Sinergi luar biasa terjalin antara PT Summarecon Agung Tbk dan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Dalam rangka perayaan setengah abad Summarecon, mereka menggelar bedah 500 rumah dan renovasi sekolah di Kabupaten dan Kota Bekasi. Wajah haru dan senyum tulus terpancar dari warga yang kini memiliki hunian layak.
Namun, di balik suasana sukacita itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi justru melontarkan ‘tamparan’ keras. Ia menyindir pemerintah yang, menurutnya, belum hadir secara optimal bagi rakyat.
“Negara sudah pungut pajak, tapi kok bangun rumah dan sekolah masih harus oleh pengusaha? Ini bukti bahwa negara belum hadir menyelesaikan masalah mendasar warga,” tegas Dedi dalam sambutannya.
Ironi di Tengah Kota
Dedi Mulyadi menyoroti ironi yang terjadi di Jawa Barat. Ia menemukan fakta, masih banyak sekolah dasar tanpa toilet layak dan akses SMA yang tidak merata. Parahnya, kondisi ini bukan terjadi di daerah terpencil, melainkan di kota-kota besar seperti Bekasi, Depok, dan Bogor.
“Ini artinya ada yang keliru dalam prioritas pembangunan,” ujarnya.
Sebagai langkah korektif, Pemerintah Provinsi Jawa Barat diklaim telah memangkas anggaran perjalanan dinas dan rapat seremonial. Dananya, dialihkan untuk pendidikan, kesehatan, dan perumahan warga miskin.
Pengusaha ‘Tidak Serakah’
Meski melancarkan kritik tajam, Dedi tak lupa memuji Summarecon dan Tzu Chi. Ia menyebut mereka sebagai contoh ‘pengusaha yang tidak serakah, tetapi pengusaha yang berbagi’.
Menurut Dedi, kolaborasi ini adalah bukti nyata bahwa dunia usaha bisa menjadi mitra strategis dalam membangun peradaban rakyat.
Senada dengan Dedi, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menyambut baik inisiatif ini. Maruarar menyebut, pembangunan rumah rakyat miskin tidak bisa hanya bergantung pada APBN, tetapi butuh gotong royong dengan swasta.
“Program ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang fokus pada perumahan pro-rakyat. Tiga Juta Rumah bukan cuma jargon, tapi kerja nyata,” ujarnya.
Makna Minoritas
Yang membuat program ini semakin istimewa adalah kehadiran Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Organisasi filantropi lintas iman ini konsisten membantu warga, terlepas dari suku dan agama.
Bagi sebagian pihak, partisipasi komunitas minoritas dalam pembangunan sosial ini menjadi cermin sekaligus kritik bagi kelompok mayoritas yang seringkali absen dari kerja-kerja nyata.
“Tamparan kerasnya justru di situ,” ujar seorang warga penerima bantuan. “Yang minoritas bergerak, sementara mayoritas masih banyak diam.”
Di akhir acara, senyum warga Bekasi yang kini memiliki rumah baru seolah menjadi simbol bahwa kolaborasi swasta, pemerintah, dan masyarakat bisa menembus kebuntuan birokrasi.