan penting MK tersebut. Baleg menolak menjalankan putusan MK terkait syarat usia minimal calon kepala daerah.
Dalam putusan itu, MK memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon. Namun, Baleg DPR memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA), yakni titik hitung usia minimal calon kepala daerah adalah sejak tanggal pelantikan.
Mayoritas fraksi menganggap putusan MA dan MK sebagai dua opsi yang sama-sama bisa salah satunya. DPR, menurut Baleg, bebas memilih putusan mana yang akan diadopsi dalam revisi UU Pilkada.
Terkait perihal ambang batas pencalonan, Baleg menyatakan perolehan partai atau koalisi partai sebesar 6,5 sampai 10 persen suara hanya berlaku bagi partai politik tanpa kursi di DPRD. Ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD, kata mereka, adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah dengan mengabaikan putusan MK merupakan sebuah ‘kelucuan’ sekaligus ‘keanehan’ dalam demokrasi di Indonesia dan sekaligus sebagai bentuk pembangkangan atas konstitusi.
“Lucu memang parpol (di DPR) ini, kelihatan betul konspiratif. Putusan MK itu tidak memperberat mereka, tapi mempermudah mereka kalau mereka punya niat baik. Tapi kalau mereka punya niat jahat, itu mempersulit niat jahat mereka,” tutur Refly pada kanal YouTube pribadinya, seperti dikutip Inilah.com di Jakarta, Rabu.
“Karena merendahkan ambang batas itu kan membuat mereka bisa menyalonkan kader mereka untuk di daerah-daerah, ini kok tidak mau gitu, aneh bin ajaib itu kan namanya,” sambungnya.
Ia menyinggung putusan MK bisa saja dianulir DPR, bila memakai aturan yang semau-maunya.
“Tidak ada yang tidak bisa kalau Anda pakai aturan semau-maunya. Kalau semau-maunya tidak usah pakai hukum sekalian, itu malah lebih bisa. Tapi mungkin rakyat bisa berontak kalau begitu caranya,” tegasnya.
Ia menyatakan bila pada keputusan rapat Baleg DPR nantinya berakhir dengan mengeluarkan Perppu, dan dikembalikannya ambang batas menjadi 20 persen, serta putusan MK baru berlaku pada 2029, maka hal ini menunjukkan Indonesia tidak bernegara hukum.
“Putusan pengadilan itu langsung dianulir oleh permufakatan jahat yang dilegislatif. Justru yang harus dilakukan adalah putusan MK itu adalah penghormatan terhadap konstitusi,” ungkap dia.
“Jadi membangkang terhadap putusan MK sama saja tidak menghormati konstitusi, atau membangkang konstitusi. Padahal DPR dibentuk karena konstitusi, jadi seperti dia berdurhaka pada ibunya sendiri,” lanjut Refly.
Ia pun menekan, bila hal ini benar-benar terjadi maka tentu rakyat dapat memberontak, dengan mengajukan Judicial Review terhadap Perppu tersebut dan meminta agar dibatalkan.
“Jadi jangan sekali-kali para anggota DPR berbuat keblinger apalagi iseng secara sengaja mempercepat proses ini, karena pasti akan dibatalkan,” kata Refly, menegaskan.
Sementara, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai revisi UU Pilkada itu bisa disebut sebagai ilegal karena tidak memenuhi sejumlah aspek. Dia menyebutkan salah satunya aspek prosedural yakni tidak diketahui kapan agenda untuk merevisi UU Pilkada disampaikan.
Dia menambahkan, pembuatan atau revisi UU Pilkada mestinya mengikuti mekanisme yang ada, yakni dimulai dengan pembuatan naskah akademik, penyerapan aspirasi masyarakat dan seterusnya.
Ray menyebutkan jika revisinya berdasarkan putusan MK, berarti tinggal menyalin saja putusan tersebut dalam revisi. Tapi kenyataannya, revisi UU Pilkada yang dilakukan berbeda dengan putusan MK.
“Kalau berbeda, mestinya mereka harus melakukan penyerapan aspirasi masyarakat dulu dan itu pun tidak dilakukan. Ternyata hanya hitungan hari, revisinya udah dilakukan. Selain itu, sangat tidak lazim juga pembuatan UU dikebut dalam satu hari, padahal tidak ada yang sangat darurat,” tuturnya.
Dari segi substansi, menurut Ray, revisi UU Pilkada tersebut jelas mengakali putusan MK. Parahnya lagi, DPR bersama pemerintah membandingkan putusan MA dengan putusan MK.
Hal senada juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari. Ia menilai dugaan DPR bakal menganulir putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah merupakan pengkhianatan negara terbesar.
“Tindakan-tindakan yang sengaja melawan konstitusi, against the constitution itu merupakan pengkhianatan negara terbesar,” ujar Feri kepada Inilah.com di Jakarta, Rabu.
Lebih lanjut, ia mengatakan jika skenario itu dilakukan oleh DPR dan pemerintah, maka secara sadar telah melawan kehendak putusan MK. Yang mana, MK merupakan peradilan tertinggi di Indonesia.
“Jelas-jelas DPR dan pemerintah telah melakukan gerakan-gerakan melawan konstitusional yang secara sengaja melawan kehendak putusan MK, dengan sendirinya melawan kehendak konstitusi UUD 1945 yang terjawantahkan dalam putusan MK,” ujarnya, menegaskan.
Dalam siaran persnya, Rabu, Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang beranggotakan 27 pakar hukum tata negara dan pemilu menyebutkan, Presiden Joko Widdo dan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus ditengarai hendak menghalalkan segala cara untuk mempertajam hegemoni kekuasaan koalisi gemuk dan gurita dinasti politik dalam Pilkada Serentak 2024.
CALS menegaskan, Presiden Jokowi bersama partai-partai politik pendukungnya tengah mepertontonkan pembangkangan konstitusi dan pamer kekuasaan yang berlebihan tanpa kontrol.
Karena itu, CALS menyerukan Presiden dan DPR menghentikan revisi UU Pilkada serta KPU segera menindaklanjuti putusan MK.
Apabila revisi UU Pilkada tetap dilanjutkan dan disahkan, menurut CALS, masyarakat sipil akan melakukan pembangkangan untuk melawan tirani dan otokrasi rezim Jokowi dan partai pendukungnya dengan memboikot Pilkada Serentak 2024.
Sementara itu di media sosial, gambar peringatan darurat bermunculan setelah DPR dan pemerintah menolak mematuhi putusan MK. Lambang Burung Garuda berlatar warna biru tua memenuhi media sosial. Warganet ramai mengunggah status dengan lambang Garuda tersebut.
Pantauan Inilah.com, pada Rabu sore, di platform X/Twitter hingga di Instagram Stories, menunjukkan banyak warganet yang mengunggah gambar ini serta membanjiri kolom percakapan di platform X dengan visual yang sama.
Lambang Burung Garuda berlatar warna biru tua ini awalnya dibagikan oleh akun kolaborasi @narasinewsroom, @najwashihab di Instagram. Gambar tersebut hanya memampang simbol garuda dengan latar belakang biru tua, disertai tulisan ‘Peringatan Darurat’ di bagian atas.
Beberapa selebgram dan influencer seperti Pandji Pragiwaksono, Bintang Emon, dan Joko Anwar juga turut serta membagikan postingan tersebut.