Narasi LSM Asing: Nasionalisme Sejati atau Strategi Populis?

Narasi LSM Asing: Nasionalisme Sejati atau Strategi Populis?


Apakah setiap kritik terhadap pemerintah kini langsung dicap sebagai pengkhianatan bangsa? Ataukah kita sedang menyaksikan pola komunikasi politik populis yang telah terbaca sejak 2014?

Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila, Presiden Prabowo menyampaikan pernyataan kontroversial yang memicu diskursus publik. Dalam kesempatan tersebut, ia menyebutkan bahwa pihak asing telah mendanai lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengadu domba dan memecah belah bangsa. Presiden Prabowo juga mengklaim telah mengantongi daftar LSM yang didanai asing dengan tujuan serupa.

“Ratusan tahun mereka adu domba kita sampai sekarang, dengan uang. Mereka membiayai LSM-LSM untuk mengadu domba kita. Mereka katanya penegak demokrasi, HAM, kebebasan pers. Padahal itu adalah versi mereka sendiri,” Ujar Prabowo Subianto dalam pidatonya di Halaman Kementrian Luar Negeri

Narasi tersebut disampaikan saat peringatan Hari Lahir Pancasila. Gaya komunikasi ini mungkin bertujuan menonjolkan sisi nasionalisme Prabowo, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi ciri khas atau produk branding kepemimpinannya. Namun, sebenarnya, gaya komunikasi ini mencerminkan karakteristik populisme. Meskipun belakangan Dedi Mulyadi kerap dicap sebagai populis, gaya komunikasi Presiden Prabowo sebenarnya lebih dekat dengan pola populisme.

Jan-Werner Müller dalam bukunya, What is Populism, menyebutkan parameter sederhana untuk mengidentifikasi seorang pemimpin populis. Pertama, dalam komunikasi politiknya, seorang populis menciptakan polarisasi antara “kita” dan “yang lain” (the others), yang dinarasikan sebagai musuh bersama yang membawa dampak buruk bagi bangsa. Selain itu, seorang populis berusaha merepresentasikan masyarakat secara luas, disertai polarisasi yang menciptakan kultur politik berbasis emosi dan ketidaksukaan terhadap satu pihak. Dalam politik global, populisme sering tampak dalam ideologi kanan radikal, misalnya di Eropa, yang mempolitisasi imigran dan kelompok minoritas Muslim sebagai “yang lain” yang merusak negara.

Dalam konteks Presiden Prabowo, komunikasi politiknya sejak pemilu 2014–2019 cenderung populis. Ia kerap menekankan pihak asing sebagai ancaman utama bangsa. Penelitian Michael Hatherell dan Alistair Welsh menyebutkan bahwa pada pemilu 2014, dibandingkan Jokowi, Prabowo lebih konsisten menggunakan isu asing sebagai alat insentif elektoral untuk menciptakan polarisasi dan membentuk perilaku pemilih yang irasional berbasis emosi.

Sejak 2014, Prabowo Subianto konsisten menggunakan gaya komunikasi populis yang berakar pada narasi krisis dan penciptaan musuh bersama. Salah satu narasi kuncinya adalah “kebocoran kekayaan nasional,” yang menyiratkan bahwa kekayaan dan sumber daya alam Indonesia mengalir ke luar negeri karena kelengahan atau kelemahan elite domestik. Dalam logika populisme, krisis ini dihubungkan dengan dua “musuh”: pihak asing yang disebut merampok kekayaan Indonesia dan elite lokal yang dianggap lemah atau kompromistis.

Strategi ini memperkuat citranya sebagai “pemimpin kuat” yang dibutuhkan untuk menyelamatkan rakyat dari ancaman luar dan dalam negeri. Dengan simbolisme militer, retorika tegas, dan kecenderungan menyederhanakan masalah kompleks menjadi narasi emosional, Prabowo menampilkan dirinya sebagai solusi tunggal atas “kehancuran nasional” yang didramatisasi. Ia bahkan pernah mengutip novel fiksi Ghost Fleet untuk menyebut bahwa Indonesia bisa bubar pada 2030. Namun, Cas Mudde menjelaskan bahwa populisme cenderung memberikan representasi semu, di mana seorang pemimpin populis menjabarkan krisis dan musuh bersama sebagai “yang lain,” lalu memposisikan dirinya sebagai solusi utama.

Pidato Prabowo pada 1 Juni 2025 berpotensi menempatkan LSM sebagai “yang lain” baru. Padahal, LSM dan kelompok masyarakat sipil selama ini memainkan peran penting sebagai pengawas publik (public watchdog) untuk mengkritik program pemerintah yang terlalu elitis atau tidak sesuai dengan kaidah demokrasi deliberatif.

LSM Sebagai Subtitusi Oposisi yang Melemah

Presiden Prabowo tidak perlu khawatir terhadap kritik dari lembaga masyarakat sipil terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng dari rasionalitas. Menguatnya LSM atau kelompok masyarakat sipil dalam menekan kebijakan pemerintah muncul akibat lemahnya oposisi di parlemen. Saat ini, hanya PDI Perjuangan yang berada di barisan oposisi, itupun cenderung ambigu karena adanya isu rekonsiliasi antara Prabowo dan Megawati. Kondisi ini menciptakan urgensi bagi masyarakat sipil untuk membentuk kekuatan oposisi ekstraparlementer yang kritis demi mencegah pemerintah bertindak sewenang-wenang dalam kebijakan publik.

Kritik bukanlah upaya memecah belah. Dalam demokrasi yang sehat, kritik diperlukan sebagai pengingat dan pengontrol kekuasaan yang cenderung korup. Hal ini sejalan dengan adagium Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely,” serta konsep check and balances yang kini terancam akibat lemahnya oposisi parlemen, sehingga melemahkan kontrol politik institusional.

Refleksi atas Pidato Presiden Prabowo

Pernyataan Presiden Prabowo dalam peringatan Hari Lahir Pancasila dapat dibaca sebagai upaya mempertegas posisi nasionalismenya. Namun, ketika nasionalisme disampaikan dengan menyasar pihak-pihak yang berperan sebagai pengawas publik seperti LSM, hal ini justru menyempitkan ruang sipil, bukan memperkuat demokrasi. Tuduhan bahwa LSM adalah agen asing pemecah bangsa, tanpa data yang transparan, berisiko memperkuat stigma bahwa kritik adalah pengkhianatan.

Dalam negara demokratis, suara kritis justru menjadi mekanisme penting untuk mencegah kekuasaan bertindak sewenang-wenang. Ketika oposisi parlemen melemah dan sebagian besar partai bergabung dalam koalisi besar, masyarakat sipil, termasuk LSM, menjadi benteng terakhir check and balances di Indonesia.

Pidato Prabowo kali ini sarat dengan pesan simbolik. Namun, simbolisme tanpa kejelasan arah dapat menjadi bumerang. Jika narasi seperti ini terus dilanggengkan, kita perlu bertanya: ke mana arah demokrasi Indonesia? Apakah kritik masih diperbolehkan? Ataukah kita sedang melangkah ke era ketika nasionalisme dijadikan alat pembungkam, bukan pemersatu?

Komentar