Merdeka dari Rodi ke Relokasi

Merdeka dari Rodi ke Relokasi


Lebih dari dua abad lalu, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memerintahkan pembangunan jalan Anyer–Panarukan. Jalan Daendels ini dibangun dengan alasan strategis, yakni untuk mempercepat mobilisasi pasukan dan logistik kolonial.

Hari ini, pembangunan jalan tol juga punya alasan strategis, yaitu memperlancar distribusi barang dan menumbuhkan ekonomi. Bedanya, dulu keuntungan mengalir ke Batavia dan Belanda, sekarang mengalir ke perusahaan konstruksi, operator tol, dan investor yang memegang konsesi puluhan tahun.

Bagi sebagian rakyat kecil, logika pembangunan untuk semua agaknya selalu terdengar seperti janji utopis. Mereka kehilangan sawah yang menjadi sumber nafkah, rumah yang menjadi warisan keluarga, dan lingkungan sosial yang menjadi identitas. Kompensasi yang dijanjikan sering tidak sebanding, sementara relokasi memaksa mereka memulai hidup dari nol.

Ironisnya, jalan yang dulunya bisa dilewati secara gratis kini dipagari tarif masuk. Mobil-mobil mewah melintas mulus, sementara pemilik tanah lama hanya bisa melihat dari kejauhan. Sejarah tidak sekadar mengulang diri, tapi mengulang dengan wajah lebih modern, rapi, dan mahal.

Luka Sosial Relokasi

Sejarawan mencatat, pembangunan Jalan Daendels menggunakan tenaga kerja rodi. Pekerja dipaksa bekerja tanpa imbalan memadai. Kini, memang tidak ada lagi kerja paksa, melainkan relokasi paksa dan pembebasan lahan dengan harga rendah, yang menimbulkan luka sosial serupa.

Penggusuran atas nama kepentingan umum sering diiringi janji kehidupan yang lebih baik di tempat baru. Namun banyak kasus menunjukkan sebaliknya: akses ke pasar, sekolah, dan fasilitas kesehatan menjadi terbatas; biaya hidup meningkat; jaringan sosial tercerabut.

Dulu, rakyat dipaksa membangun jalan untuk kepentingan militer dan kolonial. Sekarang, mereka dilibatkan dalam pembangunan demi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kata-katanya berbeda, tapi struktur relasinya mirip: rakyat kecil tetap di posisi paling rentan.

Tidak semua infrastruktur buruk bagi rakyat kecil. Ada contoh jalan desa, irigasi, dan jembatan yang benar-benar memudahkan hidup warga. Masalahnya, proyek-proyek semacam ini sering kalah prioritas dibanding proyek raksasa yang lebih menjanjikan keuntungan finansial bagi investor.

Dalam perspektif ekonomi politik, infrastruktur besar kerap menjadi strategi akumulasi modal. Jalan tol, pelabuhan, dan bandara skala raksasa menjadi magnet investasi swasta. Namun proses ini jarang memikirkan redistribusi manfaat agar semua lapisan masyarakat merasakannya.

Menempatkan Manusia di Atas Beton

Pembangunan yang inklusif membutuhkan keberanian menempatkan manusia di atas beton. Jalan bukan hanya soal jarak dan waktu tempuh, tetapi juga kehidupan yang dilaluinya. Jika kehidupan itu rusak, maka jalan hanyalah garis aspal yang memisahkan.

Pelajaran dari Jalan Daendels seharusnya mengingatkan bahwa infrastruktur bisa menjadi alat penindasan jika hanya melayani segelintir orang. Mengulang kesalahan sejarah dengan bendera berbeda tidak mengurangi kesalahannya.

Pertumbuhan ekonomi yang diukur dari panjang jalan tol tak berarti banyak jika ketimpangan sosial terus melebar. Barangkali kita perlu mengubah cara berpikir: dari “seberapa cepat sampai” menjadi “siapa saja yang bisa ikut sampai.” Infrastruktur sejati adalah soal partisipasi, bukan semata mobilitas.

Narasi pembangunan yang sehat harus mengakui harga sosial dan ekologis. Jalan yang membelah hutan, meratakan kampung, atau menenggelamkan sawah bukan hanya mengubah peta, tetapi juga nasib banyak orang.

Mungkin suatu hari kita bisa membangun jalan tol yang benar-benar menjadi simbol kemajuan bersama—tanpa mengorbankan ruang hidup rakyat kecil, dan memberi manfaat langsung bagi semua, bukan hanya pemilik modal. Sampai hari itu tiba, sejarah mengingatkan: dari Jalan Daendels hingga jalan tol, pembangunan tidak otomatis berarti kemajuan. Kemajuan sejati hanya hadir ketika semua orang diajak berjalan bersama, bukan hanya mereka yang punya tiket masuk gerbang tol.

Komentar