Omon-omon 19 Juta Lapangan Kerja

Omon-omon 19 Juta Lapangan Kerja


“Jika agenda hilirisasi, pemerataan pembangunan, transisi energi hijau, ekonomi kreatif, UMKM bisa kita kawal, Insya Allah akan terbuka 19 juta lapangan pekerjaan untuk generasi muda dan perempuan, 5 juta di antaranya adalah green jobs,” ujar Gibran saat acara debat keempat Pilpres 2024.

Janji 19 juta lapangan kerja yang pernah disampaikan Wakil Presiden terpilih Gibran tersebut masih hangat dan begitu membekas di benak masyarakat luas. Apalagi ketika melihat kejadian belum lama ini tentang ribuan orang berjubel di pameran lowongan kerja (job fair). Di tengah lapangan kerja yang semakin sempit, janji tersebut tentu saja sangat dinantikan realisasinya.

Belum lama ini, ada sejumlah mahasiswa yang membawa spanduk bertuliskan “Omon-omon 19 Lapangan Kerja?” saat Wapres Gibran kunjungan kerja di Kota Blitar. Tindakan tersebut rasanya sangat beralasan dan merupakan representasi kekecewaan publik, terutama di tengah maraknya badai PHK dan tingginya pengangguran akhir-akhir ini.

Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyebutkan, per Mei 2025 saja, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) telah mencapai 26.455. Tahun 2025 baru berjalan enam bulan, namun badai PHK sudah menghantam berbagai lintas sektor di Indonesia. Pada saat yang sama, menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang. Angka tersebut naik 1,11 persen secara tahunan.

Alih-alih meredakan kekecewaan publik, janji 19 juta lapangan kerja justru terasa makin hampa saat melihat realita hari ini. Tahun 2025, jumlah angkatan kerja mencapai 153,05 juta orang, naik 2 juta dari tahun sebelumnya. Artinya, tiap tahun ada tambahan 2–3 juta pencari kerja baru. Namun, penyerapan kerja yang tersedia cenderung stagnan.

Ketimpangan antara pertumbuhan angkatan kerja dan minimnya lapangan kerja membuat janji 19 juta lapangan kerja baru terdengar seperti angka ‘aspiratif’ belaka, alias omon-omon.

Optimisme Tanpa Roadmap yang Jelas

Janji 19 juta lapangan kerja memang sempat membangkitkan asa rakyat Indonesia. Pasalnya, angka 19 juta bukan jumlah kecil, dan jika benar-benar terwujud, pengangguran di Indonesia akan teratasi secara signifikan. Tapi, sebagaimana kajian Pressman & Wildavsky (1973), banyak janji, bahkan kebijakan pemerintah, gagal karena tidak ada jembatan konkret dari janji ke aksi.

Janji 19 juta lapangan kerja itu terdengar manis, terlebih dengan embel-embel “green jobs” dan “generasi muda dan perempuan”. Tapi manisnya retorika tidak selalu selaras dengan pahitnya kenyataan. Hingga kini belum ada penjelasan detail: 19 juta itu akan muncul di mana dan sektor apa saja? Apakah sebagaimana disebutkan oleh Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, bahwa lapangan kerja itu ada di luar negeri?

Memang, Gibran menyebut lima prasyarat: hilirisasi, pemerataan pembangunan, transisi energi hijau, penguatan ekonomi kreatif, dan UMKM. Namun kelima hal ini sendiri masih butuh waktu panjang untuk ditata dengan serius. Bahkan sebagian besar masih menjadi jargon pembangunan yang belum punya indikator terukur. Tanpa roadmap yang jelas, 19 juta lapangan kerja itu lebih cocok disebut angka aspiratif ketimbang target kebijakan.

Janji 19 Juta Lapangan Kerja, Realistiskah?

Nikita Khrushchev (1894–1971) pernah berujar: “Politisi itu semuanya sama. Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana.” Lebih lanjut, dalam dunia politik, sebagaimana diungkapkan oleh Costello (2022), praktik overpromising—menjanjikan lebih dari yang bisa dipenuhi—telah lama menjadi strategi kampanye. Bahkan, menurut laporan Politico (2018), gaya politik seperti ini lazim digunakan oleh sebagian pemimpin di dunia sebagai bagian dari taktik retorisnya: janji besar di awal, realisasi minim.

Banyak pihak mungkin membela janji 19 juta lapangan kerja baru sebagai visi jangka panjang. Tapi publik dengan mudah akan menilai bahwa angka besar tanpa basis kebijakan konkret hanya akan menjadi “omon-omon”. Hal ini selaras dengan kajian yang dilakukan oleh Thomas E. Patterson (2002), yang menyebut ketika janji politik berulang tidak direalisasikan, maka publik mulai kehilangan kepercayaan terhadap institusi demokrasi.

Lantas, janji 19 juta lapangan kerja itu realistis jika berkaca pada kondisi Indonesia saat ini?

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menilai janji tersebut bisa direalisasikan, akan tetapi kebijakan pemerintah saat ini tidak mendukung untuk mewujudkan janji itu.

Lebih lanjut, Astuti menyebutkan bahwa gerak-gerik pemerintah saat ini belum mengarah pada keseriusan penciptaan 19 juta lapangan kerja. Hal itu ditandai dengan beberapa hal, seperti kurangnya dukungan terhadap pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan mengurangi anggaran pendidikan dan insentif yang mengarah pada bidang investasi bukan konsumsi yang belum dilakukan secara masif dan terukur.

Pada akhirnya, retorika politik yang berulang tanpa realisasi nyata akan menciptakan apa yang oleh ilmuwan politik disebut sebagai credibility gap. Bila dibiarkan, kesenjangan antara kata dan tindakan ini dapat memunculkan sinisme publik terhadap pemerintahan. Jika yang demikian terjadi, maka pemerintah dapat kehilangan kepercayaan dari rakyat dan perlahan akan kehilangan ruhnya.

Komentar