Pernahkah Anda bertanya-tanya, kenapa ada kucing yang super pendiam, cuma muncul saat lapar, sementara yang lain tak henti mengeong minta perhatian? Kalau Anda pernah berbagi rumah dengan lebih dari satu kucing, pasti tahu betul betapa unik dan berbedanya kepribadian mereka.
Satu kucing mungkin mengeong lembut, mendengkur nyaring di pangkuan, atau bahkan ramah menyapa tamu di pintu. Tapi, kucing yang lain? Dia mungkin lebih suka mengamati dengan tenang dari kejauhan, tak banyak suara.
Jadi, mengapa ada kucing yang jadi ‘teman ngobrol’ kita, sementara yang lain lebih memilih ‘diam seribu bahasa’? Apakah ini soal ‘didikan’ atau memang sudah ‘takdir’ dari dalam diri mereka?
Mengutip BBC, sebuah penelitian terbaru yang dipimpin oleh peneliti satwa liar Yume Okamoto dan rekan-rekannya di Universitas Kyoto, Jepang, mencoba membongkar misteri ini. Hasilnya mengejutkan! Sebagian jawabannya ternyata mungkin terkubur jauh di dalam gen kucing!
Membongkar Misteri Lewat Gen AR: Pengaruh Testosteron?
Para peneliti Jepang ini tak main-main. Mereka meminta para pemilik kucing dari seluruh Jepang untuk mengisi kuesioner mendalam tentang hewan peliharaan mereka, yang disebut Feline Behavioural Assessment and Research Questionnaire. Survei itu mencakup berbagai perilaku kucing, termasuk saat mendengkur dan mengeluarkan suara lain yang ditujukan kepada manusia. Ingat, kucing mendengkur atau mengeong bukan cuma saat senang, tapi juga ketika stres atau sakit.
Tak hanya itu, pemilik kucing juga diminta mengambil sampel usap dari pipi hewan peliharaan mereka untuk sampel DNA. Di sinilah kunci jawabannya!
Para peneliti fokus pada gen reseptor androgen (AR) kucing, yang terletak pada kromosom X. Gen ini, yang merupakan bagian penting dari biologi vertebrata, membantu mengatur respons tubuh terhadap hormon seperti testosteron. Bentuk gen AR yang paling kuno bahkan muncul pada nenek moyang semua vertebrata berahang, lebih dari 450 juta tahun yang lalu.
Nah, gen AR ini berisi bagian di mana urutan DNA berulang. Jumlah pengulangan inilah yang menentukan seberapa responsif gen tersebut. Pengulangan urutan yang lebih pendek membuat reseptor lebih sensitif terhadap androgen. Pada spesies lain, termasuk manusia dan anjing, pengulangan yang lebih pendek pada gen AR telah dikaitkan dengan peningkatan agresi dan ekstraversi. Jadi, ada korelasi yang menarik!
Varian Gen AR: Pendengkur Hebat, Vokalis Ulung, hingga Agresif
Hasil penelitian ini makin membuka mata kita. Di antara 280 kucing yang sudah dikebiri, mereka yang memiliki varian gen AR pendek ternyata lebih sering mendengkur. Kucing jantan dengan varian ini juga punya skor lebih tinggi untuk vokalisasi yang ditujukan kepada manusia, seperti mengeong untuk minta makan atau diizinkan keluar. The real chatterbox!
Namun, ada sisi lain. Kucing betina dengan genotipe yang sama, justru menunjukkan perilaku lebih agresif terhadap orang asing. Jadi, tidak selalu positif.
Sementara itu, kucing dengan gen versi yang lebih panjang dan kurang aktif, cenderung lebih pendiam. Menariknya, varian ini lebih umum pada ras kucing murni, yang biasanya dibiakkan untuk sifat jinak.
Domestikasi umumnya dianggap telah meningkatkan perilaku suara pada kucing. Jadi mungkin terasa aneh bahwa versi gen –yang terkait dengan peningkatan komunikasi dan ketegasan– juga ditemukan pada spesies liar seperti lynx.
Domestikasi dan Lingkungan: Bukan Sekadar Penjinakan
Studi ini ternyata tidak menceritakan narasi yang lugas tentang bagaimana domestikasi kucing selalu memilih sifat-sifat yang mudah bersosialisasi. Sebaliknya, ini menunjukkan gambaran yang lebih kompleks. Sifat leluhur tertentu seperti agresi mungkin masih berguna, terutama di lingkungan domestik yang memiliki tingkat stres tinggi atau sumber daya langka.
Beberapa hewan, seperti burung camar kota, menghabiskan banyak waktu di sekitar manusia bukan karena ingin jadi hewan peliharaan, tapi karena tertarik pada sumber daya yang kita miliki. Di kota-kota, camar-camar Herring dan Lesser Black-backed menjadi lebih berani dan agresif.
Para peneliti di Liverpool John Moores University menemukan bahwa burung camar kota kurang takut pada manusia dan lebih cenderung agresif, dibandingkan dengan camar pedesaan. Di daerah perkotaan, di mana makanan sangat diperebutkan, menjadi hewan yang tegas dan sedikit ‘ugal-ugalan’ justru memberikan hasil (makanan) yang instan.
Ini menunjukkan bahwa hidup berdampingan dengan manusia kadang-kadang dapat mendukung perilaku yang lebih konfrontatif, bukan melulu penjinakan.
Jika diparalelkan dengan kucing, hal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana lingkungan dan gen secara kompleks membentuk perilaku hewan. Temuan Okamoto dan rekan-rekannya mungkin mencerminkan adanya pertukaran.
Sifat-sifat yang terkait dengan varian AR pendek, seperti vokalisasi atau ketegasan yang lebih besar, mungkin menawarkan keuntungan dalam mendapatkan perhatian dari manusia, terutama di situasi yang tidak pasti atau kompetitif. Namun, sifat-sifat yang sama ini juga dapat bermanifestasi sebagai agresi, menunjukkan bahwa domestikasi dapat menghasilkan campuran sifat-sifat yang diinginkan dan menantang.
Penting untuk diingat bahwa jenis variasi antara individu ini adalah fundamental bagi evolusi spesies. Tanpa variasi perilaku, spesies akan kesulitan beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Bagi kucing, ini berarti mungkin tidak ada temperamen ideal yang tunggal, melainkan serangkaian sifat yang terbukti berguna dalam kondisi domestik yang berbeda.
Dari kucing hingga camar, hidup berdampingan dengan manusia tidak selalu menghasilkan hewan yang lebih lembut. Terkadang, sedikit dorongan bisa membuahkan hasil. Jadi, jangan heran jika kucing Anda super cerewet, mungkin memang sudah gennya.