Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang selama ini mengandalkan sektor pertambangan timah, kini dihadapkan pada sebuah pertanyaan krusial: “Mau ke mana kita setelah tambang?”
Ketergantungan pada sumber daya tak terbarukan ini telah menimbulkan konsekuensi serius, mulai dari lubang besar, konflik lahan, kerusakan lingkungan, hingga masyarakat yang gamang menatap masa depan.
Sudah saatnya kita membalik halaman sejarah dari masa lalu yang menambang ke masa depan yang membangun.
Bangka Belitung bukan hanya tanah tambang, ia adalah tanah cerita. Di balik pantai dan bebatuan, hidup dongeng rakyat, legenda, dan sastra lisan yang selama ini menjadi ruh kebudayaan kita.
Dari kisah Putri Pinang Gading di Bangka hingga Legenda Batu Garuda di Belitung, kita sesungguhnya mewarisi warisan naratif yang tak ternilai. Di sinilah letak harapan kita, menambang dari akar budaya, bukan dari rongga bumi.
Sebagai kepulauan, Bangka Belitung memiliki potensi besar untuk mengembangkan sektor pariwisata. Kita dikaruniai laut biru, pasir putih, pulau-pulau kecil yang belum banyak tersentuh, dan budaya lokal yang begitu kaya. Kita bukan hanya punya tambang, kita punya rasa. Sektor pariwisata bisa menjadi wajah baru provinsi ini.
Dukungan infrastruktur pun sudah tersedia. Bandara di Pulau Bangka dan Pulau Belitung, salah satunya Bandara H.A.S. Hanandjoeddin, bahkan sudah berstatus internasional. Letaknya strategis, berada di tengah jalur pelayaran nasional dan internasional.
Kalau Bali bisa jadi pusat transit wisatawan Asia-Australia, mengapa Belitung tak bisa jadi gate menuju regional Sumatera dan Sumatera bagian selatan? Selama ini, kita terlalu lama melihat pariwisata sebagai pelengkap, bukan sebagai tulang punggung ekonomi.
Padahal, dengan strategi yang tepat, sektor ini bisa menciptakan ekonomi baru, homestay, UMKM, kuliner lokal, transportasi, ekowisata, dan tentu saja lapangan kerja baru yang tak merusak lingkungan.
Pariwisata tidak sekadar jual pemandangan. Wisata adalah soal pengalaman dan cerita. Jika kita berani menjadikan cerita rakyat sebagai inspirasi desain desa wisata, atau menghidupkan puisi Melayu dalam festival sastra tahunan, maka wisata akan punya rasa yang khas, bukan sekadar indah di mata, tapi juga bermakna di hati.
Yang kita butuhkan sekarang adalah peta jalan (Roadmap) untuk membangun ekosistem pariwisata secara menyeluruh. Ini tidak bisa diserahkan pada sektor pemerintah saja. Dunia usaha, komunitas, generasi muda, dan bahkan diaspora Bangka Belitung di luar daerah juga punya peran penting.
Pemerintah harus mulai memfasilitasi pelatihan kepariwisataan, mendorong investasi hijau, memperkuat brand daerah, dan menciptakan kalender event budaya dan sastra yang konsisten.
Pengakuan internasional pun sudah kita raih. Kawasan Geopark Belitung sudah mendapat pengakuan UNESCO. Ini adalah sinyal bahwa dunia sudah menoleh ke arah kita, tinggal bagaimana menjemput peluang itu dengan kerja nyata.
Sayangnya, perhatian terhadap geopark sering kali bersifat simbolik. Padahal, kawasan ini bisa dikembangkan menjadi ruang edukasi, konservasi, dan panggung budaya dan sastra lokal. Salah satu kunci sukses Bali adalah konsistensi dalam membangun citra daerah. Bali tidak menjual semuanya, mereka menjual rasa. Budaya Bali, keramahan, dan kekayaan ritualnya dijaga. Di Bangka Belitung, kita punya budaya Melayu, kearifan lokal, dan relasi kuat antaretnis yang harmonis. Kita punya syair lama, pantun, petatah-petitih, yang bisa menjadi bagian dari narasi wisata.
Bangka Belitung tidak perlu menjadi Bali kedua. Kita cukup menjadi diri sendiri versi terbaik yang memadukan kekayaan alam, sastra lisan, budaya, dan tata kelola modern. Ini bukan mimpi kosong. Negara-negara kepulauan kecil di Pasifik, seperti Fiji atau Maladewa, hidup dan tumbuh dari sektor wisata.
Transformasi dari ekonomi berbasis tambang menuju tourism-based economy bukan sekadar ganti sektor, tapi juga perubahan cara berpikir. Ini soal keberanian menata arah baru, membangun harapan dari yang lestari, bukan dari yang habis digali.
Bangka Belitung punya semua modalnya: alam, cerita, sastra, budaya, dan posisi strategis. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberpihakan, keberpihakan dalam kebijakan, anggaran, pendidikan, dan arah pembangunan.