80 tahun Indonesia merdeka ternyata belum menjamin lepas dari penjajah, ini terbukti dari masih adanya kolonial yang mengatur hukum Indonesia. Inilah saatnya mengubah paradigma kolonial menjadi peraturan layaknya negara merdeka
Kementerian Hukum masih terus melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026.
Perubahan besar ini diharapkan membawa pembaruan dalam sistem hukum di Indonesia. Adapun misi utama dalam KUHP baru di antaranya demokratisasi, dekolonisasi, harmonisasi, dan modernisasi.
Misi demokratisasi yakni menjamin kebebasan berdemokrasi, berekspresi dan mengemukakan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan dengan batasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Kemudian dekolonialisasi yakni mengubah paradigma peraturan kolonial menjadi peraturan layaknya negara merdeka. Selanjutnya harmonisasi yaitu, menyesuaikan aturan pidana yang berserakan di berbagai perundang-undangan dengan ketentuan yang ada dalam KUHP baru.
Dan terakhir adalah modernisasi, yang berarti berarti KUHP harus up to date dan adaptif. Sehingga hukum senantiasa dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dari empat misi utama itu, tulisan ini akan membahas dekolonisasi hukum. Ini berkaitan dengan aturan zaman kolonial yang masih terus membayangi kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Tak bisa dipungkiri, hingga kini sistem hukum Indonesia memang masih menggunakan produk warisan penjajahan Belanda. Dan yang harus diingat adalah, sistem hukum itu mungkin sudah ada lebih dari 100 tahun yang lalu.
Ada pengaruh kuat kepentingan pemerintah kolonial Belanda yang pada masa itu berkuasa. Karena pembuatnya adalah orang-orang kolonial yang dipengaruhi oleh hukum yang berlaku di Belanda.
Meski sudah 80 tahun merdeka, warisan hukum kolonial terus berjalan mulai dari transisi sebelum kemerdekaan, proses kemerdekaan, hingga pasca-kemerdekaan Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, Indonesia mulai menggantikan hukum-hukum kolonial tersebut dengan produk hukum nasional. Salah satu tantangan pemerintah Indonesia ke depan adalah memerdekakan hukum dari produk asing.
“Pada prinsipnya sekarang berlaku sistem hukum nasional. Bahwa memang ada aturan yang dibuat pada masa kolonial Belanda yang masih berlaku, dalam kacamata hukum tata negara, itu menjadi hukum nasional,” ujar Pakar Hukum Tata Negara Universitas Jend. Soedirman Purwokerto, Prof Muhammad Fauzan kepada Inilah.com.
Menurutnya perkembangan sistem hukum di Indonesia adalah proses panjang yang dimulai sejak masa kolonial hingga mencapai bentuknya yang sekarang.
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan hasil dari akumulasi berbagai pengaruh, terutama dari hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat, khususnya yang berasal dari Belanda.
Proses ini mencerminkan dinamika sosial, politik, dan budaya bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman. Pertanyaan berikutnya adalah, mau sampai kapan kolonial Belanda menjajah Indonesia lewat sistem hukumnya.
“Jawabannya, tergantung kemauan politik kita,” ucapnya.
Mengenai hal ini, Anggota Komisi III DPR Hasbiallah Ilyas mengakui Indonesia belum memiliki sistem hukum nasional yang lengkap. Atas dasar itulah hingga saat ini masih menggunakan sistem hukum Belanda.

Meski begitu, pembaruan aturan hukum terus dilakukan menyesuaikan perkembangan bangsa yang terus berjalan hingga saat ini. Bahkan dalam prosesnya, hukum yang berlaku di masyarakat seperti hukum agama atau hukum adat diserap dan disempurnakan menjadi hukum positif.
“Jadi sebenarnya sistem hukum nasional kita itu tidaklah statis, tetapi bergerak dinamis dan terus mengalami pembaruan sesuai perkembangan,” jelasnya kepada Inilah.com.
Era Reformasi, lanjutnya, menjadi tonggak munculnya undang-undang baru yang lebih progresif, seperti Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Anti-Korupsi, dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Perubahan-perubahan ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk memperkuat rule of law dan melindungi hak-hak warga negara. Ditambah lagi dengan era digitalisasi yang mempengaruhi semua aspek kehidupan termasuk sistem hukum.
Salah satu tonggak penting dalam adaptasi terhadap era digital adalah pengesahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada tahun 2008, yang mengatur berbagai aspek aktivitas digital, termasuk transaksi online dan cyber crime.
“Kita lihat saat ini kita sudah memiliki berbagai aturan hukum yang sebelumnya tidak ada dalam sistem hukum warisan Belanda. Seperti UU Wakaf yang mengadopsi hukum Islam, UU ITE yang lahir karena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,” katanya.
Namun, UU ITE ini kerap menimbulkan kontroversi terkait dengan kebebasan berekspresi di dunia maya, bahkan masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Indonesia yang kini sudah berusia 10 windu ini diyakininya mampu memberikan pembaruan sistem hukum dan tak lagi mengikuti hukum yang diwarisi kolonial Belanda.
“Saya tidak tahu kapan, tapi pada akhirnya kita pasti akan memiliki sistem hukum nasional yang 100 persen produk hukum bangsa Indonesia. Itulah keyakinan dan semangat yang harus kita gaungkan sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur,” tandasnya.
Sepenggal Sejarah Hukum Kolonial
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakat Indonesia memiliki sistem hukum hukum adat. Hukum ini bersifat tidak tertulis dan diwariskan secara turun-temurun.
Setiap daerah memiliki aturan dan norma yang berbeda, mencerminkan kearifan lokal masing-masing. Selain itu, hukum Islam juga mulai dikenal dan diterapkan di beberapa wilayah, seperti Aceh, yang memiliki sistem hukum Islam yang khas.
Ketika Belanda datang, sistem hukum di Indonesia mengalami perubahan secara signifikan. Pada masa kolonial, Belanda menerapkan sistem hukum yang berlaku di negaranya yang dikenal dengan sistem hukum Romawi-Belanda.
Sistem ini diterapkan melalui berbagai peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.
Salah satu contoh penerapan hukum Belanda adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di Belanda.
Selain itu, terdapat juga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diadopsi dari Wetboek van Strafrecht Belanda.

Aturan hukum ini awalnya hanya berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing, namun seiring berjalannya waktu, penerapannya meluas hingga mencakup seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.
Kemudian pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), sistem hukum yang berlaku mengalami perubahan. Jepang memberlakukan hukum militer yang bersifat otoriter dan represif.
Seluruh peraturan yang ada sebelumnya dicabut, dan digantikan dengan peraturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah militer Jepang. Namun karena masa pendudukan Jepang relatif singkat, dampaknya terhadap sistem hukum Indonesia tidak sebesar masa kolonial Belanda.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sistem hukum yang ada masih banyak dipengaruhi oleh warisan kolonial. Selanjutnya pemerintah Indonesia terus berupaya membangun sistem hukum nasional yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan demokratisasi dan penguatan supremasi hukum.
Banyak perubahan signifikan terjadi, termasuk amandemen UUD 1945 yang memperkuat hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi.
Pembentukan lembaga-lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan menjadi bagian penting yang lahir setelah Reformasi.
Perubahan-perubahan ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk memperkuat rule of law dan melindungi hak-hak warga negara.
Sudah Saatnya Hukum Jadi Panglima
Hari ini, 80 tahun Indonesia dengan kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI, sudah semestinya hukum menjadi panglima. Ini harus dibuktikan oleh para penegak hukum yang tak lagi boleh mendapat intervensi apalagi intimidasi.
Bahkan Prabowo mengakui adanya kekuatan besar yang mengganggu proses penegakan hukum.
“Saya tahu ada penegak-penegak hukum yang diancam. Ada yang rumahnya didatangi, ada yang mobilnya diikuti, ada yang rumahnya difoto. Saya hanya ingin sampaikan, kita tidak gentar,” ujar Prabowo, Sabtu (17/5/2025).
Prabowo pun siap menjadi tameng agar seluruh penegak hukum tidak pernah gentar melawan ancaman dan intimidasi yang dialamatkan kepada mereka. Hal tersebut ditegaskan demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan tak pandang bulu.

Prabowo mengakui, sejak masa pemerintahan Presiden pertama RI Soekarno, Indonesia selalu mendapat tantangan berat. Banyak yang tak ingin Indonesia berdiri di atas kaki sendiri.
Berbagai kekuatan besar kerap melakukan berbagai macam cara untuk melemahkan bangsa dan negara. Salah satu praktik yang umumnya dilakukan adalah menyogok para penegak hukum demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Jangan lagi ada kasus seperti bebasnya Gregorius Ronald Tannur, terdakwa penganiayaan hingga tewas terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Terdakwa merupakan anak dari mantan anggota DPR RI Edward Tannur yang divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada 24 Juli 2024.
Hakim yang memutus bebas Ronald Tannur menjadi sorotan publik, karena menilai terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana baik Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP maupun ketiga Pasal 359 KUHP. Padahal dari berbagai bukti di persidangan jelas-jelas terbukti menganiaya kekasihnya hingga tewas.
Hingga akhirnya tiga majelis hakim yakni Erintuah Damanik selaku hakim ketua dan dua hakim anggotanya masing-masing Mangapul dan Heru Hanindyo diitangkap setelah terbukti menerima suap miliaran rupiah atas vonis bebasnya terdakwa Ronald.
Kasus serupa juga pernah terjadi di tingkat yang lebih tinggi yakni Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati, tersangka korupsi dugaan suap terkait pengurusan perkara di MA pada 23 September 2022 silam.
Sudrajad bersama lima orang lainnya dari MA diduga menerima suap dari empat orang tersangka untuk mengkondisikan putusan sesuai dengan keinginan pemberi suap.
Belum lagi dengan kasus korupsi ekspor sawit yang menjerat Wilmar Group. Selain nilai uang yang disita cukup fantastis yakni Rp11,8 triliun, kasus ini menjadi sorotan karena adanya suap sebesar Rp60 miliar untuk para pengadil.
Mereka adalah Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Arif Nuryanta dan majelis hakim yang menangani perkara: Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, serta panitera Wahyu Gunawan.
Uang suap tersebut diberikan oleh Head of Social Security Legal Wilmar Group Muhammad Syafei agar hakim memberikan putusan ontslag van alle recht vervolging atau terbukti melakukan perbuatan namun dinyatakan bukan sebagai tindak pidana. Kasus tersebut hingga kini masih ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kasus di atas adalah dua dari sekian banyak kasus yang tentunya merusak citra penegak hukum. Seakan menutup nama-nama baik seperti Artidjo Alkostar, Bismar Siregar, serta Adi Andojo.

Ketiga mantan hakim agung MA itu setidaknya patut menjadi panutan para hakim di Indonesia. Mereka dikenal sebagai hakim yang tiada ampun dan tegas menurunkan palu, lurus, lagi berani. Namun saat ini sosok ideal hakim seperti mereka seakan langka di Indonesia.
Kondisi ini menjadikan publik semakin tidak percaya dengan sistem hukum di Indonesia, sehingga muncul stigma ‘Hukum tumpul ke atas, tapi malah tajam ke bawah’. Bahkan keadilan masih bergantung pada viralitas, jika belum viral maka hukum belum berjalan.
Seperti halnya kasus penganiayaan karyawan toko roti di Cakung, Jakarta Timur oleh anak pemilik toko tersebut pada Oktober 2024 lalu. Korban pun segera melapor ke pihak kepolisian untuk meminta keadilan, namun sayang laporannya tak kunjung digubris. Ada dugaan, pelaku memiliki kenalan prajurit TNI dan anggota Polri.
Berharap dengan fenomena No Viral No Justice, karyawan tersebut pun mengunggah kasusnya ke media sosial. Setelah viral, polisi pun mulai melaksanakan penyelidikan hingga anak bos toko roti itu ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus tersebut adalah satu dari sekian banyak fenomena No Viral No Justice, parahnya lagi muncul jargon ‘Percuma Lapor Polisi’. Bahkan mantan Presiden RI (Alm) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah melontarkan guyonan, “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”.

Jenderal Hoegeng atau yang bernama lengkap Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri era 1968 hingga 1971. Ia merupakan sosok polisi yang dikenal jujur, tidak bisa disuap, dan berani menolak segala bentuk gratifikasi.
Salah satu yang paling dikenang dari kepemimpinannya adalah prinsip hidupnya yang sederhana. Keteguhan sikapnya dalam menegakkan integritas diharap menjadi teladan bagi banyak anggotanya hingga kini.
Karena itu, HUT ke-80 RI adalah sebuah momentum dalam menguatkan sistem hukum di Indonesia supaya tak lagi bisa dibeli. Hukum harus menjadi panglima tertinggi, tak ada lagi intervensi, penegak hukum hanya butuh independensi.
Mengenai institusi penegak hukum yang masih menjadi sorotan publik juga menjadi perhatian serius Komisi III DPR RI. Karena itu mereka (para wakil rakyat) terus memantau implementasi dari reformasi, modernisasi, dan optimalisasi sistem dari tiap institusi penegakan hukum di Tanah Air.
“Kami ingin memastikan bahwa sistem hukum kita berjalan dengan baik, transparan, dan dapat dipercaya oleh masyarakat,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
Menurutnya, untuk memberikan kepuasan layanan publik dan mencapai citra positif dibutuhkan implementasi dan peningkatan responsivitas, profesionalisme, dan transparansi dari institusi penegak hukum.
Namun demikian, Politikus Partai Gerindra ini menyadari sistem penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mewujudkan sistem yang berkeadilan dan terpercaya. Ia mencontohkan sejumlah kasus menjadi sorotan publik berkaitan dengan institusi penegak hukum.
“Tidak boleh ada lagi kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas,” harapnya.
(Diana Rizky/M.Syahidan)