Misalnya Saya Trump

Misalnya Saya Trump


Jumat 30 Mei 2025 lalu, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menyampaikan ‘nafsunya’ untuk menaikkan tarif impor baja dan aluminium hingga dua kali lipat. Dua komoditas yang semula dipatok tarif pajak sebesar 25℅ itu rencananya akan dilonjakkan ke nilai 50℅.

Praktis, ‘nafsu’ Trump itu beroleh respon keras dari segenap negara-negara relasi dagang AS. Kanada, sebagaimana dilaporkan CNBC, menuding niatan Trump tersebut sebagai upaya untuk membunuh industri dan pekerja di Negeri Pecahan Es itu.

Komisi Eropa (European Commission) juga segera merespon ‘nafsu ugal-ugalan’ Trump tersebut. Mereka khawatir akan makin tidak stabilnya perekonomian global sekaligus konsekuensi pembengkakan biaya.

Pernyataan dan ‘nafsu bejat’ Trump benar-benar membuat publik dunia geleng-geleng kepala. Belum habis adu tudingnya dengan China, kini sudah terbit lagi perseteruan teranyarnya. Ia seolah tak kenal kapok, tak sudi jera.

Kiranya, Trump memang keterlaluan berani.

Utopia Make America Great Again (MAGA)

Trump, sebagaimana kita tahu, memang sedari mulanya telah sedemikian kemrengseng untuk mewujudkan ‘nafsu terbesarnya’ yakni menjadikan AS sebagai negara adidaya kembali (Make America Great Again).

Sejatinya, Trump bukanlah figur original yang pertama kali memproklamasikan gagasan MAGA itu. Jauh di tahun 1980 silam, Presiden keempat puluh AS, Ronald Reagan, menjadikan MAGA sebagai alat untuk memenangkan Pemilu Presiden tahun 1981.

Janji muluk yang diusung Reagan guna merebut suara konstituen itu ternyata berbuah manis. Ia sukses menjuarai Pilpres AS bersama wakilnya, George Herbert Walker Bush. Kesuksesan Reagan itulah yang kiranya hendak Trump fotokopi.

Namun, misalnya saya seorang Trump, maka saya akan sadar diri. Reagan terkenal dengan gaya konservatifnya dalam memimpin AS. Ia merupakan figur yang senantiasa was-was lagi cemas dengan kondisi negaranya.

Baginya, AS di masa itu berada dalam kondisi yang lebih berbahaya (the greater danger) ketimbang peristiwa penyerangan AS di Pearl Harbor pada masa Perang Dunia II. Padahal, kita sama-sama tahu betapa hancurnya AS dalam tragedi 7 Desember 1941 yang menewaskan ribuan orang itu.

Ringkasnya, Trump mewarisi sifat paranoid Reagan. Keduanya identik dalam hal pesimisme terhadap kekuatan militer negaranya sendiri. Alhasil, baik Reagan maupun Trump, keduanya berupaya untuk merestorasi militer. Trump, sebagaimana rilisan Gedung Putih pada awal Maret lalu, berupaya untuk menjadikan militer AS sebagai “the strongest and most powerful force” di dunia.

Untuk negara sedemokratis AS, kecenderungan militeristik Trump ini jelas tak bersambut gayung. Bukankah pendekatan ala Trump ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan musuh abadi mereka —Rusia? Padahal, AS kerap mengkritik kebijakan militeristik Rusia yang katanya membahayakan keamanan dan perdamaian dunia.

Trump telah menjilat ludahnya sendiri. Misalkan saya jadi dirinya, setengah mati saya ogah melakukan hal itu!

Menanti Trump tobat

Keugal-ugalan Trump memang telah menyulut ‘malapetaka’ di level global. Tapi bagaimanapun, sekontroversial apapun, Trump masih saja memiliki basis pendukung yang kuat dan loyal. Kita harus mencatat bahwa ia adalah presiden AS yang terpilih lewat mekanisme Pemilu yang sah.

Namun, misalnya saya Trump, saya akan memilih untuk menghindari kontroversi dan kontravensi di tahun-tahun sulit ini. Sisa-sisa luka pasca pandemi Covid-19 yang masih terasa efeknya akan lebih cepat sembuh bila dihadapi dengan tangan yang terbuka untuk berpelukan.

Alih-alih menginisiasi perang dagang, bila jadi Trump, saya akan bersikap lebih friendly dengan seteru-seteru lama. Ketimbang terlalu bernafsu menguasai militer dunia, AS akan lebih tampak berwibawa bila mau turun gunung menjadi mediator untuk konflik antarnegara seperti Ukraina-Rusia dan Palestina-Israel.

Selama ini, AS justru lebih sering bersikap jomplang sebelah, bahkan turut ‘menuang bensin’ kedalam kobaran api peperangan. Pada akhirnya, dunia justru tak kunjung pulih dan ketahanan ekonomi mesti diperjuangkan lewat perang dagang. Mestinya Trump tobat, bahwa api tak reda oleh api.

Lantas, adakah yang bisa menobati sang Presiden itu? Entahlah. Mungkin Sri Paus Leo XIV punya doa sakti yang bisa membikin Trump kembali ke “shiratal mustaqim”.

Komentar