Laut China Selatan bukan hanya tentang laut. Ia adalah panggung geopolitik, percaturan kekuatan, dan uji nyata bagi konsistensi kebijakan luar negeri Indonesia. Meskipun Indonesia bukan pihak pengklaim dalam sengketa wilayah tersebut, posisinya sebagai negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara dan sebagai pemilik hak eksklusif atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Natuna menjadikannya aktor penting—dan tak terhindarkan—dalam dinamika kawasan.
Selama bertahun-tahun, Indonesia tampil konsisten: menolak klaim sepihak sembilan garis putus (nine-dash line) yang diajukan Tiongkok, menegaskan kedaulatan maritim berdasarkan UNCLOS 1982, dan menghindari konfrontasi sembari memperkuat kehadiran di wilayah perairan utara. Namun belakangan ini, muncul sinyal yang lebih rumit. Bahasa diplomasi kita mulai terdengar berbeda: lebih lentur, lebih berhitung, dan—bagi sebagian pengamat—terkesan ambigu.
Apakah ini bagian dari strategi besar? Atau justru cerminan dari inkonsistensi diplomatik?
Ambiguitas Strategis atau Ketidakkonsistenan?
Pada akhir 2024, Indonesia dan Tiongkok merilis sebuah pernyataan bersama yang menyebut adanya “klaim maritim yang tumpang tindih.” Kalimat yang terdengar biasa ini sejatinya merupakan penyimpangan besar dari sikap Indonesia selama ini yang menolak klaim sembilan garis putus dan menegaskan bahwa tidak ada sengketa dengan Tiongkok.
Beberapa bulan kemudian, Indonesia kembali mengeluarkan pernyataan bersama dengan mitra strategis lainnya—kali ini dengan Amerika Serikat—yang justru menegaskan pentingnya putusan arbitrase 2016 yang membatalkan klaim sembilan garis Tiongkok dan meneguhkan UNCLOS sebagai dasar tatanan maritim internasional.
Dua pernyataan berbeda dalam rentang waktu yang berdekatan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Indonesia sedang bermain di dua kaki? Atau justru sedang menerapkan apa yang disebut sebagai ambiguitas strategis—yakni seni menyeimbangkan kepentingan dalam dunia yang penuh ketidakpastian?
Laut China Selatan bukan hanya soal sengketa teritorial, tapi juga tentang bagaimana negara-negara mengelola tekanan antara kepentingan ekonomi dan geopolitik. Di satu sisi, Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan investor penting dalam berbagai proyek infrastruktur. Di sisi lain, Amerika Serikat adalah mitra strategis dalam isu keamanan dan penjaga tatanan maritim berbasis aturan.
Indonesia, sebagai negara yang menjunjung prinsip “bebas dan aktif”, tentu tidak bisa (dan tidak ingin) berpihak secara absolut. Namun, persoalannya bukan hanya soal siapa yang dirangkul. Ini soal bagaimana kebijakan dirumuskan dengan konsistensi, kehati-hatian, dan integritas hukum.
Ambiguitas strategis, bila dirancang dengan cermat, bisa menjadi alat manuver yang efektif. Tapi bila dilakukan tanpa kerangka naratif yang jelas, ia bisa menjelma menjadi inkonsistensi yang melemahkan kredibilitas—baik di mata mitra kawasan maupun publik domestik.
Mengembalikan Konsistensi dan Kepercayaan Kawasan
Finalisasi perjanjian ZEE dengan Vietnam yang berlangsung sejak era pemerintahan sebelumnya menjadi salah satu contoh keberhasilan diplomasi maritim Indonesia. Perjanjian ini disusun berdasarkan prinsip UNCLOS dan menyelesaikan sengketa batas laut secara damai.
Namun ketika dalam pernyataan lain Indonesia seolah mengakui adanya “klaim tumpang tindih” dengan Tiongkok di wilayah yang sama, muncul kekhawatiran: apakah kesepakatan dengan Vietnam bisa tergerus validitasnya?
Sebuah perjanjian tak hanya dibangun di atas hukum, tapi juga kepercayaan politik. Bila bahasa diplomasi kita berubah-ubah, bukan tidak mungkin mitra seperti Vietnam atau Filipina mulai meragukan posisi Indonesia—dan ini bisa melemahkan solidaritas ASEAN yang selama ini menjadi penyeimbang kekuatan besar.
Indonesia sejatinya memiliki modal diplomasi yang kuat: reputasi sebagai negara netral, pemrakarsa Code of Conduct (CoC) ASEAN–Tiongkok, dan pemegang komitmen terhadap penyelesaian damai. Maka dari itu, setiap perubahan dalam narasi perlu dipertimbangkan secara matang—bukan sekadar reaksi terhadap tekanan bilateral.
Pemerintah saat ini perlu kembali menegaskan prinsip: bahwa tidak ada kompromi terhadap kedaulatan dan tidak ada pengakuan atas klaim yang tidak sah menurut hukum internasional. Di sisi lain, hubungan baik dengan semua pihak tetap bisa dibangun—namun dalam batasan yang jelas, terutama di wilayah ZEE Indonesia.
Salah satu prioritas saat ini adalah mempercepat ratifikasi dan implementasi perjanjian ZEE dengan Vietnam, sekaligus memperkuat komunikasi publik yang menegaskan bahwa posisi Indonesia tetap kokoh pada prinsip UNCLOS dan tidak berpindah haluan.
Dalam dunia diplomasi, bukan hanya posisi yang penting, tapi juga cara menyampaikan posisi tersebut. Bahasa diplomatik yang kabur, terlalu kompromistis, atau saling bertentangan dapat menimbulkan spekulasi—dan spekulasi adalah musuh utama stabilitas.
Ambiguitas, bila tidak dikelola dengan kerangka strategis dan komunikasi yang konsisten, akan berbalik arah. Ia bukan lagi alat kelenturan, tetapi menjadi bumerang bagi legitimasi kebijakan luar negeri Indonesia.
Sebagai negara maritim besar dan pemimpin kawasan, Indonesia punya tanggung jawab lebih. Bukan hanya menjaga perairan dan batas lautnya, tetapi juga menjaga tatanan hukum internasional dan norma kerja sama di tengah dunia yang makin terpolarisasi.
Maka dari itu, momen ini adalah kesempatan untuk menata ulang arah. Bukan dengan meninggalkan fleksibilitas, tapi dengan menyejajarkan fleksibilitas itu dengan prinsip hukum, komitmen kawasan, dan narasi yang utuh.
Karena pada akhirnya, kekuatan diplomasi Indonesia bukan terletak pada siapa yang paling dekat dengan Jakarta, melainkan siapa yang paling percaya pada Jakarta.