Survei Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek yang digelar pada tahun 2020 menunjukkan, 77 persen dosen di Indonesia menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63 persen di antaranya tidak pernah melaporkannya ke pihak kampus. Data ini sungguh memilukan sekaligus mengonfirmasi bahwa kekerasan seksual di kampus bak fenomena gunung es—yang belum terungkap sejatinya masih banyak.
Kasus pemecatan guru besar di UGM beberapa waktu lalu akibat kekerasan seksual memberi harapan dan harus menjadi titik balik penghapusan kekerasan seksual di kampus. Ini adalah momentum yang tidak boleh dilewatkan agar kampus benar-benar menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi mahasiswa untuk belajar, berkembang, dan menjalin jejaring yang sehat.
Penanganan dan penghapusan kekerasan seksual di kampus menjadi agenda yang semakin mendesak untuk ditangani secara serius dan tuntas. Terkait hal ini, Melati (2019) menyebutkan beberapa alasannya. Pertama, pelecehan seksual memiliki dampak yang serius pada korban, baik secara fisik, sosial, maupun psikologis. Kedua, banyak kasus tidak dilaporkan karena dianggap sebagai aib atau korban berada dalam tekanan pelaku sehingga memilih bungkam. Ketiga, kekerasan seksual dianggap lumrah sehingga tidak menjadi masalah prioritas yang harus segera diselesaikan.
Oleh karena itu, menciptakan kampus yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan seksual bukan hanya masalah moral, tetapi juga tanggung jawab institusional yang harus dihadapi dengan serius—dan, sekali lagi, tak bisa ditawar lagi. Artikel ini mengulas akar penyebab kekerasan seksual di kampus serta langkah konkret yang dapat diambil untuk mewujudkannya.
Masalah yang Kompleks
Kasus kekerasan seksual di kampus merupakan masalah yang kompleks dan tidak mudah diungkapkan. Penyebabnya pun cukup beragam. Teresia dkk. (2014) menyebutkan beberapa penyebab umum pelecehan seksual di kampus.
Pertama, budaya patriarki yang kuat. Di banyak kampus, budaya ini masih dominan. Perempuan dalam banyak kasus masih dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan sehingga ditempatkan sebagai pihak yang harus menjaga diri. Lain halnya dengan laki-laki, yang cenderung “dimaklumi” jika melakukan pelecehan. Lihat saja ketika terjadi kekerasan seksual: korban sering disalahkan atas pakaian, perilaku, atau sikapnya, bahkan dicap “penggoda”, alih-alih didengar dan didukung (Usfiyatul dkk., 2021).
Kedua, adanya relasi kuasa yang timpang. Dalam banyak kasus, pelaku menggunakan kuasanya sebagai dosen atau pejabat kampus untuk mengintimidasi dan memanipulasi agar dapat melancarkan perilaku bejatnya. Mahasiswa yang posisinya “membutuhkan”—nilai, rekomendasi, kelulusan, atau akses terhadap sumber akademik—sering kali merasa tidak punya pilihan untuk melawan atau melapor karena takut konsekuensinya.
Ketiga, lemahnya penanganan institusional. Inilah yang membuat kekerasan seksual terus berulang. Banyak perguruan tinggi belum memiliki regulasi yang jelas dan tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual. Bahkan ketika regulasi sudah ada, pelaksanaannya kerap lambat, tidak transparan, dan tidak berpihak kepada korban.
Mewujudkan Kampus yang Aman
Pemecatan guru besar di UGM dan tren meningkatnya laporan kasus kekerasan seksual membuka mata bahwa persoalan ini nyata—bukan sesuatu yang jauh dari dunia pendidikan tinggi. Ia bisa terjadi pada siapa pun dan kapan pun. Dengan demikian, upaya mewujudkan kampus yang aman dari kekerasan seksual menjadi semakin mendesak.
Menurut Wahid (2016), membangun kampus yang aman dari kekerasan seksual dapat diwujudkan melalui tiga tindakan. Pertama, perlindungan secara periodik sebagai bentuk pelayanan, pencegahan, dan pemberdayaan korban. Perlindungan ini sangat mendesak, khususnya bagi kelompok yang rentan. Upaya konkret yang dapat dilakukan antara lain edukasi berkala, kampanye kesadaran, penyediaan saluran pelaporan yang berbasis korban, serta penguatan batasan dan kode etik dosen.
Selama ini banyak kampus baru menerapkan perlindungan secara reaktif. Artinya, baru “bergerak” setelah kasus terbongkar. Padahal, langkah preventif jauh lebih penting dan harus digalakkan guna menghapus kekerasan seksual di kampus.
Kedua, perlindungan berkelanjutan (sustainable) yang mencakup tiga fungsi utama: pelayanan, pencegahan, dan pemberdayaan. Dari sisi pelayanan, kampus harus menyediakan layanan yang mudah diakses dan konsisten—mulai dari konseling, pendampingan hukum, hingga pemulihan psikologis. Dari sisi pencegahan, perlu disusun kebijakan dan program yang benar-benar mendukung kampus yang aman. Misalnya, tidak boleh melakukan bimbingan di luar kampus dan harus dilakukan di ruang yang dapat diawasi orang lain.
Sementara dari sisi pemberdayaan, kampus harus mendampingi korban agar bisa melanjutkan hidup secara sehat, mental dan akademik. Prinsip keberlanjutan ini juga tidak boleh bergantung pada kepemimpinan kampus tertentu, tetapi menjadi komitmen bersama semua pihak kampus.
Ketiga, penguatan mekanisme dan lembaga penanganan kekerasan seksual. Hadirnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan tonggak penting. Peraturan ini dapat menjadi dasar kuat bagi kampus untuk menjalankan sistem pencegahan dan penanganan yang jelas dan tegas.
Lembaga seperti Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) harus dibentuk secara serius dan diberi kewenangan memadai. Pelaku kekerasan seksual juga tidak cukup hanya diberi sanksi administratif, tetapi harus dihukum tegas untuk menimbulkan efek jera. Kasus di Universitas Hasanuddin tahun 2024 membuktikan, sanksi akademis saja tidak cukup: pelaku justru kembali mengulangi perbuatannya.
Mewujudkan kampus yang aman dari kekerasan seksual memang bukan pekerjaan mudah. Ia memerlukan proses panjang, komitmen tinggi, serta konsistensi dari seluruh elemen kampus. Namun demikian, bukan berarti mustahil.
Kampus bebas kekerasan seksual bisa diwujudkan jika semua pihak—pimpinan, dosen, mahasiswa, hingga tenaga kependidikan—sadar bahwa ini bukan sekadar isu normatif, melainkan tanggung jawab moral dan kelembagaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.