Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan pasukan minyak bagi Indonesia bakal terganggu apabila selat hormuz ditutup imbas konflik Iran-Israel. Pasalnya, sebanyak 20,4 persen impor minyak Pertamina melewati selat itu.
“Penutupan selat Hormuz apabila dilakukan pemerintah Iran dapat berpotensi mengganggu 20 persen suplai minyak dunia yang lewat di situ, dan ini juga akan mempengaruhi kita di Indonesia, karena impor minyak Pertamina juga melewati Selat Hormuz ada 20,4 persen,” ujar Sugiono di ruang rapat Komisi I DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Menurut Sugiono, indikasi bakal ditutupnya selat hormuz tergambar dari Rancangan Undang-undang yang tengah disusun pemerintah Iran.
“Parlemen Iran telah setuju RUU penangguhan kerja sama dengan badan tenaga atom internasional, serta mendukung RUU yang mendukung penutupan selat Hormuz,” tutur Sugiono.
Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun menyoroti risiko gejolak harga minyak global akibat eskalasi konflik antara Iran dan Israel serta keterlibatan Amerika Serikat.
Dia menekankan pentingnya langkah antisipatif pemerintah agar harga minyak Indonesia (ICP) tidak melampaui asumsi APBN 2025 sebesar 82 dolar per barel, demi menjaga kestabilan subsidi energi dan fiskal nasional.
“ICP dalam APBN 2025 dipatok sebesar 82 dolar per barel. Saat ini harga minyak masih di bawah angka itu, berkisar di 75 hingga 79 dolar. Artinya, dari sisi harga, kita masih sangat aman. Namun jika konflik terus berlanjut dan harga melampaui batas asumsi, maka kita harus bersiap dengan skenario pengurangan subsidi BBM dan skema kompensasi bagi masyarakat miskin,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Dia menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun ini tercatat sebesar 4,87 persen, sedikit di bawah target APBN 2025 sebesar 5,2 persen. Penurunan ini terjadi bahkan sebelum konflik Iran-Israel meletus, dan sebagian dipengaruhi oleh ketidakpastian global termasuk dampak kebijakan dagang Amerika Serikat yang disebutnya sebagai Trump 2.0.