Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH, MH, mengingatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) jangan sampai diintervensi kepentingan politik dalam proses penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi (TPK) pengadaan laptop Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek tahun 2019–2022.
Suparji menegaskan, penanganan perkara ini harus independen dan terbebas dari campur tangan pihak luar. Menurutnya, proses hukum harus berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.
“Harapannya bahwa ini diproses sesuai mekanisme berlaku, sampai tuntas, tegas kan. Dan kemudian membuat terang-terang perkara ini dan tidak ada hal-hal di luar hukum. Kemudian harus independen, harus ekstra,” ujar Suparji ketika dihubungi Inilah.com, Senin (28/7/2025).
Ia bilang, Kejagung harus segera menetapkan pihak-pihak yang terlibat sebagai tersangka jika telah memiliki dua alat bukti yang cukup. Penegakan hukum, kata dia, tidak boleh tebang pilih.
“Harus independen lah bahwa tidak ada terbang pilih, tidak ada apa namanya, tidak ada diskriminasi yang mulai diperlakukan. Sama kan, kalau memang ada unsur, ada alat bukti maka ya, diproses sesuai hukum yang berlaku,” kata Suparji.
Suparji menambahkan, penuntasan kasus menjadi momentum penting untuk memperbaiki tata kelola sistem pendidikan di Indonesia demi kepentingan masyarakat luas.
“Sehingga ini menjadi dalam pelayanan pada masyarakat, apalagi pendidikan harus betul-betul kepentingan masyarakat rakyat kepentingan pendidikan khususnya. Tidak boleh ada penyimpangan-penyimpangan,” ucapnya.
Terkait tak kunjung ditersangkakannya eks Mendikbudristek Nadiem Makarim, disebutnya sebagai salah satu strategi dan kehati-hatian belaka. Meski belum terendus indikasi intervensi politik, tapi Suparji tetap mengingatkan Kejagung untuk waspadai, jika sampai tebang pilih bisa memicu gejolak publik.
“Belum berlarut-larut, masih hitungan bulan. Coba bandingkan dengan kejahatan penetapan yang lain dan lebih lama. Dan yang kedua bahwa pemanggilan jumlah saksi yang banyak pada alat bukti yang lain itu tidak serta-merta sebuah pembuktian yang campuran dalam konteks penetapan tersangka itu. Tapi itu masih butuh proses lah,” jelasnya.
Menurut Suparji, ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk menilai apakah sebuah kasus telah dipolitisasi atau tidak. Salah satunya adalah adanya peran kekuatan politik yang mendorong perkara ke arah tertentu.
“Unsur politis itu kan bagaimana ada kekuatan politik yang berperan kan gitu. Bisa dalam bentuk intervensi kan, dalam bentuk mempengaruhi kan, mempengaruhi dalam arti untuk menghentikan satu perkara kan itu. Atau untuk melokalisir satu perkara untuk nama-nama tertentu, nama-nama yang ga tersentuh gitu kan. Atau ada intervensi untuk melakukan pilihan dakwaan atau sangkaan gitu ya,” paparnya
“Jadi intinya adalah adanya satu intervensi dari kekuasaan. Intervensi dari kekuatan politik yang kemudian menyebabkan perkara tidak berjalan apa adanya gitu,” sambungnya.
Asal tahu saja, hingga kini Kejagung tak kunjung menetapkan Nadiem sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan laptop Chromebook tahun anggaran 2019–2022. Padahal yang bersangkutan sudah dua kali jalani pemeriksaan secara maraton.
Pada Selasa (15/7/2025), Nadiem diperiksa selama 9 jam. Sebelumnya, ia juga telah menjalani pemeriksaan perdana pada Senin (23/6/2025), dengan 31 pertanyaan selama hampir 12 jam. Penyidik beralasan menilai masih perlu melakukan pendalaman alat bukti sebelum menaikkan status Nadiem dari saksi menjadi tersangka.
“Kenapa tadi NAM sudah diperiksa mulai pagi sampai malam kemudian hari ini belum ditetapkan sebagai tersangka? Karena berdasarkan kesimpulan penyidik masih perlu pendalaman alat bukti,” kata eks Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, kepada awak media di depan Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (15/7/2025).
Qohar menegaskan bahwa penyidikan kasus ini akan terus dikembangkan dan tidak berhenti pada empat tersangka awal yang telah ditetapkan.
“Untuk itu teman-teman (media) nggak usah khawatir. Beberapa kegiatan atau kasus yang kita tangani tidak berhenti sampai di tahap pertama, tapi ada kedua dan seterusnya. Sabar ya, sabar. Karena bicara hukum, bicara alat bukti,” tutur Qohar.
Hingga Selasa (15/7/2025), penyidik telah menetapkan empat tersangka, yaitu:
1. Jurist Tan (JT)
Mantan Staf Khusus Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim.
2. Ibrahim Arief (IBAM)
Mantan Konsultan Teknologi di Warung Teknologi Kemendikbudristek.
3. Sri Wahyuningsih (SW)
Mantan Direktur Sekolah Dasar Ditjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen Kemendikbudristek; sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Direktorat SD Tahun Anggaran 2020–2021.
4. Mulyatsyah (MUL)
Mantan Direktur Sekolah Menengah Pertama Ditjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen Kemendikbudristek; sekaligus KPA Direktorat SMP Tahun Anggaran 2020–2021.
Dalam konstruksi perkara, keterlibatan Nadiem bermula sejak sebelum ia menjabat sebagai menteri. Pada Agustus 2019, bersama Jurist Tan dan Fiona Handayani (FN), Nadiem membentuk grup WhatsApp Mas Menteri Core Team yang merancang program digitalisasi pendidikan berbasis ChromeOS.
Setelah dilantik sebagai menteri pada Oktober 2019, Nadiem memerintahkan Jurist Tan untuk menindaklanjuti proyek tersebut. Jurist Tan lalu menjalin komunikasi dengan pihak Google, yakni WKM dan Putri Ratu Alam (PRA), membahas skema co-investment sebesar 30 persen dari pihak Google, dengan syarat seluruh pengadaan TIK menggunakan ChromeOS.
Jurist Tan menunjuk Ibrahim Arief sebagai konsultan teknologi yang sejak awal mendorong agar tim teknis mengarah pada produk Google. Ibrahim bahkan menolak hasil kajian teknis awal karena belum mencantumkan ChromeOS, lalu menyusun ulang kajian baru yang dijadikan dasar pengadaan.
Pada April 2020, Nadiem, Jurist Tan, dan Ibrahim Arief bertemu langsung dengan pihak Google untuk menyusun strategi penggunaan Chromebook dan Workspace. Kajian teknis kemudian disusun agar tampak seolah-olah ilmiah, padahal arahnya telah ditentukan sejak awal.
Dalam pelaksanaannya, Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah mengarahkan pengadaan kepada vendor tertentu. Salah satunya PT Bhinneka Mentari Dimensi, yang dilibatkan langsung dalam proses pemesanan unit Chromebook pada malam hari, 30 Juni 2020, di Hotel Arosa, Bintaro.
Keduanya juga memerintahkan PPK agar segera mengeksekusi pesanan sesuai arahan menteri. Petunjuk pelaksanaan pun disusun dengan mengunci spesifikasi hanya pada produk berbasis ChromeOS, dengan paket harga per sekolah senilai Rp88,25 juta untuk 15 unit laptop dan satu konektor.
Akibat rekayasa sistemik tersebut, Kejaksaan mencatat kerugian negara mencapai Rp1,98 triliun. Angka ini terdiri atas mark-up harga laptop sebesar Rp1,5 triliun dan perangkat lunak Chrome Device Management (CDM) senilai Rp480 miliar.
Sebanyak 1,2 juta unit Chromebook senilai total Rp9,3 triliun tidak optimal digunakan, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), akibat keterbatasan sistem operasi ChromeOS. Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.