Dalam khazanah Islam, ulama bukan sekadar kelompok intelektual keagamaan, melainkan pewaris para Nabi (waratsat al-anbiya’) yang memikul amanah ilmu, hikmah, dan tanggung jawab moral untuk menuntun umat.
Ulama menempati posisi strategis dalam menyemai nilai kebenaran, membimbing umat menuju keadilan, serta menjadi pelita dalam gelapnya zaman. Namun, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia—yang dihuni keragaman agama, etnis, budaya, dan politik—posisi ulama tidak selalu berjalan mulus.
Tugas menjaga marwah keulamaan menuntut bukan hanya keluasan ilmu, tetapi juga kearifan dalam membaca zaman serta keteguhan menjaga nilai-nilai universal Islam tanpa jatuh pada eksklusivisme yang mengaburkan misi rahmatan lil-‘alamin.
Ulang tahun ke-50 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali peran ulama dalam konteks kebangsaan yang plural. Setengah abad MUI mewarnai ruang publik dengan fatwa, tausiyah, dan panduan moral bagi umat Islam. Namun di tengah derasnya arus digitalisasi, politik identitas, serta polarisasi wacana keagamaan, muncul pertanyaan: masihkah marwah ulama tetap terjaga sebagai penuntun, atau justru terjebak dalam pusaran kekuasaan dan wacana sektarian?
Sejarah dan Tantangan Marwah Keulamaan
Dalam sejarah Indonesia, ulama memainkan peran penting menjaga kohesi sosial bangsa. KH Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah menegaskan pentingnya menjaga harmoni dalam perbedaan. KH Ahmad Dahlan, melalui Muhammadiyah, menekankan pentingnya ijtihad kontekstual dalam membimbing umat di dunia modern. Buya Hamka, Ketua Umum MUI pertama, menjadi teladan bagaimana ulama menjaga marwah tanpa kehilangan integritas keilmuan dan moralitasnya meski berada dalam kekuasaan.
Namun, menjaga marwah keulamaan bukan perkara mudah. Masyarakat majemuk Indonesia menuntut ulama bersikap terbuka terhadap realitas kebhinnekaan tanpa menanggalkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam konteks ini muncul ketegangan antara dua fatwa penting MUI: Fatwa No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang pengharaman pluralisme, liberalisme, dan sekularisme; dan Fatwa No. 3 Tahun 2022 tentang Pedoman Bermuamalah Antarumat Beragama.
Fatwa MUI No. 7/2005 secara eksplisit menolak pluralisme sebagai penyamaan semua agama karena bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan kebenaran tunggal dalam tauhid. Fatwa ini berangkat dari kekhawatiran relativisme kebenaran yang mengaburkan batas iman dan kufur. Namun, fatwa ini kerap ditafsirkan sempit dan digunakan oleh sebagian kelompok untuk menjustifikasi eksklusivisme agama serta menutup ruang dialog antariman.
Sebaliknya, Fatwa MUI No. 3/2022 menunjukkan semangat progresif. Fatwa ini menegaskan umat Islam wajib menjaga hubungan harmonis dengan pemeluk agama lain berdasarkan prinsip toleransi, saling menghormati, dan kerja sama dalam hal kemanusiaan. Fatwa ini membolehkan interaksi sosial dan kerja sama lintas agama serta menegaskan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Pertanyaannya: apakah kedua fatwa ini bertentangan? Jawabnya tidak. Fatwa 2005 menolak pluralisme teologis yang menyamakan semua agama sebagai kebenaran mutlak, sedangkan Fatwa 2022 menegaskan pentingnya etika pluralitas dalam bermasyarakat. Artinya, pluralisme sebagai paham teologis tidak sesuai tauhid, tetapi pluralitas sebagai realitas sosial adalah keniscayaan yang harus disikapi bijak.
Marwah Ulama: Keseimbangan Antara Prinsip dan Realitas Sosial
Menjaga marwah ulama dalam masyarakat majemuk bukan berarti menggadaikan prinsip aqidah, tetapi memerlukan kebesaran jiwa untuk menerima realitas sosial dan menjadikannya ladang dakwah penuh hikmah. Al-Qur’an memberi pedoman indah:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik” (QS. An-Nahl: 125).
Ayat ini menegaskan seruan kebenaran tidak boleh disampaikan dengan cara menyinggung atau memecah belah.
Filsuf kontemporer Jürgen Habermas dalam Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996) menekankan pentingnya komunikasi deliberatif dalam masyarakat modern. Dalam demokrasi deliberatif, kebenaran tidak ditentukan kekuasaan, melainkan argumentasi rasional inklusif. Ulama yang menjaga marwahnya harus hadir di ruang publik sebagai suara moral jernih, bukan agen politik kekuasaan. Sayangnya, dalam praktik politik elektoral, tidak sedikit ulama terseret konflik kepentingan. Fatwa dan ceramah menjadi alat propaganda, bukan wahana pencerahan. Di sinilah marwah keulamaan mulai tergerus.
Ulama besar Maroko, Allal al-Fasi (1910–1974), mengingatkan bahwa ulama dekat kekuasaan bisa menjadi penasehat bijak atau pelayan yang membungkam kebenaran. Ulama, terutama di institusi seperti MUI, harus menjaga independensi moral dan keilmuan. Keterlibatan dalam kebijakan publik harus berangkat dari maqasid syariah, bukan akomodasi kekuasaan.
Dalam masyarakat majemuk Indonesia, tugas ulama adalah jembatan nilai, bukan tembok eksklusi. Ia harus menjembatani ajaran Islam normatif dengan realitas sosial plural. Contoh nyata adalah fatwa-fatwa lokal MUI yang memperkuat kohesi sosial, seperti fatwa toleransi beragama di Bali, penanggulangan bencana di Lombok, dan panduan ibadah di wilayah mayoritas non-Muslim.
Meneguhkan Otoritas Moral dan Inklusivitas
Marwah ulama juga terletak pada keberpihakan terhadap yang lemah dan terpinggirkan. Dalam sejarah Islam, ulama sejati berdiri di sisi rakyat. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan ilmu tanpa keberanian moral adalah kesia-siaan. Ulama sejati mampu berkata benar di hadapan penguasa zalim (a’ẓam al-jihād). Marwah ulama teruji ketika berani menyuarakan kebenaran, bukan sekadar membacakan doa restu kekuasaan.
Ulama juga harus menjawab tantangan zaman dengan pendekatan kontekstual. Masyarakat digital menuntut ulama hadir di ruang maya dengan narasi yang mempersatukan.
Di ekosistem media sosial penuh hoaks dan ujaran kebencian, ulama menjadi penyaring informasi dan pembimbing umat yang krusial. Ulama bukan sekadar penceramah mimbar, tapi intelektual publik yang mampu memformulasikan panduan moral di tengah badai disrupsi.
Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga kolektif ulama nasional memikul tanggung jawab besar membangun otoritas keagamaan yang kredibel. Fatwa MUI harus bersumber kajian mendalam, inklusif, dan responsif terhadap realitas masyarakat. MUI harus menjadi al-mihraj (tangga) yang mengangkat martabat ulama dan al-minbar (mimbar) yang menyuarakan keadilan dan kemanusiaan.
Ulang tahun ke-50 MUI bukan sekadar seremonial, melainkan momentum memperbaharui komitmen menjaga marwah ulama dalam masyarakat majemuk. Di tengah kompleksitas, ulama dituntut tampil sebagai juru bicara moral umat dan bangsa—bukan sekadar pewaris ilmu, tapi penjaga integritas.
Seperti kata Buya Hamka,
“Ulama bukan orang yang banyak tahu, tapi orang yang tahu mana yang hak dan mana yang batil.”
Intisari marwah ulama bukan pada gelar atau posisi, tetapi keberanian menjaga kebenaran dan memuliakan kemanusiaan.
Menjaga marwah ulama berarti memperkuat otoritas moral dengan integritas, memperluas peran sosial inklusif, dan menyampaikan risalah Islam dengan kelembutan. Dalam dunia yang terbelah antara ekstremisme dan relativisme, ulama menjadi jalan tengah membimbing umat menuju keselamatan dunia dan akhirat. Di sinilah marwah sejati bermula—dan terus harus dijaga.