Menyambut Kapolri Baru

Menyambut Kapolri Baru


Meski belum ada pernyataan resmi dari Istana, cepat atau lambat, pada saatnya nanti Kapolri akan berganti jua. Sebagaimana pengalaman sebelumnya terkait transisi kekuasaan, biasanya presiden yang baru berkuasa segera mengganti beberapa posisi strategis, seperti KSAD dan Kapolri. Prinsipnya adalah, presiden yang baru harus memastikan, bahwa untuk posisi Panglima TNI, Kepala Staf (angkatan), dan Kapolri, diisi oleh perwira-perwira yang benar-benar dalam kendalinya.

Posisi Kapolri misalnya, bila kita menengok catatan masa lalu, saat SBY baru berkuasa sekitar setengah tahun (awal Juli 2004), kira-kira mirip Prabowo sekarang, segera menggeser Jenderal Polisi Da’i Bachtiar untuk digantikan Jenderal Polisi Sutanto. Kebetulan antara SBY dan Jenderal Pol Sutanto adalah rekan segenerasi di AKABRI (1973), dan kebetulan sama-sama pula sebagai lulusan terbaik, sehingga hubungan antara keduanya sangat dekat.

Demikian juga dengan Joko Widodo, yang baru beberapa bulan dilantik sebagai presiden, pada awal tahun 2015, sebenarnya tengah bersiap-siap mengganti Kapolri (saat itu) Jenderal Sutarman. Atas rekomendasi Megawati, Joko Widodo sedianya akan mengangkat Komjen Budi Gunawan (kini Menkopolhukam), namun sebagaimana kita tahu, ada sedikit kekacauan, hingga ditempuh “jalan tengah” dengan mengangkat Jenderal Badrodin Haiti.

Prabowo sudah berkuasa lebih dari setengah tahun, bila dihitung sejak pelantikannya pada pertengahan Oktober, dengan kata lain Prabowo sudah cukup waktu untuk bersabar, agar transisi pada beberapa posisi strategis bisa berjalan mulus. Kini momentum bagi Prabowo sudah tiba, untuk mengadakan penyegaran pimpinan, utamanya pada posisi orang nomor satu di Polri.

Kompetensi dan Tradisi

Dalam proses pergantian pimpinan di tubuh militer atau kepolisian, selalu mempertimbangkan dua faktor, yaitu tradisi dan kompetensi. Bila berniat mengangkat Kapolri atau Kepala Staf (angkatan) misalnya, Prabowo harus mempertimbangkan tradisi, yang tentunya Prabowo sudah paham benar. Tradisi ini semacam aturan tidak tertulis, atau yang biasa dikenal sebagai konvensi, sehingga seluruh anggota TNI dan Polri sudah memahaminya.

Sekadar perbandingan bisa diajukan di sini, semisal tradisi pada matra laut dan udara. Untuk posisi KSAL dan KSAU, selalu diisi oleh korps pelaut (KSAL) dan korps penerbang (KSAU), sehingga tidak heran seorang jenderal marinir yang paling hebat pun tidak akan pernah menjadi KSAL, dan seluruh anggota TNI AL sudah memahami. Artinya ketika seorang taruna AAL memantapkan dirinya untuk bergabung pada Korps Marinir, dirinya sudah siap untuk tidak akan pernah menjadi orang nomor satu di TNI AL, setinggi apa pun prestasi perwira marinir tersebut, yang paling mungkin adalah menjadi Danjen Korps Marinir, bahkan untuk WAKSAL pun tidak.

Demikian juga dengan KSAD, meski tidak ada regulasi khusus, umumnya posisi KSAD selalu diberikan pada perwira kecabangan infanteri. Mungkin karena ada pertimbangan historis juga, karena saat perang kemerdekaan (1945–1949) dulu, pasukan yang paling dominan di TNI adalah infanteris. Dan itu masih ada jejaknya sampai sekarang, ketika perwira infanteri secara jumlah juga lebih banyak dibanding kecabangan lain, seperti kavaleri, artileri, dan zeni.

Demikian juga dengan Polri, yang untuk posisi Kapolri biasanya lebih sering diambil dari perwira Polri yang berlatar belakang reserse atau intelijen, sangat jarang direkrut dari perwira Brimob. Di masa Orde Baru, setidaknya hanya seorang jenderal asal Brimob, yaitu Jenderal Anton Soedjarwo yang sempat dipercaya sebagai Kapolri (1982–1986). Jenderal Anton adalah perwira Brimob tulen, karena sepanjang kariernya dihabiskan pada satuan yang menjadi andalan Polri dalam operasi keamanan dalam negeri.

Tradisi lain dalam memilih pemimpin TNI atau Kapolri, adalah dijalankannya semangat alih generasi. Kapolri saat ini, yaitu Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo adalah lulusan Akpol 1991, sebaiknya calon penggantinya adalah adik kelas Jenderal Listyo di Akpol. Salah satu warna dalam kepemimpinan Polri (dan TNI) adalah selalu munculnya wajah-wajah baru yang segar dan potensial, yang menjadikan publik senantiasa menyimpan harapan pada pemimpin yang baru kelak.

Satu lagi tradisi yang harus diingat dalam memilih (utamanya) Kapolri adalah latar belakang pendidikan. Kapolri wajib direkrut dari perwira tinggi Polri lulusan Akpol dan PTIK. Mengapa harus lulusan Akpol dan PTIK, selain terkait tradisi, yang tak kalah penting karena berkenaan soal kompetensi, bahwa perwira lulusan Akpol dan PTIK memang disiapkan untuk menempati posisi strategis di Polri, utamanya sebagai Kapolri. Jadi bukan direkrut dari sumber perwira yang lain. Kita bisa meminjam sebentar logika yang berlaku di TNI AD, adalah mustahil bila Presiden Prabowo melantik KSAD dari perwira tinggi yang bukan lulusan Akmil, terlepas Presiden Prabowo sendiri adalah lulusan Akmil (1974).

Berbarengan KSAD Baru

Penulis sendiri selama ini lebih banyak mengamati perwira TNI AD, jadi sebenarnya kurang memiliki banyak pengetahuan soal figur perwira Polri. Namun perspektif militer mungkin masih berguna juga dalam memahami bagaimana keberlangsungan transisi dari Joko Widodo ke Prabowo, menyangkut bargaining politik keduanya dalam mutasi sejumlah perwira.

Seperti pada mutasi akhir Mei yang lalu, ada fenomena menarik, ketika ada promosi bagi tiga orang perwira tinggi, yang bisa dianggap sebagai “titik temu” antara Prabowo dan Joko Widodo. Mereka adalah Rafael Granada Baay (Akmil 1993, dari Pangdam Jaya menjadi Sekretaris Utama BIN, promosi pos bintang tiga), Deddy Suryadi (Akmil 1996, dari Pangdam IV/Diponegoro ke Pangdam Jaya), dan Achiruddin (Akmil 1997, dari Komandan Paspampres ke Pangdam IV/Diponegoro).

Tiga pati ini bisa dikatakan sebagai bentuk kompromi antara Prabowo dan Jokowi. Jejak kedekatan ketiganya dengan Jokowi adalah, mereka (dalam periode yang berbeda) pernah menjadi Danrem di Solo dan sama-sama Komandan Paspampres (secara berurutan) di era Joko Widodo. Sementara pada sisi yang lain, kebetulan ketiga pati tersebut adalah anggota Kopassus, bahkan Achiruddin sempat menjabat sebagai Wadan Satuan 81 Gultor, sebagai penanda jejak Prabowo.

Bisa jadi mutasi kali ini adalah sebuah penanda, bahwa Prabowo sedang memasuki untuk segera melepas perwira-perwira yang masih dianggap bagian dari Jokowi, untuk digantikan dengan figur lain yang benar-benar firm bagian dirinya. Melalui “dunia kecil” mutasi TNI baru-baru ini, kita bisa melihat, Prabowo dengan caranya sendiri yang tipikal, pada akhirnya akan melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi.

Prabowo secara samar sudah menyiapkan nama untuk KSAD baru, yakni atas nama Letjen Bambang Trisnohadi (lulusan terbaik Akmil 1993), yang kini masih menjabat Pangkogabwilhan III. Disiapkannya Bambang Trisnohadi sebagai calon KSAD, bisa jadi merupakan sebuah clue untuk calon Kapolri berikutnya, yakni lulusan Akpol yang segenerasi dengan Bambang Trisnohadi (1993) dan juga lulusan terbaik, yaitu Irjen Pol Rudi Darmoko (Kapolda NTT). Irjen Rudi Darmoko merupakan fenomena menarik, tiba-tiba saja namanya masuk orbit, padahal belum genap seminggu sebagai Kapolda NTT, salah satunya mungkin karena Rudi Darmoko peraih Adhi Makayasa Akpol 1993.

Prabowo dalam beberapa kesempatan, menyatakan rasa bangganya pada perwira yang ketika lulus dari Akademi (baik Akmil, Akpol, dan yang lain), memperoleh Adhi Makayasa. Prabowo seolah memberi kode keras, tentang siapa perwira yang akan dipilihnya. Pada posisi Kapolri sendiri, kebetulan sudah ada beberapa lulusan terbaik Akpol, yang sempat menjadi Kapolri, antara lain Sutanto (Akpol 1973), Badrodin Haiti (Akpol 1982), dan Tito Karnavian (Akpol 1987).

Mungkinkah pengangkatan Rudi Darmoko sebagai Kapolda NTT, adalah bagian dari skenario besar untuk menyiapkan Rudi Darmoko pada posisi atau jabatan yang lebih strategis. Seandainya benar dugaan, bahwa hari pelantikan KSAD dan Kapolri (baru) akan dilakukan secara bersamaan, itu artinya tak lama lagi Rudi Darmoko akan segera dipromosikan pada jabatan komisaris jenderal (salah satu opsinya sebagai Kepala Lemdiklat), agar pangkat antara Bambang Trisnohadi dan Rudi Darmoko bisa setara.

Komentar