Menghapus Kelaparan, Menampilkan Kemakmuran

Menghapus Kelaparan, Menampilkan Kemakmuran

Di hadapan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dalam pidato perdananya setelah membacakan sumpah sebagai Presiden NKRI periode 2024–2029, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa salah satu tantangan besar pembangunan adalah memerangi kelaparan rakyat di Tanah Merdeka ini.

Info menarik dari Badan Pangan Dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), menyebut bahwa hanya dalam dua tahun, jumlah penduduk dunia yang rentan kelaparan meningkat signifikan. Pada 2019, tercatat sebanyak 135 juta orang masuk kategori rawan pangan. Jumlah ini naik menjadi 193 juta pada 2021.

FAO mencatat bahwa hingga akhir 2022, kondisi kelaparan global semakin buruk. Sekitar 970 ribu orang hidup dalam kondisi kelaparan ekstrem di lima negara: Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman. Krisis pangan global bisa memperparah situasi bila tidak segera diatasi.

Perang melawan kelaparan sejatinya telah bergema sejak lama. Sebelum kesepakatan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2015, komitmen untuk menghapus kelaparan telah menjadi agenda bersama banyak negara. Dalam 17 Agenda SDGs, pada poin nomor 2, dunia berkomitmen menciptakan dunia tanpa kelaparan (zero hunger). Artinya, tidak boleh ada satu pun bangsa yang dibiarkan lapar.

Namun melihat data FAO tersebut, jelas bahwa dunia, termasuk Indonesia, belum benar-benar memenangkan perang melawan kelaparan. Di negeri ini, persoalan kelaparan masih menjadi tantangan serius. Tidak cukup hanya menjadi wacana, kelaparan harus diberantas dengan tindakan nyata.

Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan

Banyak kalangan menyarankan bahwa untuk mengakhiri kelaparan, negara harus mencapai ketahanan pangan prima, meningkatkan kualitas nutrisi, serta mendorong pertanian berkelanjutan. Kelaparan tersembunyi—yang terjadi meskipun seseorang terlihat makan tetapi kekurangan zat gizi penting—tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sporadis atau reaktif. Diperlukan sistem deteksi dini atau early warning system.

Sebagian besar masyarakat yang mengalami kelaparan biasanya berasal dari kelompok marjinal: buruh tani, nelayan kecil, buruh kebun, warga bantaran rel kereta, dan kelompok serupa. Dengan daya beli rendah, mereka kerap tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.

Kelaparan Bukan Prestasi, Tapi Ironi

Kelaparan bukanlah prestasi pembangunan. Sebaliknya, ini adalah indikator kegagalan. Sungguh ironis, negara yang pernah meraih Swasembada Beras justru memiliki warga yang tak mampu membeli beras. Kondisi ini membutuhkan solusi cepat dan menyeluruh.

Mengentaskan kelaparan tidak cukup hanya dengan bagi-bagi bantuan. Bantuan tanpa pendampingan hanya akan menciptakan ketergantungan. Maka dari itu, setiap bantuan harus dilengkapi dengan strategi pendampingan yang berkualitas dan berkelanjutan.

Pemerintah selama ini telah menyalurkan triliunan rupiah dalam bentuk bantuan—baik saat kenaikan harga BBM, masa pandemi COVID-19, dan lainnya. Namun semua itu belum menyentuh akar masalah. Pendekatan seperti pemadam kebakaran sudah saatnya ditinggalkan. Butuh pendekatan yang lebih struktural dan berbasis pengkajian teknokratik untuk mencegah munculnya krisis baru.

Hak Rakyat, Kewajiban Negara

Setiap warga negara Indonesia berhak hidup sejahtera dan terbebas dari kelaparan. Negara, melalui pemerintah yang diberi mandat, memiliki kewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Sudah hampir 80 tahun Indonesia merdeka. Banyak prestasi telah diraih, tapi juga tak sedikit kebijakan yang keliru.

Jika saja setiap kebijakan pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada kelompok kepentingan, maka kelaparan tidak perlu terjadi. Indonesia negara kaya. Jika masih ada rakyat yang lapar, mungkin yang salah bukan sumber dayanya, tapi cara kelola dan kebijakan yang diambil.

Maka dari itu, perlu ada koreksi menyeluruh terhadap arah kebijakan pangan nasional. Pemerintah perlu membenahi data, memperkuat sistem distribusi pangan, memberdayakan petani lokal, serta mencegah spekulasi dan kartel pangan. Semua ini harus dilakukan sebagai bagian dari komitmen nyata: menghapus kelaparan dan menghadirkan kemakmuran.

Karena pada akhirnya, kesejahteraan bukan hanya dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, tapi dari seberapa banyak perut rakyat yang kenyang dan hidup yang bermartabat.

Komentar