Menakar Manfaat Indonesia Menjadi Anggota BRICS

Menakar Manfaat Indonesia Menjadi Anggota BRICS


Presiden Prabowo Subianto sangat diharapkan hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan di Rio de Janeiro, Brasil, pada Juli 2025 mendatang.

Jangan lupa, Indonesia telah resmi menjadi anggota BRICS sejak 6 Januari 2025. Apa manfaat keanggotaan ini bagi Indonesia? Dan bagaimana pula implikasi dari kenaikan tarif impor Amerika Serikat terhadap ekspor Indonesia?

Apa Itu BRICS?

BRICS adalah organisasi antarpemerintah sebagai forum kerja sama negara-negara berkembang. Tujuan pembentukannya adalah memperkuat posisi negara-negara tersebut di kancah internasional.

Saat ini terdapat 22 anggota BRICS, yakni Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Etiopia, Iran, Uni Emirat Arab (UEA), dan Indonesia. Ditambah calon anggota baru seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Nigeria, Turki, Uganda, dan Uzbekistan.

Aneka Manfaat

Apa saja manfaat Indonesia menjadi anggota BRICS?

Pertama, BRICS menjadi perintis dalam menekan ketergantungan anggotanya terhadap dolar AS (dedollarization). Ini adalah langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan ekonomi negara anggota.

Ekonomi global saat ini sangat tergantung pada dolar AS. Ketika dolar menguat, hampir semua mata uang lain melemah. Fluktuasi nilai tukar ini menciptakan gejolak di banyak negara.

Kedua, penggunaan mata uang lokal dalam trade finance (perdagangan internasional) membuat transaksi ekspor-impor lebih efisien. Artinya, tidak perlu lagi konversi mata uang lokal ke dalam dolar AS, sehingga risiko nilai tukar dapat ditekan dan efisiensi meningkat.

Model transaksi ini dikenal sebagai local currency transaction (LCT). Skema ini menekan biaya operasional eksportir dan importir, sehingga dapat meningkatkan nilai ekspor nasional secara signifikan.

Ketiga, Indonesia telah menjalin kerja sama LCT dengan Thailand, Filipina, Jepang, Malaysia, China, Singapura, dan Korea Selatan. Menurut situs Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, total transaksi LCT mencapai US$ 4,7 miliar (sekitar Rp76,38 triliun dengan kurs Rp16.250 per US$ 1) pada semester I-2024. Jumlah pengguna LCT mencapai 3.850—naik 15 kali lipat dibanding tahun sebelumnya, dan 38 kali lipat sejak LCT pertama kali diimplementasikan pada 2018 (Bloomberg Technoz, 8 Februari 2025).

Keempat, bukan hanya pelaku usaha yang diuntungkan, tetapi juga perbankan. Transaksi trade finance dengan letter of credit (L/C) atau bank guarantee menjadi sumber pendapatan berbasis provisi.

Misalnya, jika sebuah bank papan atas melayani 1.000 transaksi ekspor-impor per bulan, masing-masing senilai Rp500 juta, dan provisi L/C 0,125 persen, maka bank bisa meraup Rp625 juta per bulan atau Rp7,5 miliar per tahun. Ini adalah pendapatan nonbunga (fee-based income) yang menjanjikan bagi bank.

Kelima, bank perlu aktif melakukan sosialisasi LCT kepada nasabahnya melalui forum seperti customer gathering. Selain edukasi L/C dan aturannya, bank juga dapat meningkatkan pemahaman nasabah terhadap manajemen keuangan, audit, dan manajemen risiko.

Indonesia juga tergabung dalam New Development Bank (NDB), lembaga keuangan pembangunan di bawah BRICS. Artinya, Indonesia memiliki sumber pembiayaan pembangunan (standby funding) yang strategis.

Awas, Ekspor Bisa Tertekan

Keenam, bagaimana kaitan keanggotaan BRICS dengan kebijakan tarif impor AS?

Sebelum pelantikan Presiden AS pada 20 Januari 2025, Donald Trump telah mengancam akan menaikkan tarif impor hingga 100 persen bagi anggota BRICS. Akhirnya, pada 2 April 2025, tarif impor untuk Indonesia ditetapkan 32 persen, yang semula akan berlaku efektif 9 April 2025, tetapi ditunda selama 90 hari.

Namun, setelah proses negosiasi, tarif itu justru naik menjadi 47 persen. Kenaikan ini menjadi risiko nyata terhadap ekspor Indonesia ke AS, yang selama ini mengalami surplus sebesar US$ 18 miliar.

Seharusnya, Indonesia tidak bernegosiasi sendirian, tetapi bersama negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Kamboja. Sebab, ASEAN menyumbang sekitar 23 persen dari total perdagangan global. Pendekatan kolektif akan meningkatkan bargaining power Indonesia di mata AS.

Ketujuh, kenaikan tarif juga bisa melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar, yang kini mendekati Rp17.000 per US$ 1. Tentu saja, intervensi tersebut akan menguras cadangan devisa.

Data menunjukkan, cadangan devisa Indonesia berada di angka US$ 152,47 miliar per akhir April 2025, turun dari US$ 157,09 miliar per 27 Maret 2025, dan sebelumnya US$ 156,09 miliar per Januari 2025.

Kedelapan, selain itu, BI tetap harus mengendalikan inflasi. Per akhir Mei 2025, inflasi tercatat 1,60 persen—turun dari 1,95 persen pada April. Sebelumnya, Indonesia sempat mengalami deflasi 0,09 persen pada Februari 2025, dan deflasi lima bulan berturut-turut dari Mei–September 2024. Deflasi menjadi simbol penurunan purchasing power masyarakat.

Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih hati-hati dalam merumuskan kebijakan ekonomi, terutama di tengah ancaman resesi global. Sayangnya, beberapa kebijakan tampak tergesa dan minim pertimbangan.

Lihat saja, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal 2025, kelangkaan gas LPG 3 kg (gas melon), serta proyek ambisius pembangunan 3 juta rumah per tahun. Ditambah lagi pembentukan Danantara yang mengguncang pasar modal, dan rencana pembentukan 80.000 unit Koperasi Desa Merah Putih yang akan dioperasikan pada Juli 2025.

Komentar