Membuncahnya semangat Presiden Prabowo Subianto melakukan efisiensi anggaran di kementerian dan lembaga negara (K/L), langsung patah manakala muncul rencana pengadaan mobil dinas untuk eselon I seharga hampir Rp1 miliar.
“Padahal, kendaraan dinas bukanlah simbol prestise, melainkan hanya sekadar alat kerja. Ketika rakyat diminta menahan diri, membatasi konsumsi dan beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang sulit,” ungkap ekonom sekaligus pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat (ANH), Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Kebijakan ini, kata ANH, seolah menunjukkan bahwa kesederhanaan hanya diwajibkan bagi mereka yang tidak duduk di puncak kekuasaan. “Ini bukan sekadar soal pembelian mobil, melainkan soal kepekaan dan komitmen terhadap etika distribusi anggaran yang berkeadilan,” ungkap.
Kenaikan anggaran pengadaan kendaraan dinas ini, lanjut ANH, mencerminkan betapa birokrasi masih sulit melepaskan diri dari logika privilese.
“Ketika banyak guru di daerah terpencil, mengajar tanpa transportasi layak dan tenaga kesehatan (nakes) menempuh jalan berlumpur untuk melayani warga. Di sisi lain, negara keluarkan hampir Rp1 miliar untuk kenyamanan pejabat, terasa seperti tamparan bagi keadilan sosial,” imbuh ANH.
Negeri ini, kata dia, seharusnya memprioritaskan mobilitas rakyat, bukan mobil mewah bagi segelintir elite. Jika efisiensi adalah jargon, maka seharusnya dimulai dari rem kepada hasrat konsumtif dari kaum birokrasi.
Dikutip dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026 yang diteken Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, pada 14 Mei 2025, dan diundangkan pada 20 Mei 2025, terkuak sejumlah fasilitas mewah untuk pejabat eselon I di K/L.
Beleid bertajuk Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026 itu, mengatur jatah kendaraan dinas untuk eselon I seharga Rp931.648.000. Angka ini naik ketimbang kendaraan dinas eselon I tahun 2024 yang diatur berdasarkan PMK Nomor 39 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2025. Di mana, jatah anggaran kendaraan dinas pejabat eselon I sebesar Rp878.913.000. Atau naik Rp52,735 juta.
“Satuan biaya pengadaan kendaraan dinas merupakan satuan biaya yang digunakan untuk kebutuhan biaya pengadaan kendaraan operasional bagi pejabat, operasional kantor, dan/atau lapangan serta bus melalui pembelian guna menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga,” bunyi bagian penjelasan PMK Nomor 32 Tahun 2025.
Tak hanya harga mobil dinas yang selangit, peraturan anyar itu juga mematok anggaran pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas yang cukup tinggi. Yakni sebesar Rp42.350.000/unit/tahun. Atau lebih dari Rp3,5 juta/unit/bulan.
Anggaran ini ditujukan mempertahankan kendaraan dinas agar tetap dalam kondisi normal dan siap pakai sesuai dengan peruntukannya. Satuan biaya ini sudah termasuk biaya bahan bakar atau pengisian daya untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB).
Meski demikian, anggaran itu tidak mencakup biaya pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang besarannya mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan. “Satuan biaya ini tidak diperuntukkan bagi:
1) kendaraan yang rusak berat yang memerlukan biaya pemeliharaan besar dan untuk selanjutnya harus dihapuskan dari daftar inventaris; dan/atau
2) pemeliharaan kendaraan yang bersifat rekondisi dan/atau overhaul,” bunyi peraturan tersebut.
Beleid ini jelas bertentangan dengan semangat efisiensi anggaran yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan adanya pemangkasan anggaran K/L untuk tahun ini sebesar Rp306 triliun.
Selain itu, kebijakan ini sangat melukai hati rakyat, khususnya mereka yang terkena PHK sebagai dampak melambatnya perekonomian nasional. Karena menganggur, mereka terpaksa hidup serba kekurangan, di sisi lain banyak pejabat negara malah bergelimang kemewahan. Fasilitas negara yang berasal dari keringat rakyat.