Dalam menjalankan program ini, KemenkumHAM bekerja sama dengan dua vendor, PT Doku Nusa Inti Arta dan Finnet Indonesia. Selama program ini berjalan, ada uang sebesar Rp 32 miliar yang tidak disetor ke negara
Siang itu selepas jumpa pers di Polda Metro Jaya, Kabid Humas Kombes Ade Ary Syam Indradi masih menyempatkan waktu untuk sekedar bercengkrama dan meladeni pertanyaan wartawan seputar pelbagai kasus.
Dari banyaknya pertanyaan yang dilontarkan seketika ada yang menarik, “Pak Ary bagaimana kelanjutan kasus korupsi payment gateway ?”.
Bagi sebagian orang mungkin kasus korupsi payment gateway terdengar asing, apalagi ditengah hingar bingar kasus korupsi besar yang kini sedang ditangani para penegak hukum. Wajar saja, sebab kasus ini sudah berumur 10 tahun alias satu dekade sejak mencuat 2015 lalu.
Kasus ini memang tak beda jauh dengan perkara kebanyakan, seperti melibatkan pejabat tinggi, maupun nilai kerugian negara yang fantastis. Yang membedakan kasus ini dari kebanyakan yakni keterlibatan Denny Indrayana, yang ketika itu menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Kenapa menjadi menarik, sebab dibawah tahun 2015 publik mengenal sosok Denny Indrayana sebagai aktivis anti korupsi. Anomali? Sudah pasti. Bagaimana kemudian seorang yang biasa teriak mengharamkan korupsi malah tercebur menjadi pesakitan.
Seluk Beluk Perkara
Semua bermula Juli 2014 saat KemenkumHAM menerbitkan Payment gateway, sebagai layanan jasa elektronik penerbitan paspor. Belum lama diluncurkan, Kementerian Keuangan merespons layanan tersebut belum berizin.
Tak berselang lama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat melakukan pemeriksaan terhadap kinerja atas efektifitas pelayanan paspor di Kemenkumham periode 2013 dan semeter I tahun 2014, menemukan adanya keganjilan dari mekanisme payment gateway.
BPK menemukan adanya persoalan dalam perubahan mekanisme pembayaran berupa pembayaran elektronik dengan payment gateway. Antara lain, implementasi payment gateway mengabaikan resiko hukum.
Mulai tender pemilihan vendor dilakukan pada saat tim E-Kemenkumham belum memiliki kewenangan. Selain itu, rekening bank penampung hasil payment gateway yang masuk kategori Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak memiliki izin dari Menteri Keuangan.
Anggota BPK Moermahadi Soerja Djanegara ketika itu mengatakan, belum adanya kewenangan tim E-Kemenkumham melakukan tender menjadi salah satu tindakan yang beresiko. Pasalnya belum adanya pendelegasian kewenangan dari negara. Kedua, penyetoran pendapatan hasil payment gateway mestinya disetorkan ke bank persepsi. Sayangnya hal itu tidak tidak dilakukan.
Keganjilan dalam payment gateway itu juga dibenarkan mantan Menteri Hukum dan HAN Amir Syamsuddin.

Amir dalam sebuah wawancara dengan media, blak-blakan mengungkap Denny Indrayana memprakarsai program bermasalah itu. Pada Juni 2014, sebut Amir, Denny menemui dirinya dengan memaparkan payment gateway beserta video pengakuan dari orang-orang dengan track record baik soal kelebihan dan kemudahan payment gateway untuk mengurus paspor.
Saat ditunjukkan konsep payment gateway, Amir mengaku memberikan beberapa catatan, antara lain tidak boleh ada monopoli di dalamnya. Ada alternatif lain dalam pengurusan paspor, termasuk masih memberikan tempat soal pengurusan secara manual.
“Termasuk juga pengurusan dengan cara lainnya,” ujarnya.
Agar payment gateway itu bisa resmi digunakan, Amir menyebut diperlukan peraturan menteri (permen). Pada 7 Juli 2014, Denny menyodorkan draf Permenkumham soal payment gateway. “Denny bilang, harmonisasi dengan aturan-aturan lain sudah dilakukan,” ujar Amir. Harmonisasi itu, sebut Amir, melibatkan Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dirjen Anggaran Departemen Keuangan.
Pada 11 Juli 2014, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengirimkan surat ke Kemenkumham bahwa program ini belum mendapatkan izin karena masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Atas dasar surat itu, maka Amir mengaku menghentikan program itu secara resmi pada saat menerima surat dari Kemenkeu. “Tapi secara praktik di lapangan, baru berhenti pada Oktober,” kata dia.
Diketahui peraturan Menteri Keuangan melarang pungutan tambahan untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sementara program yang dibuat untuk melayani penerbitan paspor ini mengharuskan wajib bayar mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 5.000.
Selain itu, berdasarkan penjelasaan Bareskrim Polri saat menetapkan Denny Indrayana sebagai tersangka 25 Maret 2015, disebutkan bahwa jajaran KemenkumHAM sudah mengingatkan agar program Payment Gateway tidak dijalankan. Sebab, KemenkumHAM ketika itu juga sudah mempunyai program serupa dalam pembuatan paspor elektronik yang diberi nama Simponi. Bahkan, Simponi jauh lebih baik ketimbang Payment Gateway.
“Program Payment Gateway kurang menguntungkan karena ada pungutan biaya,” ujar ujar Kadiv Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Anton Charliyandi, saat mengumumkan penetapan Denny Indrayana sebagai Tersangka.
Simponi, ucap Anton, tidak memberikan pungutan kepada pembuat paspor. “Simponi, menurut keterangan para saksi, jauh lebih simpel.”
Program Payment Gateway dijalankan dari Juli-Oktober 2014. Dalam menjalankan program ini, KemenkumHAM bekerja sama dengan dua vendor, PT Doku Nusa Inti Arta dan Finnet Indonesia. Selama program ini berjalan, ada uang sebesar Rp 32 miliar yang tidak disetor ke negara dan kelebihan pungutan sekitar Rp 605 juta justru masuk ke kedua vendor tersebut.
“Di kasus ini, pembukaan rekening atas nama kedua vendor. Ini sudah menyalahi aturan karena seharusnya uang langsung masuk ke bendahara negara,” ucap Anton.
Berdasarkan aturan, pemerintah mengharuskan aliran dana langsung disetorkan ke kas negara. Bank yang menjadi penampung dana pun mesti ditunjuk oleh menteri keuangan bukan pihak perusahaan rekanan.
Merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.04/2006, bank persepsi adalah bank umum yang ditunjuk untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri dan penerimaan bukan pajak. Bank tersebut semestinya ditunjuk menteri keuangan.
Hal tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang menyatakan seluruh penerimaan negara bukan pajak wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara.
Pelanggaran-pelanggaran itulah yang kemudian dijadikan dasar pihak kepolisian menetapkan Denny sebagai tersangka.

Denny dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.
“Peran DI yang menyuruh melakukan program Payment Gateway dan memfasilitasi vendor sehingga proyek ini terlaksana,” kata Anton.
Yang masih menjadi tanda tanya adalah mengapa Denny bersikeras walau dia sudah mengetahui bahwa program ini tidak berkesesuaian dengan peraturan yang ada, dan tidak mempunyai payung hukum yang jelas. Inilah.com sudah mengirimkan surat resmi melalui pesan singkat Whatsapp untuk mengkonfirmasi perihal kasus ini, namun Denny memilih untuk tidak berkomentar.
Digugat Dua Kali
Selain teka-teki mengapa Denny memaksakan bergulirnya payment gateway, juga terdapat kotak pandora lain yakni, mengapa kasus ini tak kunjung bergulir di pengadilan? Padahal saat penetapan tersangka, pihak kepolisian mengaku sudah memeriksa 21 saksi serta sejumlah dokumen, artinya sudah ditemukan cukup bukti untuk mendudukan Denny ke kursi pesakitan.
Kembali ke Kabid Humas Polda Metro Jaya Ade Ary yang ditanyakan perihal kelanjutan kasus itu, meminta waktu untuk menjawab.”Belum Ada jawabannya, mohon waktu ya,”.
Memang sejak 2018 kasus itu dilimpahkan Bareskrim ke Polda Metro Jaya. Sejak itu pula kasus ini tidak jelas rimbanya. Ketidakjelasan itu yang kemudian membuat perkara ini sempat dua kali digugat ke pengadilan.
Pertama oleh pengacara kondang Oce Kaligis pada 2019 yang menggugat Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya. Oce menilai kasus penetapan tersangka Denny yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan, seharusnya lanjut ke pengadilan.
“Supaya tidak berlarut-berlarut dan tidak saling mencurigai hendaknya segera ada kepastian hukum. Apalagi Denny itu kan katanya aktivis antikorupsi,” kata Oce Kaligis ketika itu.
Dalam repliknya, Oce menyebut bahwa berkas perkara payment telah lengkap dari polisi dan dilimpahkan ke kejaksaan sesuai Pasal 138 KUHAP. Kemudian berkas tersebut pasti mendapat petunjuk dari kejaksaan bilamana dianggap kurang untuk melengkapi.
Namun, menurut Kaligis, penyelesaian berkas perkara itu tidak transparan dan tidak ada kejelasan.
“Apakah dipetieskan? Kalau memang berkas perkara dipetieskan oleh tergugat, maka penuntut umum akan mengirimkan formulir P. 20 A,” kata Kaligis.
Gugatan kedua dilayangkan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, 11 November 2024.
Gugatan yang teregister dengan nomor perkara 115/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL ini dilayangkan lantaran ketiga lembaga penegak hukum yakni, Kabareskrim Polri, Dirreskrimsus Polda Metro Jaya dan Kajati Jakarta, dinilai menghentikan penyidikan Denny Indrayana.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman yang dikonfirmasi Inilah.com, masih menaruh harap agar perkara ini segera dibawa ke pengadilan.”Ini kok malah jadi lempar-lemparan antara Bareskrim dan Polda Metro Jaya,” kata dia.
“Apapun alasannya demi kepastian hukum dan keadilan baik bagi negara maupun bagi Denny Indrayana maka perkara tindak pidana korupsi payment gateway itu harus dinaikkan ke tahap penuntutan di pengadilan tipikor,” ujar Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho, kepada Inilah.com.
Bisa Diambil Alih KPK
Atas berlarut-larutnya kasus ini kemudian dorongan agar dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguat. Salah satunya datang dari Anggota Komisi III DPR Hasbiallah Ilyas.
Menurutnya sudah menjadi kewajiban bagi KPK untuk mengambil alih kasus ini, apalagi dengan kenyataan bahwa kasus ini sudah mengkrak selama 10 tahun.
“Pertanyaannya mengapa berhenti dan tidak dibawa ke pengadilan? Apakah ada hambatan politik atau hambatan lainnya? Ini yang perlu diperjelas,” kata Hasbi kepada Inilah.com.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi III DPR Abdullah. Ia mendorong Polri dapat memberikan penjelasan kepada publik, terkait mangkraknya kasus ini secara transparan dan akuntabel.
“Berkoordinasi dengan KPK dan Kejaksaan untuk penanganannya. Hal ini yang belum dilakukan atau dimaksimalkan hingga sekarang, dan akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan, asumsi dan kritikan,” kata dia.
Kewajiban KPK mengambil alih kasus korupsi mandek tertuang dalam Pasal 10A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Aturan itu memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan kasus tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan.
Pengambilalihan dapat dilakukan jika terdapat alasan-alasan tertentu, seperti laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti, proses penanganan yang tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, atau indikasi adanya perlindungan terhadap pelaku korupsi.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang dikonfirmasi Inilah.com membenarkan bisanya kasus korupsi, termasuk payment gateway diambil alih, dengan catatan berdasarkan keputusan pimpinan yang bersifat kolektif kolegial.
KPK, dikatakan Tanak harus lebih dahulu koordinasi dengan pihak terkait, dalam hal ini Polda Metro Jaya.
(Nebby/Clara/Rizki)