Pembatalan mutasi bagi Letjen Kunto Arief Wibowo (Akmil 1992) telah menjadi berita besar, yakni ketika Letjen Kunto dikembalikan pada posisi semula, selaku Pangkogabwilhan I. Publik sempat heboh, bagaimana bisa terjadi kealpaan pada posisi sestrategis itu (bintang tiga), level jabatan yang digambarkan tinggal selangkah lagi menuju KSAD, atau Kepala Staf bagi matra yang lain.
Selama ini memang sudah ada pemahaman, bahwa promosi dan mutasi jabatan perwira tinggi sarat muatan politis, artinya harus ada yang merekomendasikan atau meng-endorse, selain performa perwira itu sendiri. Namun kasus yang terjadi pada Letjen Kunto, aspek politisnya terlalu gamblang. Mutasi dan pembatalan mutasi bagi Letjen Kunto sangat kental nuansa politisnya, ketika Panglima TNI seolah-olah “mendua” antara Presiden Prabowo (selaku Panglima Tertinggi TNI) dan Joko Widodo (mantan Presiden). Artinya, Skep (surat keputusan) sebelumnya, yang menggeser Kunto dari posisi Pangkogabwilhan, kuat dugaan adalah hasil lobi politik tingkat tinggi Jokowi.
Apa yang terjadi pada Letjen Kunto tidak bisa dipisahkan dari tindakan Jenderal Purn Try Sutrisno (ayah Letjen Kunto), ketika ikut meneken petisi aspirasi purnawirawan TNI beberapa waktu lalu, yang salah satu tuntutannya adalah memakzulkan Wapres Gibran. Hubungan Try Sutrisno dan Jokowi tampaknya kurang mulus, bila kita mengingat kembali apa yang terjadi pada saat peringatan Hari TNI akhir tahun lalu, ketika Jokowi (saat itu masih presiden) tampak jelas melewati Pak Try yang duduk di kursi naratama, bahwa Jokowi dengan sengaja tidak ingin menyalami Pak Try.
Dalam momen sepenting itu, ketika publik di pelosok negeri bisa menyaksikan langsung, bagaimana mungkin bisa terjadi “kesalahan protokoler” seperti itu, dan tindakan Jokowi itu tidak bisa tidak telah menjatuhkan martabat Try Sutrisno, baik selaku sesepuh TNI dan mantan Wapres. Salah satu spekulasi yang kemudian muncul adalah, dalam pandangan Jokowi, Pak Try dianggap memiliki hubungan dekat dengan Megawati.
Berbeda secara diametral, Prabowo dikenal sangat respek pada Pak Try, baik selaku senior di TNI, maupun secara pribadi. Pak Try dan Prabowo di masa lalu, secara bersama-sama sempat masuk lingkaran dalam Keluarga Cendana (kode untuk menyebut Soeharto). Dengan argumentasi seperti itu, bisa dipahami bila Prabowo (selaku Pangti TNI) turun tangan langsung untuk menyelamatkan karier Letjen Kunto, anak Pak Try.
Segera promosikan Bambang Trisnohadi
Sudah menjadi tradisi dalam politik kita, ketika presiden baru resmi berkuasa, akan diikuti dengan penyegaran pimpinan TNI. Seperti yang dulu pernah dilakukan SBY saat baru berkuasa, yang segera mengganti posisi KSAD, dari Jenderal Ryamizard (Akmil 1974) ke Jenderal Djoko Santoso (Akmil 1975), yang kemudian disusul dengan pengangkatan Panglima TNI baru atas nama Marsekal Djoko Suyanto (AAU 1973).
Presiden dan pimpinan TNI biasanya satu paket, hubungannya harus firm (baca: harmonis). Kita bisa melihat langkah SBY, yang segera memberhentikan Ryamizard (sebagai KSAD), sementara SBY dan Ryamizard adalah teman sekelas di Akmil, yakni sama-sama masuk tahun 1970, namun faktor teman sekelas di Akmil, ternyata bukan jaminan kedekatan, mengingat secara politik Ryamizard terafiliasi pada Megawati (presiden sebelumnya). SBY merasa lebih firm dengan Djoko Santoso, yang sudah sama-sama berdinas sejak masih di pasukan (Kostrad), dan terus bersama sampai SBY menjabat Kassospol ABRI (posisi ini sudah dilikuidasi).
Demikian pula dengan Prabowo sekarang, yang sudah sekitar setengah tahun berkuasa, artinya waktu untuk transisional sudah lebih dari cukup, dan kini adalah saatnya konsolidasi. Prabowo bisa merujuk pada SBY, yang segera mengganti (setidaknya) KSAD, mengingat KSAD dan Panglima TNI adalah warisan dari rezim sebelumnya.
Bila kita ingat kembali kebiasaan Prabowo yang selalu berpikir unik (out of the box) sejak masih aktif di militer dulu. Dalam konteks ini adalah, untuk posisi KSAD, tidak harus diambil dari Pangkostrad atau Wakil KSAD, sebagaimana ditradisikan selama ini. Dalam bayangan Prabowo, posisi Pangkogabwilhan juga bisa menjadi sumber rekrutmen calon KSAD.
Pemikiran out of the box versi Prabowo juga tercermin dalam menentukan perwira tinggi untuk posisi Pangkogabwilhan I, yang selama ini seolah-olah sudah ditradisikan dipegang perwira tinggi matra laut. Ternyata Prabowo lebih memilih pati matra darat, yakni Mayjen Kunto Arief Wibowo (Akmil 1992), yang resmi menjabat sejak awal Januari lalu. Dalam jabatan yang baru, pangkat Kunto telah naik menjadi letjen, tentu promosi ini sebuah kabar baik, setelah karier Kunto sempat hampir setahun suram. Dan itu pun Kunto hampir saja terpinggirkan kembali.
Lalu siapa kira-kira KSAD (baru) pilihan Prabowo? Jenderal Maruli Simanjuntak (Akmil 1992), KSAD saat ini, adalah pilihan Presiden Jokowi, yang belum tentu selaras dengan Prabowo. Tampaknya Prabowo sudah menyiapkan calonnya sendiri, jika tiba saatnya Maruli untuk diganti. Salah satu nama yang bisa diajukan adalah Letjen TNI Bambang Trisnohadi (lulusan terbaik Akmil 1993), yang saat ini masih dalam posisi sebagai Pangkogabwilhan III.
Antara Prabowo dan Bambang Trisnohadi sempat bertugas secara bersamaan di Kopassus, kendati dalam durasi yang singkat. Saat Bambang Trisnohadi baru bergabung di Kopassus, Prabowo sudah masuk dalam level pimpinan, yakni sebagai Komandan Grup 3 (di masa lalu membawahi bidang pendidikan) dan Wakil Danjen Kopassus. Itu sebabnya, nama Bambang Trisnohadi selalu masuk dalam “radar” Prabowo.
Kolega Bambang Trisnohadi sesama lulusan Akmil 1993 dan juga Kopassus, seperti Letjen M Fadjar (Pangkostrad), Letjen Rui Fernando Palmeiras Duarte (Irjen Kemenhan), dan Mayjen Ujang Darwis (Pangdam II/Sriwijaya), diketahui juga sangat dekat dengan Prabowo. Selain langsung di bawah supervisi Prabowo dalam pendidikan komando (angkatan 65 dan angkatan 66), hingga sampai terakhir pernah membantu Prabowo, saat masih sama-sama berkantor di Kemenhan.
Nama-nama yang disebut terakhir inilah, yang kiranya bisa membantu Prabowo secara penuh, tegak lurus, dan powerful. Kesalahan administratif baru-baru ini bisa dibaca sebagai kode keras untuk peremajaan pimpinan TNI. Bangsa kita adalah bangsa pemaaf, kalau di negara lain (semisal Jepang), pimpinan yang melakukan kesalahan akan mengajukan surat pengunduran diri, sementara di negara kita masih ditolerir.
Aspirasi purnawirawan
Ada lima perwira tinggi (bintang empat) yang dikedepankan dalam petisi dimaksud di atas, yang dari matra darat, selain Try Sutrisno adalah Tyasno Sudarto (Akmil 1970, mantan KSAD) dan Fachrul Razi (Akmil 1970, mantan Wakil Panglima TNI). Berdasarkan profiling yang tersedia, tentu Try yang paling kuat figurnya, karena kariernya di masa lalu sangat mulus. Sangat berbeda misalnya dengan Tyasno, yang manuvernya terlalu banyak, namun praktis tidak menghasilkan apa-apa, semisal menempatkan Tyasno sebagai menteri atau komisaris BUMN premium. Perjalanan politik Tyasno sudah pantas disebut tragedi seorang jenderal.
Keterlibatan purnawirawan dalam ranah politik praktis sudah seumur dengan usia republik, jadi tidak perlu dipersoalkan lagi. Pada zaman yang semakin demokratis, siapa pun boleh menyampaikan pendapat. Namun khusus bagi purnawirawan pati, seolah memang ada sedikit privilese, sebagai warisan politik era Orde Baru.
Di negeri kita, perwira tinggi adalah warga kelas satu, di mana-mana selalu mendapat penghormatan, dan status itu terus berlanjut ketika sang jenderal pensiun. Purnawirawan pati biasa berkumpul di tempat-tempat spesial, yang tidak mudah diakses sembarang orang, seperti lapangan golf, club eksklusif, restoran kelas atas, dan seterusnya.
Dari segi usia dan energi, para purnawirawan juga masih memadai. Kita bisa melihat pada sejumlah purnawirawan yang masih aktif di ruang publik, usianya sudah mendekati 80 tahun, namun tetap memiliki passion untuk terus berkuasa, seperti Hendro Priyono (Akmil 1967), Wiranto (Akmil 1968) dan Luhut Panjaitan (Akmil 1970). Jadi kita bisa membayangkan, purnawirawan zaman now, yang usianya kisaran 60 tahun (generasi Gatot Nurmantyo dan Andika Perkasa), tentu aspirasi politiknya lebih kuat lagi, mengingat usia dan stamina masih mendukung. Oleh karenanya perlu ada ruang ekspresi bagi purnawirawan yang tidak terangkut dalam gerbong kekuasaan.
Ikhtiar purnawirawan dalam memakzulkan Gibran, kecil kemungkinan akan berhasil, namun setidaknya ada pelajaran yang bisa dipetik. Perjuangan masih panjang, segala upaya purnawirawan telah memberi pembelajaran, bahwa perjuangan di ranah sipil memiliki logika sendiri. Berbeda dengan dunia militer, masyarakat sipil tidak bisa dimobilisasi melalui sistem komando, berjuang bersama masyarakat sipil baru bisa dijalankan bila ada sarana dan logistik pendukung.